Cerita Anak yang Non-Moralis  

Iklan terakota

Judul                 19 Cerita Anak Indonesia

Penulis               Akmal Nasery Basral, Alberthiene Endah, Ari Ambarwati, Danny I. Yatim, Deasy Tirayoh, Iksaka Banu, Jane Ardaneshwari, Kurnia Effendi, Mudji Sutrisno, Murti    Bunanta

Penerbit          Dio Media, Sukoharjo

Tahun Terbit   2022

Tebal                134 + xiv

ISBN                 978-623-5518-47-7

Terakota.ID–Buku cerita anak di Indonesia cukup populer. Dari tahun ke tahun, selalu ada buku cerita anak baru yang diterbitkan. Jika ke toko buku, rasanya tidak terlalu sulit untuk menemukan rak khusus yang berisi buku anak, secara khusus buku cerita.

Hal ini semestinya tidak terlalu mengejutkan apabila kita menyadari bahwa anak-anak 0-15 tahun di Indonesia pada 2022 menyusun sekitar 25 persen dari total populasi. Terdapat sekitar 66 juta jiwa anak-anak dari total 272 juta (bps.go.id) penduduk. Ditinjau dari perspektif pasar, ini jelas sebuah peluang besar.

Dari perspektif lain yang lebih idealis, anak-anak merupakan aset bangsa dan kemanusiaan yang penting. Dalam beberapa tahun ke depan, merekalah yang akan memegang kendali atas arah peradaban. Maka, perhatian dan pendidikan (dalam pengertian yang seluas-luasnya) perlu dicurahkan atas mereka.

Buku 19 Cerita Anak Indonesia (Diomedia, 2022) diterbitkan dalam kerangka perspektif kedua tersebut. Sebagaimana ditulis dalam “Prakata” oleh salah satu penggagasnya, Kurnia Effendi, buku ini hadir untuk memberi asupan pengetahuan dan ‘pendidikan’ yang baik di masa golden age anak-anak (hlm. vi). Asupan bagi pertumbuhan anak didapatkan dari makanan yang bergizi dan seimbang; asupan bagi perkembangan anak diperoleh dari bacaan yang baik dan bermutu, yang menyentuh kelima panca indera sang anak, terutama hatinya.

Buku 19 Cerita Anak Indonesia ditulis oleh 10 penulis, yang berlatar belakang bermacam-macam. Ada yang berasal dari kalangan pegiat literasi anak, yaitu Murti Bunanta. Ada yang merupakan penulis biografi dan jurnalis kenamaan seperti Alberthiene Endah, Deasy Tirayoh, dan Akmal Nasery Basral (mantan jurnalis Tempo dan Gatra). Ada Danny I. Yatim yang adalah psikolog, pemerhati keberagaman, dan pengabdi pendidikan. Lalu, dari kalangan akademisi, ada Jane Ardaneshwari (UI) serta Ari Ambarwati (Unisma). Dari kalangan rohaniwan dan budayawan, ada Romo Mudji Sutrisno, SJ. Dan, siapa yang tidak kenal dengan dua penulis yang saat ini sedang naik daun dengan novel fiksi sejarahnya, Iksaka Banu dan Kurnia Effendi? Ramuan tersebut menjadikan buku digadang-gadang sebagai buku cerita yang berbobot (dan menggembirakan).

Dan, memang jika kita menelusuri cerita demi cerita dalam buku ini, kita akan dibawa kepada dunia anak-anak yang kreatif, imajinatif, menggembirakan, dan penuh petualangan. Semua cerita dikisahkan dari sudut pandang tokoh anak-anak di situ. Penulis seakan undur diri dan membiarkan naratornya yang adalah bocah berkisah.

Bobot cerita-cerita di buku ini tidak diperoleh dari petikan kata-kata petuah, nasihat nan bijak-bestari. Juga bukan dari mulut sang penulis di akhir cerita yang membeberkan kepada pembaca: ini lho moral dari cerita ini, ini lho yang bisa kalian pelajari, dan semacamnya.

