Permainan Peran dalam Komunikasi antara Suami dan Istri

Iklan terakota

Terakota.ID–Banyak orang yang dalam kehidupannya mereka jalani dalam relasi perkawinan dengan pasangan hidupnya, namun mereka kurang sepenuhnya memahami interaksi dan komunikasi dengan pasangannya. Seolah menjalaninya berlangsung sederhana, sedikit permasalahan, sehingga dianggapnya tak perlu menggunakan ilmu, akan berjalan sesuai harapannya. Namun dalam kenyataanya, diakui atau tidak, aneka permasalah berkenaan interaksi dan komunikasi dengan pasangannya kerap dirasakannya. Dari aneka permasalahan yang berkembang, sebagian disadari kedua pihak (suami dan istri), sebagian masalah lainnya dirasakan oleh salah satu pihak (pasangannya tidak menyadarinya); sebagian masalah mampu dilalui bersama tanpa melukai hubungan antar suami-istri, sebagian masalah berakibat fatal sampai merusak kebahagiaan yang diharapkan dari perkawinannya. Bahkan tak sedikit pasangan yang akibat kesalahan dalam komunikasi dengan pasangannya, terjadi akibat berantai hingga berujung perceraian.

Bahasan tentang komunikasi antara suami dan istri masuk dalam bahasan tentang komunikasi antarpribadi. Maka teori yang dipergunakan untuk memahami peristiwa komunikasi antara suami dan istri atau komunikasi dalam perkawinan (communication in marriage) dipilih teori tertentu yang terdapat dalam komunikasi antarpribadi. Dari beberapa teori yang dianggap relevan, tulisan ini memilih teori Permainan (Game Theory) dari Eric Berne, yang memandang bahwa tindakan seseorang dalam berhadapan dengan orang lain, termasuk tidakan komunikatifnya, cenderung memainkan peran watak tertentu. teori ini merinci macam-macam peran watak (karakter) dan bagaimana pilihan peran watak dalam berhadapan dengan pasangannya yang juga memerankan watak tertentu, yang berkemungkinan interaksi menjadi harmonis, atau sebaliknya permainan peran watak tertentu bisa menimbulkan konflik. Demikian halnya jika dengan pasangannya menghadapi tuntutan untuk menyelesaikan masalah, peran watak bagaimana yang perlu ditampilkan oleh kedua pihak.

Macam-macam Peran Watak

Berne mengelompokkan peran watak ke dalam 3 macam: watak orang tua, watak kanak-kanak, dan watak dewasa. Bahwa jenis-jenis watak tersebut tidak berkait dengan usia pelaku (suami maupun istri). Oleh karenanya bisa saja terjadi seorang kakek, suatu ketika berprilaku memainkan watak “kanak-kanak” (kekanak-kanakan). Begitu pun seorang anak usia 12 tahun, dalam sebuah interaksi memerankan watak “orang tua”. Eric Berne mengakui bahwa masing-masing orang memiliki watak bawaan yang cenderung tampilkan watak tertentu, apakah watak “kanak-kanak” atau watak “orang tua”. Misalnya seorang remaja yang masih muda, cenderung rajin memainkan watak “orang tua” (temuwek, dalam bahasa Jawa). Namun Berne memandang bahwa setiap orang memiliki potensi untuk mampu memerankan macam-macam watak atau karakter, walau berbeda-beda dalam tingkat kemampuan memerankannya.

Watak “orang tua” ditandai dengan ciri-ciri “suka melindungi”, penyayang”, “perhatian”, “hangat”, “suka menasehati” karena “merasa diri lebih banyak makan asam-garam”, akibatnya “merasa paling tahu dan paling mengerti”, sehingga “suka menasehati”. Watak” kanak-kanak” ditandai dengan sifat “manja”, “butuh perhatian”, “lemah” dan karenanya ingin dilindungi, “butuh kehangatan”, “suka menyimak cerita”, “mau menang sendiri” dan karenanya cenderung “egois”. Tak hanya anak-anak yang memainkan peraan watak “kanak-kanak” dalam peristiwa komunikasi antarpribadi. Seorang istri yang usianya sudah paruh baya, bahkan seorang suami yang sudak punya cucu, suatu momen memerankan watak “kanak-kanak”, bersikap “manja” dalam berhadapan dengan pasangannya di di dalam kamar di suatu malam yang sunyi. Peran watak “dewasa” ditandai dengan sikap yang “rasional”, “berorientasi fakta dan orientasi masa depan”, bersikap “dingin” (cold), suka “efisien” oleh karenanya tak suka “banyak cakap”, lebih suka “to the point”.

