Terakota.ID-–Pentas pembacaan puisi dalam acara Borobudur Writes and Cultural Festival (BWCF) yang menampilkan Sutardji Chozulm Bachri (83), Jose Rizal Manua (76), Tengsoe Tjahjono (65), Afrizal Malna (67) sangatlah memukau. Para penonton benar-benar disuguhi pola pembacaan puisi yang sangat tidak membosankan. Puisi seolah dibawa pada panggung hiburan entertaintment. Masing-masing membaca dengan caranya sendiri.
Penampilan pertama oleh Tengsoe Tjahyono yang juga penggagas Puisi Tiga Paragraf, menampilkan musikalisasi puisi. Dimana Tengsoe merespon lukisan dari seorang pelukis yang juga musikus Charles Djalu, lalu puisi itu dijadikan lagu oleh Jalu. Keduanya lalu berkolaburasi dalam lagu dan puisi.
Antara lirik lagu dan puisi saling bersahutan di momen harmoni yang telah mereka tentukan. Lalu Tengsoe menawarkan pada Jalu untuk mengajak penonton terlibat dalam lagu dan Tengsoe menyeruak dengan puisinya diantara jeritan koor penonton dan petikan dawai dari Jalu and friend.
Penampilan kedua dibawakan oleh Jose Rizal Manua sang Raja Deklamator. Jose Rizal membawakan puisi kritik sosial dan politik dengan gaya deklamasi yang berkarakter kuat dengan diiringi ilustrasi musik, sesekali membawakan cuplikan sebuah lagu yang lalu direspon oleh puisinya dengan suara lantang yang menghipnotis. Hanya sekitar tiga atau empat puisi yang dibawakan oleh Jose Rizal. Tapi cukup membuat penonton terpuaskan oleh tampilannya.
Penampil ketiga adalah Afrizal Malna seorang sastrawan postmo dengan karakter puisinya yang sangat berbeda dengan puisi pada umumnya. Afrizal muncul sambil menyeret sebuah koper putih, lalu diam dan menoleh ke tembok tempat puisi ilustrasinya ditampilkan dilayar. Puisi itu bergambar dan bervariasi yang bercerita tentang teknologi dan penemuan-penemuannya. Afrizal hadir dengan pembacaan puisi yang sangat teatrikal dan ide baru untuk wajah pembacaan puisi Indonesia.
Di penghujung acara, berjalanlah seorang laki-laki yang sudah tua tapi menolak tua. Lelaki itu berjalan dituntun oleh dua orang, entah itu asistennya atau anaknya. Lalu duduk dan bicara tentang perjalanannya sebagai seorang manusia dan pencari, sambil membuka tas yang berisi lembaran-lembaran puisinya.
Sutardji Cholzum Bachri lalu menyanyikan sebuah lagu yang berjudul Summertime milik Janis Joplin. Usai menyanyikan Summertime dengan tidak tuntas, lalu membacakan puisinya tentang pengalaman proses yang telah beliau dapatkan. Lalu kembali menyanyikan lagi Pop era 60-an dan membacakan lagi puisinya.
Diantara nyanyi dan membaca puisi tersebut bercerita tentang apa saja. Suaranya yang agak parau dan cenderung seperti seorang vocalis blues, benar-benar menghipnotis penonton yang asyik duduk seolah tak berjarak.
Dipanggung utama dihari yang lain setelahnya. Jumaali yang meskipun bukan sebagai undangan turut mengapresiasi dan meramaikan suasana dengan tampilannya yang khas. Jumaali yang berlatar sarjana teater selama ini dikenal sebagai dalang Wayang Wolak Walik namun di beberapa kesempatan selaku mendengarkan istilah baru yaitu Sastra Cocot.
Sastra Cocot adalah sastra yang tidak terlibat dalam karya tulis namun cenderung membacakan karya sastra berupa puisi dongeng atau apapun itu bentuk karya tulis yang lain. Juma’ali sore itu membawakan puisi karya Nanang Suryadi dengan diiringi rebana yang ditabuh sendiri dan kencreng yang diikatkan dikakinya. Pembacaannya seperti seorang yang menyanyikan hadrah atau terkadang seperti nembang jawa.
Secara keseluruhan penampilan mereka sangat menarik dan membuat siapapun yang hadir merasa puas dan mendapati kenangan tersendiri. Pembacaan puisi kita selama ini cenderung sangat membosankan, tak ada inovasi yang membuat seseorang menjadi tertarik untuk menikmati pementasan puisi. Pembacaan puisi umumnya sangat garing dan jauh dari kata menarik masyarakat untuk menontonnya.
Semasa hidupnya WS Rendra hadir dengan karakter suara yang khas, gaya gerak tubuh dan kharismanya sangat mempengaruhi siapapun yang menontonnya. Kecerdasan dan kepeduliannya terhadap masyarakat lemah dan keberaniannya melawan hegemoni kekuasaan menjadi salah satu daya tarik kekuatan beliau setiap kali hadir dan membacakan puisinya.
Indonesia dan perpusiannya saat ini butuh inovasi entertainment untuk tampil diatas panggung. Sehingga seorang sastrawan akan bisa menjadi daya tarik sepeti halnya musisi dan dunia perfilman dalam khazanah kesenian.
4 Desember 2023
Seniman dan pegiat literasi