Bobot dari tulisan-tulisan yang dirangkum dalam buku ini terletak di dalam cerita itu sendiri. Cerita atau narasi yang dipaparkan menarik, menggelitik, membuat pembacanya terharu, membuat mereka tertawa, membuat anak-anak bertanya tentang tokoh dan peristiwa, dan pada akhirnya tentang diri mereka sendiri. Begitulah semestinya cerita itu. Cerita tokoh membuat pembacanya melihat representasi atau bayangan dirinya sendiri tanpa secara vulgar menggurui apalagi mengkhotbahi.

Akmar Nasery Basral di dalam “Pengalaman Berkemah Fira dan Bondan” bercerita tentang sebuah keluarga perkotaan yang mencoba membangun kebersamaan dan kegembiraan lewat hal-hal kecil. Berkemah di taman rumah, memandangi bintang dan bulan, memetik dawai gitar dan bernyanyi bersama adalah cara-cara sederhana untuk membangun jiwa sang anak menjadi pribadi yang gembira, penuh syukur, saling menghargai, dan cinta alam. Nilai atau ajaran tetap diperkenalkan, tetapi tidak secara ‘telanjang’ dan dicekokkan begitu saja. Nilai dan moral disisipkan lewat jalinan cerita.

Begitu pulalah yang dapat kita nikmati dan petik dari tiga cerita yang ditulis oleh Ari Ambarwati. “Kala Jagu tak Lagi Berkokok” berkisah tentang ayam jago yang bosan menjadi hewan yang pertama kali bangun di pagi hari dan harus teriak kencang-kencang untuk membangunkan hewan-hewan lain. “Berayunlah Pupin” bercerita tentang siput pemalu dan penyendiri yang belajar tentang bagaimana berusaha berteman. “Aku sudah Tahu Rahasianya” adalah cerita tentang seorang kakak yang berusaha memahami kebiasaan-kebiasaan adiknya agar dapat menjaganya dengan baik. Cerita-cerita ini mengingatkan kita pada dongeng sebelum tidur yang biasa disampaikan oleh orang tua atau kerabat kepada kita. Ini adalah cerita, yang mengalir dan bisa dinikmati sampai kita terbawa ke alam mimpi.

Cerita karangan Danny I. Yatim, yaitu “Waraney Si Pencerita” dan “Beragam Teman, Beragam Festival” selain memaparkan kisah yang menarik juga membawa pembaca pada keinginan dan kesadaran untuk menghargai perbedaan, baik dalam hal kepribadian maupun dalam hal budaya. Di dalam kesadaran untuk menghargai tersebut, tidak ada keinginan untuk menghakimi dan menilai secara serampangan dan berlebihan.

“Nasi Kuning Tante Fani,” “Republik Nasi Goreng”, dan “Tenggiri Acara Kuning ala Chef Anta” adalah cerita-cerita tentang asyiknya berpetualang di dunia kuliner di mata anak-anak. Ada momen di mana sang tokoh memotret makanan yang disajikan, mengunggahnya ke laman media sosialnya, mendapat banyak penonton, dan akhirnya membantu usaha si pemilik warung. Ini adalah kisah yang sangat faktual dan relevan di zaman ini.

Akhirnya, buku ini layak dinikmati karena kisahnya membawa kegembiraan, haru, syukur, penghargaan pada sesama dan alam. Selain itu, ilustrasinya pun sangat baik. Cocok untuk dibaca sendiri oleh anak-anak ataupun dibacakan oleh orang tua.

1 KOMENTAR

  1. Sudah kudapatkan (kubeli) buku ini sebagai hadiah ulang tahun buat cucu. Kerennya dapat tulisan tangan khusus untuknya dari salah satu penulis yaitu Danny Yatim. Berhubung saat ini dia belum bisa baca (usia 4 tahun) maka kita bacakan sebagai teman tidurnya. Ia menyukainya!! Terutama karena tidak ada nasihat2, tokohnya mudah ia mengerti dan ceritanya sederhana. Kita yang membacakannya pun mudah.