Urgensi Penguatan Kebudayaan dalam Pembentukan Kebijakan Publik Oleh: Fajrianto*

Iklan terakota

Judul                   Kebijakan Publik; Meperkuat Basis Kebudayaan dalam Kebijakan

Penerbit              Intrans Publishing

Ukuran Buku       15,5 cm x 23 cm

Ketebalan            xvi x 134 hlm

ISBN                    978-623-6709-31-3

Harga P. Jawa     Rp 88.000

Terakota.ID–Kebijakan publik atau (public policy) secara teoritis dalam ilmu administrasi publik dikenal sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam merespon suatu krisis atau masalah yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Lebih jauh dari pada itu, aspek lain yang menjadi driving force mengapa sebuah kebijakan publik dibangun adalah berkaitan dengan aspek futuristik pemerintahan, yaitu untuk menjangkau capaian pembangunan ke depan yang telah dituangkan dalam visi dan misi pemerintahan.

Dalam negara hukum (rechtsstaat) seperti Indonesia, kebijakan publik haruslah termuat dalam bentuk ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan (hukum positif/tertulis). Hal ini dimaksudkan agar kebijakan tersebut memiliki kekuatan hukum (legalitas) yang mengikat dan memaksa.

kebijakan publik yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemerintahan juga haruslah selaras dengan pancasila dan tujuan dibentuknya negara sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Yaitu untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.

Namun harus diakui bahwa kebijakan publik dalam tataran teoritis tidak jarang berlawanan dengan aspek realitas. Saat ini, banyak kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah seringkali terlihat diskrimantif terhadap warga negara yang rentan dan termarjinalkan, dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongan.

Masyarakat dari kelompok rentan yang akan menjadi akan menerima dampak dari sebuah kebijakan yang akan lahir tidak di beri ruang yang cukup untuk turut andil dan berpartisipasi dalam pembentukan kebijakan. Kalau pun sebagian masyarakat di ikutkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) perumusan kebijakan, aspirasi masyarakat terkesan hanya di dengar, namun tidak di implementasi dalam muatan kebijakan publik yang di buat.

Hal inilah yang coba di bidik oleh akademisi Universitas Indonesia A. Hanief Saha Ghafur (2022) dalam bukunya yang berjudul “Kebijakan Publik; Memperkuat Basis Kebudayaan dalam Kebijakan”. Dalam penjabarannya, beliau menuturkan bahwa dalam proses perumusan kebijakan publik, sering terjadi lobi dan tarik menarik kepentingan di antara pihak yang terkait dengan kebijakan yang akan dibuat. Tarik menarik kepentingan bisa terjadi di antara pemerintah pusat, daerah, parlemen, dunia usaha serta berbagai kelompok yang berkempentingan lainnya. Bahkan, tak jarang pertarungan antar-kepentingan itu sangat keras, tidak berimbang, dan cenderung memanfaatkan ketidakberdayaan para pihak (stakeholders) yang lemah.

Bila tarik-menarik kepentingan di antara para pihak yang terkait pada proses lobi, akan terjadi negosiasi dan tawar-menawar yang terkadang berujung pada konsesi, kompensasi dan/atau money politics. Singkatnya, kondisi ini menyebabkan tidak terakomodirnya aspirasi masyarakat dari kalangan yang lemah secara ekonomi dalam pembentukan kebijakan publik, dan berimplikasi pada tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat untuk memperoleh perlindungan serta pelayanan yang baik dari kebijakan publik yang di buat.

Selain mengurai tentang beberapa masalah tata kelola pemerintahan dalam pembentukan kebijakan publik, selaras dengan judulnya, buku ini juga memberikan gagasan baru tentang pentingnya memperkuat basis kebudayaan dalam setiap proses pembentukan kebijakan publik, baik pada aspek formil (proses pembentukan) maupun materil (muatan/substansi).

Menurut A. Hanief Saha Ghafur, alasan mengapa saat ini banyak kebijakan pemerintah yang lahir, dan di tentang oleh publik tidak lain karena hilangnya basis dan nilai kebudayaan dalam suatu kebijakan bentuk. Pendekatan pembentukan kebijakan dari bawah ke atas (buttom up) yang memuat banyak nilai-nilai kebudayaan hanya menjadi sekedar seremoni; Fenomena inilah yang meyebabkan tidak adanya rasa kepimilikan atau kepercayaan publik (public trust) terhadap produk kebijakan yang di usung.

Oleh karena itu, penting kiranya pejabat publik untuk menerapkan dan memperkuat kebijakan publik yang berbasis kebudayaan, agar kebijakan yang di bentuk dapat mencerminkan kandungan budaya dan nilai-nilai moral kebangsaan. Dengan penguatan basis kebudayaan, kebijakan yang dibuat juga akan lebih mudah diterima dan dapat beradaptasi sesuai kebutuhan yang ada di tengah masyarakat. Demikian halnya di masyarakat, basis kebudayaan yang kuat akan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan karena pada dasarnya masyarakat adalah objek sekaligus sabjek dari suatu kebijakan.

Selain itu, dalam rangka mengimplementasikan penguatan basis kebudayaan dalam pembetunkan kebijakan publik, buku ini juga memberikan penjelasan tentang apa saja tool of analysis, pendekatan dan metodologis yang dapat di gunakan dalam penelitian untuk menciptakan produk kebijakan publik yang berbasis kebudayaan.

Hemat penulis, buku karya A. Hanief Saha Ghafur ini sangat berguna jika dijadikan referensi oleh mahasiswa maupun akademisi yang fokus dalam menelisik disiplin ilmu di bidang ilmu hukum, ilmu administrasi publik dan ilmu pemerintahan. Buku ini juga kiranya sangat perlu dibaca oleh para pejabat pembuat kebijakan di pemerintahan agar dapat memahami cara memperkuat basis kebudayaan dalam pembentukan kebijakan.

KEBIJAKAN PUBLIK: Memperkuat Basis Kebudayaan dalam Kebijakan – Hanief Saha Ghafur

*Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Malang dan relawan Malang Corruption Watch