Budi Darma sastrawan kondang dan karyanya banyak mendapat penghargaan, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. (Foto: dokumen pribadi).
Iklan terakota

Terakota.id--Tanggal 21 Agustus 2021, dunia kesusasteraan Indonesia berduka. Budi Darma (lahir 25 April 1938), sastrawan dan akademisi handal itu meninggal dunia pada usia 84 tahun. Nyaris seketika, mengalirlah deras ucapan duka, baik dari kalangan sastrawan, pengamat dan penikmat sastra, kolega, mantan murid, dan murid.

Budi Darma adalah sastrawan kondang dan karyanya banyak mendapat penghargaan, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Senarai penghargaan yang pernah diterima Pak Budi bisa dicari dengan mudah di dunia maya; yang membuktikan bahwa levelnya memang tidak main-main.

Dengan level sedemikian mentereng, Budi Darma dan karya-karyanya menarik untuk dibaca dan dikaji. Sudah ada banyak skripsi dan makalah ilmiah, serta beberapa buku, tentang kehidupan dan karya Budi Darma. Namun demikian, harus diakui bahwa di kalangan pembaca muda dan kebanyakan, nama Budi Darma tidak sedikenal penulis-penulis muda populer dewasa ini.

Ada beberapa kemungkinan penyebab kurang populernya Budi Darma di kalangan pembaca muda. Salah satunya adalah karena, sampai beberapa tahun yang lalu, tidak mudah bagi pembaca untuk mendapat akses ke buku-buku karya Budi Darma. Dengan kata lain, ekosistem perbukuan tampaknya kurang berpihak pada Budi Darma.

Banyak dari bukunya diterbitkan beberapa tahun atau bahkan dasawarsa lalu dan sulit ditemukan di rak-rak toko buku atau perpustakaan. Hanya mereka yang benar-benar ingin mendalami Budi Darma dan karya-karyanyalah yang mau mencari dan membaca dengan usaha yang lebih.

Untungnya, ada inisiatif dari sementara kalangan penikmat sastra untuk menerbitkan ulang beberapa karya Budi Darma bagi pembaca saat ini. Maka, hadir bagi kita sekarang beberapa karya klasik Budi Darma seperti Orang-Orang Bloomington (Penerbit Noura, 2016), Kritikus Adinan (Penerbit Bentang,2017), Rafilus (Penerbit Noura, 2017), dan Olenka (2018).

Kurang diketahui dan belum diriset bagaimana penerbitan ulang karya-karya monumental tersebut mampu membetot perhatian kalangan pembaca muda. Namun dari yang ditulis oleh Akhlis Purnomo di Kompasiana pada 21 Agustus 2021, tampaknya Budi Darma sudah kadung kurang dikenal oleh pembaca muda.

Status ‘kurang dikenal’ oleh pembaca muda ini tidak lantas berarti karya-karya Budi Darma tidak hebat. Setiap orang yang pernah membaca karya-karya Budi Darma dipastikan akan tersentak dan bertanya-tanya. Begini anehkah dunia kita? Atau begitu tidak sadarkah kita pada dunia yang aneh dan absurd seperti diekspresikan oleh Budi Darma dalam karya-karyanya?

Leila S. Chudori, misalnya, menyatakan bahwa novel-novel Budi Darma, secara khusus Rafilus, adalah ‘ekspresi absurditas keseharian di Indonesia.’ Maman S. Mahayana menimpali dengan mengatakan bahwa dunia karya Budi Darma ‘tidak sesuai dengan logika formal dan hukum-hukum konvensional’. Membaca karya-karya Budi Darma mau tidak mau membuat kita berpikir dan bertanya tentang diri kita dan absurditas eksistensi kita.

Kritikus Adinan mengingatkan kita pada The Trial-nya Franz Kafka (terbit pada 1925). Ada banyak kemiripan di antara keduanya. Khususnya pada penekanan pada isu absurditas dan keruwetan birokrasi manusia. Dan ini sejalan dengan keyakinan Pak Budi sendiri, bahwa tidak ada satu karya sastra yang tidak beririsan atau meminjam atau menerangkan atau menanyakan karya-karya sebelumnya. Tidak ada yang benar-benar murni milik satu pengarang.

Sebagai Akademisi dan Pribadi

Jika sebagai sastrawan dan kritikus sastra, ia tidak diragukan kedudukan dan sumbangsihnya dalam dunia kesusasteraan Indonesia, sebagai akademisi dan pribadi, Pak Budi pun adalah sosok yang sangat pantas dikenang. Meskipun pernah menduduki jabatan rektor Universitas Negeri Surabaya (1984-1988, dahulu IKIP Negeri Surabaya), kesan mendalam yang ditinggalkannya adalah pribadi yang sederhana dan rendah hati. Dan ini bukan sekadar memanising lambe atau lips-service.