Hubungan Antar Peran Watak

Menurut teori ini, ketika kedua pihak (suami dan istri) sama memerankan watak “orang tua”, mereka saling memerhatikan, saling menyayangi, saling melindungi, sama-sama bersikap “hangat”. Namun bisa pula terjadi di mana kedua pihak saling menasehati, dan bisa terjadi “adu nasehat”, bahkan bisa “saling menyalahkan” karena sama-sama merasa “lebih banyak makan asam-garam”. Hubungan mereka dalam posisi peran watak seperti ini cenderung harmonis tetapi juga bisa terpeleset ke dalam relasi konflik (akibat “adu nasehat” tadi).  Oleh karenanya ketika kondisi interaksi menjadi “panas” begini (bukan lagi “hangat”), salah satu pihak perlu berganti peran watak, misalnya berwatak “kanak-kanak” agar relasi kembali harmonis. Relasi peraan watak “orang tua” dengan watak “kanak-kanak” cenderung harmonis, sikap watak “orang tua” dengan sikap watak “kanak-kanak” seperti relasi fungsional, saling cocok. “Kanak-kanak” butuh perhatian, “orang tua” penuh perhatian. “Kanak-kanak” butuh “kehangatan”, karakter “orang tua” bersikap “hangat”, suka memberikan “kehangatan”. Watak “orang tua” suka menasehati, suka bercerita sambil menyelipkan “nasehat”, sebaliknya “kanak-kanak” suka menyimak cerita. “Kanak-kanak” suka dimanjakan, watak “orang tua” suka memanjakan.

Jika salah kedua pihak memainkan peran watak “kanak-kanak”, menurut teori ini berpeluang terjadi konflik, karena watak “kanak-kanak” cenderung “mau menang sendiri”, sama-sama “egois”. Kedua pihak sama-sama bersikap “lemah”, lalu siapa yang jadi “pengayom”? kedua pihak ingin “dimanjakan”, lalu siapa yang “memanjakannya”? Jika mulai berkembang konflik, maka dituntut ada pihak yang merubah peran watak (ke watak “orang tua”). Watak “kanak-kanak” dengan watak “dewasa” juga kurang cocok, karena karakter “dewasa” cenderung “dingin” sementara “kanak-kanak” butuh “kehangatan”, watak “kanak-kanak” cenderung “ingin tahu” dan oleh karenanya cenderung “banyak tanya” sementara watak “dewasa” tak suka “banyak cakap”, akan dianggap “berisik”. Karakter “dewasa” dengan karakter “orang tua” juga kurang cocok. Peran watak “orang tua” suka “menasehati” sementara watak “dewasa” taak suka” nasehat”, baginya “bikin berisik”, akan cenderung cuek saat “dinasehati”, akibatnya “orang tua” bisa “tak terima” disikapi seperti itu, berpotensi terjadi konflik. Bila kedua pihak tampilkan peran watak “dewasa”, kedua pihak cenderung rasional, sama-sama berorientasi fakta, sama-sama efisien dalam berkomunikasi, sama-sama bersikap “dingin”. Karena sama-sama suka efisien, sama-sama cenderung “cuek” maka mereka minim konflik, tak masalah pasangannya “cuek”, tidak mudah saling “panas”. Peran watak “dewasa” paling cocok untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah, karena mereka cenderung rasional, berorientasi fakta, sehingga cenderung “debat rasional” bukan saling “emosi”, saling “memaki”, mereka saling “efisien” dalam berkomunikasi. Berne mengatakan memang tak mudah berganti-ganti peran watak, terlebih lagi menuju peran watak yang bukan watak “bawaan” atau “bakatnya”. Silakan mencoba.