Buku Mungil dengan Gagasan Besar Oleh: Trianom Suryandharu*

Iklan terakota

Judul      SPIN-OFF Menuju Konglomerasi Koperasi. Sebuah Studi Kasis Spin-Off di CU Keling Kumang

Penulis    Robby Tulus dan Munaldus

Tahun      2022

Halaman  138 halaman + Sampul

Ukuran     10,5 cm x 17 cm

 

Terakota.ID–Pada tahun 2010, penulis berkesempatan berkunjung ke Korea Selatan. Dalam sebuah perjalanan, berhenti untuk belanja di sebuah supermarket besar. Di depan meja kasir, ketika hendak membayar, penulis dan rombongan, ditodong pertanyaan petugas kasir, “Are you member?” (Apakah Anda seorang anggota)?

Bingung tentu saja. Beruntung, ada seorang pembeli lain menyaksikan hal itu. Dia menawarkan transaksi mengunakan kartu anggotanya. Setelah menyelesaikan pembayaran, terkuaklah ‘misteri’ di balik pertanyaan petugas kasir tersebut.

Toko supermarket besar ini, ternyata milik sebuah koperasi. Layanan transaksi, hanya untuk pemegang kartu anggota saja.

Pengalaman ‘kecil’ ini nampaknya memantik inspirasi. Penulis aktif dalam gerakan koperasi kredit/credit union (CU) Keling Kumang. Seperti halnya CU di Indonesia umumnya, saat itu, lazimnya CU ‘hanya’ memberikan layanan ‘sebatas’ jasa simpanan dan pinjaman.

Bagi banyak pelaku CU di Indonesia, membincangkan sektor riil, di luar kelaziman. Hampir seperti ‘dogma’, ‘CU tak boleh terlibat dalam sektor riil’. Petuah yang sudah seperti mantra, diwariskan turun-temurun.

Dengan gaya bahasa yang lugas mengalir, penulis menuangkan refleksi perjalanan, khususnya dalam Gerakan Credit Union (CU). Tabir pertama refleksi disingkap, ketika penulis terlibat dalam penanganan korban bencana tsunami, di Aceh, tahun 2009. Korban bencana tsunami yang begitu masif, tak pelak mengungkit belarasa dari banyak pihak. Bantuan pun berdatangan. Aksi sosial sebagai wujud semangat belarasa, solidaritas.

Penulis memadankan aspek ‘sosial’ ketika terjadi bencana, sebangun dengan aspek ‘sosial’ di masa perintisan pendirian koperasi. Ketika mengalami kesulitan sosial-ekonomi, sekelompok orang menuangkan aksi sosial, dengan bersolider, bekerja sama membentuk koperasi.

Dalam konteks kebencanaan, uluran bantuan (karitatif) akan berhenti ketika kehidupan dianggap sudah mulai pulih kembali. Dalam konteks gerakan koperasi, rasa setia kawan dan integritas, memiliki indikasi dan kecenderungan yang sama. Saat koperasi sudah mulai mapan, membesar dan menjadi kuat. Lunturnya aspek sosial, baik dalam konteks kebencanaan maupun berkoperasi, terjadi apabila para pelaku pembela martabat kemanusiaan itu merasa sudah puas dengan sentuhan sosial mereka pada saat kesulitan. Ketika sudah berada dalam tahap ‘nyaman’, kendaraan ‘uang’ kemudian mendahului kendaraan sosial (halaman 9).

Bukankah justru semangat solidaritas ketika keadaan sedang aman sentosa, sehingga tersedia ‘modal’ untuk menghadapi kesulitan yang pasti akan muncul di masa depan? Pertanyaan tersebut, nampaknya menjadi titik tolak dalam membangun narasi buku ini.

***

Bagi penulis, Gerakan CU pertama-tama tumbuh dari sebuah keprihatinan. Keprihatinan yang mendorong sekelompok orang yang (rentan terhadap kemiskinan) mengikatkan diri saling bekerja sama, demi mencapai taraf hidup sejahtera.