Bukan sekadar ungkapan hal-hal ‘baik’ dari orang yang sudah meninggalkan kita. Bahwa Pak Budi Darma adalah pribadi yang sederhana dan rendah hati adalah sebuah fakta yang hampir setara dengan fakta bahwa bumi itu bulat. Kurang-lebih begitu.

Hal tersebut tertegaskan, misalnya, pada 21 Agustus malam, ketika Humas Universitas Negeri Surabaya menggelar doa secara daring untuk mengenang almarhum Budi Darma. Dalam forum nonformal yang diikuti oleh lebih dari 300 partisipan tersebut, termasuk jajaran rektorat dan senat Unesa itu, ada cukup banyak kesaksian tentang perjumpaan dengan sosok Pak Budi. Dari kesaksian-kesaksian tersebut, satu benang merah yang dapat ditarik adalah tentang kesederhanaan dan kerendahan hati sang profesor.

Beberapa berkisah tentang bagaimana mereka didekati secara personal, diingat nama dan keluarganya, dikenang apa yang pernah mereka kerjakan sewaktu menjadi mahasiswanya, dan semacamnya. Salah seorang partisipan berkisah tentang bagaimana Pak Budi bersedia diboncengkan sepeda motornya dari kantor ke rumahnya; yang lain berkisah tentang bagaimana Pak Budi menolak mobil dinas rektor dihibahkan kepadanya selepas dia tidak menjabat lagi. Ada juga cerita tentang Pak Budi yang menolak bantuan mahasiswa yang ingin membawakan buku-buku dari mobil ke kantornya; dan yang lebih ‘dramatis’ adalah bagaimana Pak Budi Darma menolak uang dari mahasiswa yang akan diujinya.

Pratiwi Retnadingdyah, dosen dan kepala jurusan Bahasa Inggris Unesa, menuturkan di dalam kesaksian di blognya, bagaimana Pak Budi, bertahun-tahun kemudian, masih mengingatnya sebagai gadis mapala yang bergelantungan menuruni papan panjat tebing untuk memberikan tongkat pemukul gong kepada Pak Budi yang waktu itu menjadi rektor. Pak Budi juga masih mengingatnya saat Pratiwi ini duduk di kelas Introduction to Literature-nya dan menulis sebuah analisis sastrawi tentang The Sun Also Rises karya Ernest Hemingway. Ingatan-ingatan inilah yang membuat Pratiwi menyukai sastra.

Kerendahan hatinya itu juga tampak dalam disiplin dirinya yang selalu hadir tepat waktu untuk mengajar. Tidak ada kelas yang diampunya yang saya ikuti yang dihadirinya terlambat. Pak Budi hadir dengan kesiapan fisik, mental, dan pengetahuan. Pakaiannya selalu rapi, baju lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celananya, pantolan hitam yang tidak selalu mengkilap tetapi bersih, lensa kacamatanya bening tanpa debu, wajah yang tercukur klimis, rambut yang tersisir rapi.

Cara mengajar Pak Budi sangat sistematis. Dia mempersiapkan slide presentasi singkat dalam Word dan menjelaskan poin-poinnya dengan terinci. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya tidak pernah terlalu keras, tetapi semuanya terasa bernas. Semuanya tertata dan kalimat-kalimatnya seakan bahasa tulis alih-alih bahasa lisan. Sintaksis Pak Budi tidak main-main.

Mahasiswa yang dibimbingnya tidak merasa ‘direndahkan’. Bahkan mereka ini diangkatnya dan dibombong hatinya untuk dapat mengeluarkan hal-hal yang terbaik dari mereka. Tidak jarang, Pak Budi lebih dulu menghubungi mahasiswa bimbingannya dan menanyakan perkembangan penulisan.

Dia juga tidak enggan mengomentari postingan-postingan media sosial mereka. Pak Budi boleh jadi merasa gaptek, tetapi beliau tetap hadir sesekali memberi komentar pada postingan Facebook saya, misalnya. Kadang, beliau juga mengajak saya sedikit-banyak mengobrol di Whatsapp. Dia tidak jengah dengan semua remeh-temeh seperti ini karena dia tidak merasa dia tinggal di menara gading keilmuanan atau kampus.

Kita semua akan selalu merindukan karya Budi Darma, tetapi juga akan sangat merindukan sosok dan pribadinya. Yang mengenal Pak Budi tidak akan melupakan senyum kebapakannya dan kerelaannya untuk mendengarkan cerita-cerita konyol kita. Pak Budi Darma pernah rujakan di kelas kami seusai mata kuliah Advanced Literature. Tidak ada rasa kikuk baginya untuk berbagi makanan dengan mahasiswa. Saya yakin dia sekarang juga tidak akan kikuk di tempat barunya. Dia akan tetap dikenang dan hidup.