Dimulai dari proses belajar bersama, mengelola keuangan keluargadan menyisihkan penghasilan untuk tabungan (literasi atau ‘melek’ keuangan keluarga). Perlahan disemaikan etos menabung demi kesehatan, pendidikan anak dan mencukupi kebutuhan keluarga. Inilah raison d’etre atau alasan mendasar CU itu ada.

Bagi pelaku gerakan CU, kesadaran tersebut hanya bisa dicapai melalui strategi pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan menjadi pilar utama CU. Pendidikan yang memanggul martabat manusia sebagai mahkota.

Pada gilirannya, benih kesadaran dan etos gerakan mulai bertumbuh, tata kelola CU memasuki tahap mapan. Dari segi usaha sudah diperoleh profit. Secara kelembagaan, organisasi mulai tertata sistem kerjanya. Selanjutnya, operasional kelembagaan semakin menggelinding laju, seiring dukungan teknologi yang memberikan banyak kemudahan dalam transaksi.

Pada fase pertumbuhan ini, penulis menyitir sinyalmen dari Paulo Friere. Penggunaan teknologi yang memberikan kemudahan layanan teknis, pun berimbas negatif. Kemudahan teknis, pada sisi lain, menumbuhkan lapisan ‘budaya hening’ di masyarakat.

Dalam tubuh CU, imbas negatif tersebut mendorong semangat pendidikan anggota, berangsur bergeser arah. Pendidikan dianggap kurang penting. Sisi lainnya, kemajuan teknologi semakin ditonjolkan dan dibanggakan.

Imbasnya, interaksi antar-anggota yang bermuatan saling mendidik, mengalihkan anggota sebagai obyek dari para pemilik jaringan internet dan industriawan perangkat teknologi. Pola hidup anggota, bahkan cenderung konsumtif. Koperasi, tanpa sadar, membantu meningkatkan kesenjangan sosial-ekonomi dalam ekosistem neo-liberal seperti ini. Itulah sebabnya, keseimbangan sosial-ekonomi perlu dibangun kembali (halaman15).

Pendidikan dalam Gerakan CU, pada titik tertentu, bergeser menjadi ‘pelatihan’. Secara hakikat, ‘pelatihan’ mendorong muatan nilai kemanusiaan ke pinggir, memberikan tempat terhormat bagi aspek teknis-operasional dan manajerial.

Bagaimana melestarikan pendidikan agar jangan hanya sekadar memberi pendidikan di ruang kelas namun suatu aksi di masyarakat yang membuahkan proses berkelanjutan berupa aksi-refleksi-aksi bagi para subyek yang membutuhkan?

***

BIDANG PENDIDIKAN, nampaknya menjadi fokus keprihatinan penulis buku ini. Pendidikan tak hanya membangun kesadaran sosial-etis dan ekonomi anggota. Pendidikan juga menjadi kunci bagi pengelola, baik pengurus-pengawas maupun pengelola (manajemen). Setidaknya, dengan pendidikan dapat terus mengawal marwah gerakan CU.

Hal tersebut berkaitan dengan maraknya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang tumbuh di masyarakat. Penulis memberikan ulasan yang cukup benderang, membedakan antara Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dengan Credit Union (CU)/Koperasi Kredit (KK).  Perbedaan itu sudah nampak dari sisi falsafah/ideologi-nya. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dapat disebut debt-based (berbasis pinjaman), sedangkan CU/KK berdasar saving-based, berbasis tabungan/simpanan.

Di pihak lain, modal LKM bisa dari ‘pihak luar’, sebut saja dari investasi perbankan, lembaga donor maupun investor lain. Oleh karenanya, LKM disebut sebagai ’kumpulan uang’. Oleh karenanya, dari unsur ‘kepemilikan’ (ownership), anggota LKM bukanlah pemilik. Mereka adalah nasabah (halaman 37).

Dalam gerakan CU/KK, karakter seseorang dibangun dari kebiasaan. Tabungan menjadi salah satu indikator pengembangan karakter. Keajegan menabung menempa karakter berani mengelola gaya hidup ‘sebatas sesuai kebutuhan’. Sakmadya. Berangkat dari tabungan inilah, kerja sama dan saling percaya antar-anggota dibangun.

Karena itulah, anggota CU/KK disebut pula sebagai sekumpulan orang yang saling percaya untuk bekerja sama. Tak berlebihan, apabila dalam CU, komunitas anggota merupakan ’jantung koperasi (halaman 49)’. Kata credere, artinya saling percaya, dan union artinya kumpulan (hlm. 89). Alhasil, penyebutan ‘Koperasi Kredit’, secara ideologis sudah menandaskan perbedaan dengan penyebutan ‘Koperasi Simpan-Pinjam’, bahkan juga dengan lembaga keuangan lainnya.

Gerakan CU berpusat pada manusia (bukan uang) yang berkumpul, saling percaya melakukan kerja sama demi kesejahteraan bersama.

***

SPIN-OFF, PEMEKARAN yang menjadi judul buku ini, diulas dengan merujuk studi kasus pada CU Keling Kumang, Kalimantan Barat.

Forum Rapat Anggota Tahunan (RAT) merupakan ajang dialog anggota. Pada RAT CU Keling Kumang tahun 2006, muncul aspirasi anggota agar CU memerhatikan pengembangan sumber daya manusia. Bagaimanapun, kualitas manusia merupakan investasi jangka panjang, perlu mendapat perhatian. Maka, muncullah program ‘Satu Keluarga Satu Sarjana’. Program beasiswa bagi anak anggota, dengan kriteria ketentuannya, ditetapkan pada RAT. Demikian pula, pelaksanaan program, dilaporkan pada RAT.

Program pendidikan ini terus mendapat perhatian. Kebutuhan pun berkembang. Demi mewujudkan program ‘Satu Keluarga Satu Sarjana’, RAT mendorong pembentukan Yayasan Keling Kumang (YKK). Pada tahun 2015 Yayasan Keling Kumang diubah menjadi Yayasan Pendidikan Keling Kumang (YPKK), dengan mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) (halaman 115).

Berdirinya SMK Keling Kumang merupakan ‘jembatan’ menuju pemenuhan program ‘Satu Keluarga Satu Sarjana’. Maka, tahun 2020 gerakan CU Keling Kumang meresmikan berdirinya Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK). Kuliah perdana, diselenggarakan pada September 2021 (halaman 116).

Forum RAT, lagi-lagi menjadi rahim tumbuhnya aspirasi. Jon, demikian pria asal Flores dan termasuk anggota loyal CU Keling Kumang (CUKK), menyampaikan aspirasinya. Pada RAT 2009, dia mengusulkan agar CU memfasilitasi penyediaan pupuk subsidi. Jon seorang petani. Sudah barang tentu, pupuk (apalagi bersubsidi), menjadi kebutuhannya.

Satu aspirasi yang, tentu saja di luar kelaziman. Bagaimanapun, CU tidak bergerak di sektor riil. Usulannya, tegas ditolak oleh pengurus.

Jon tak patah arang. Tahun 2010, usulan penyediaan kebutuhan pupuk bersubsidi itu, disampaikan kembali. Namun, lagi-lagi, pengurus kukuh dengan pendirian dan memutuskan, CUKK adalah single purpose. Hanya melayani akses jasa keuangan.

Tahun 2011, sepertinya ‘berkapala batu’. Jon mencoba lagi. Usulan yang sama dia suarakan. Pupuk bersubsidi adalah kebuthannya!  Melalui berbagai pertimbangan, usulan tersebut akhirnya diterima oleh pengurus. Usulan yang muncul dari kebutuhan. Alhasil, tahun 2011, berdirilah Koperasi Konsumsi Lima Dua, K-52 (halaman 116).

Bak jamur di musim penghujan. Ide gerakan koperasi untuk membuka usaha baru terus bergulir. Pada 2013, Koperasi Lima-Dua (K-52) membuka sebuah minimarket. Karena lokasinya cukup strategis, di depan sebuah kompleks persekolahan, usaha itu pun berkembang pesat. Berikutnya, muncul kebutuhan toko yang menjual hasil pertanian. Gagasan ini mendorong dibukanya koperasi produksi, Koperasi Tujuh Tujuh (K-77). Koperasi K-52 fokus mengurus toko konsumsi (koperasi konsumsi), K-77 fokus toko pertanian (halaman 118).

Termasuk di dalamnya, pemenuhan kebutuhan akan aliran listrik berbasis energi terbarukan. Anggota membutuhkan, lantaran di wilayah mereka, aliran listrik masih sulit didapat. Maka, K-77 menyediakan fasilitas listrik tenaga surya, termasuk layanan pemasangan instalasinya. Pengalaman ini, memicu gagasan pengembangan usaha di sektor koperasi jasa. Maka, didirikanlah Koperasi Jasa Ladja Tampun Juah. Unit usahanya adalah bisnis perhotelan (hlm. 118-119). Pada 30 Maret 2021, Koperasi Induk Gerakan CU Keling Kumang (GCUKK), beranggotakan koperasi primer di anak gerakan CU Keling Kumang (halaman121).

Pada RAT tahun buku 2018, situasi sekitar mengindikasikan bahwa harga sawit dan karet (komoditas tanaman warga dan anggota), harganya jatuh. Lantas, anggota mengusulkan agar CU bersolider dan memerhatikan situasi ini. Pada 2019, didirikan PT. Betang Argo Mandiri (BAM) untuk mengembangkan tanaman produk alternative, yaitu kopi dan kakao. Belum ada sumber daya yang mumpuni. Namun berbekal tekad yang kuat, demi pemberdayaan petani, beberapa aktivits belajar budidaya dan pengolahan kakao di Filipina (halaman 123).

Program pemberdayaan petani pun diwujudkan dengan mengembangkan Pusat Pelatihan (Training Centre, di lahan CU KK seluas empat hektar. Kawasan pusat pelatihan ini, dikemas pula menjadi wisata. Saat ini, dikenal luas sebagai destinasi wisata Keling Kumang Agrowisata dan Training Center, Bukit Kelam, Sintang. Kepercayaan anggota dan masyarakat luas, telah tumbuh. Warga Kampung Sebatu, dekat kantor pusat CU KK, pada tahun 2014, menyerahkan hutan adat mereka seluas sekitar 50 hektar (halaman 124).

***

Bagi penulis buku ini, Spin off, pemekaran atau pengembangan usaha, bukan semata bermakna transaksional melulu. Spin-off merupakan upaya menawarkan diversifikasi produk layanan koperasi bisa memberikan ‘kehidupan’ bagi anggota.  Anggota dengan mudah membedakan koperasi (sebagai rumah mereka) dari perusahaan swasta atau lembaga komersial lainnya (sebagai hunian sementara saja). Jadi, (gerakan CU), bukan sekadar memberi kepuasan finansial semata, namun juga ‘ruang refleksi’.

Dengan kalimat berbeda, kekayaan ragam layanan tersebut, membuka peluang anggota memiliki peran di banyak lini sosial. Anggota merasa memiliki berbagai unit usaha yang ada di sekitarnya, adalah juga miliknya (bukan sekadar sebagai ‘pembeli, pelanggan, customer). Ada kegiatan perekonomian yang pro-sosial. Tidak eksploitatif. Anggota juga mudah mengenali, betapa CU KK sebagai ‘rumah bersama’ memiliki kepedulian yang tinggi terhadap upaya kelestarian alam. Pro-ekologi. Maka, anggota koperasi menjadi terbuka terhadap pemahaman bahwa mereka sedang bertumbuh dalam perilaku ekonomi yang memegang prinsip pro-sosial, pro-ekologi, dan pro-profit.

Tak ayal, buku ‘mungil’ (dari segi ukuran) ini menyuguhkan semangat dan gerakan yang tak dapat dikatakan ‘mungil’. Gerakan koperasi di Indonesia, sudah saatnya merambah, bahkan memadukan pengembangan di sektor jasa dan sektor riil (spin-off). Di sinilah isu utama buku ini. Gagasan besar, raksasa dalam buku mungil.

Kalau pun toh mencoba menemukan kekurangan dari buku ini, sangatlah minor. Di beberapa bagian, ada pembahasan yang terkesan ‘berulang’. Namun secara umum, buku ini amat layak menemani refleksi dalam rangka CU Day, 20 Oktober 2022.

Selamat hari CU 2022!

Penulis (Foto: dok pribadi)

*Penulis adalah anggota Credit Union (CU) Sawiran, Malang.