Mitos “Kandang Bubrah” pada Pembangunan Koridor Heritage Kajoetangan

Stadsklok ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada 2021. Dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Cagar Budaya. (Foto: Restu Respati).
Iklan terakota

Terakota.IDDalam mitologi Jawa ada sebutan “kandang bubrah” (bongkar kandang secara berulang-ulang). Mitos ini diyakini oleh orang yang mempercayai sebagai wahana mistis untuk “memperlancar rejeki”. Konsepsinya adalah : apabila menginginkan rejeki mengalir lancar (ndilir), maka secara periodik, misalnya tiap tahun, sebagian rumah tinggalnya dibongkar (dibu- brahi) lantas dibangun kembali- kendatipun yang dibongkar itu sesungguhnya masih dalam kondisi layak.

Konon mitologi ini dijadikan semacam “ilmu pesugihan”, ikhtiar mistis untuk menjadi kaya dan kian tambah kaya (sugih). Ketika mengamati dengan seksama pembangunan Koridoor Heritage (?) Kajoe Tangan, tahun demi tahun, tergambar bahwa tiap tahun ada saja bagian koridoor ini yang dibangun. Bukan senantiasa untuk mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada agar menjadi ada, tetapi juga dengan membongkar yang sudah ada untuk dibangun lagi dengan sedikit beda.

Misal, tatanan batu andesit di pertigaan Avia yang dibangun tahun lalu, sekarang teah dibongkar. Lantas dibangun lagi dengan sedikit berbeda. Bahkan, ironisnya, ada bagian yang bongkar untuk dibangun ulang dengan dimensi beda. Padahal masih belum satu tahun terbangun, kurang dari satu bulan selesai dibangun.

Misal, penyekat (median) jalan di perempat BCA (dulu dinamai “Radja Balie”). Dengan alasan kegedean, yang barusan selesai dibangun, lalu dibongkar untuk dikecilkan. Nah mbanyol kan, kalah sama penjahit. Terhadap fenomena itu, ada seorang teman menyeletuk ‘lho, kok koyok kandang bubrah’ .

Apakah Pemkot Malang mengamalkan “ilmu kan-dang bubrah” untuk bisa mendapatkan pesugihan (kekayaan)? Sangat mungkin tidak. Jikalau tidak, mengapa bangun-bongkar (bongkar-pasang)? Apa pembangunannya tidak mendasarkan pada rencana komprehensif (menyeluruh) yang diformulasikan dengan cermat menurut hasil kajian yang akurat?

Semestinya, tidak membangun kawasan secara “trial and error” (coba dan salah, coba lagi dan salah lagi). Tidak mengapa asal buat, bila terbukti salah (error), bisa dibongkar lalu dibangun ulang.  Apabila error lagi, ya… dibongkar lagi, lantas bangun ulang lagi.

Nah, gampang tho. Dengan cara demikian, tak henti-hentinya, ada-ada saja yang bisa diproyekkan. Namun, sesungguhnya yang terpenting bukan proyeknya, melainkan hasil terbaiknya.

Separator jalan adalah pemisah jalur yang merupakan bagian dari jalan. Merupakan bangunan beton yang ditinggikan. (Restu Respati).

Dalam kedua contoh kasus pada Koridoor Kajoe Tangan tersebut diatas, tergambar bahwa pembangunannya kurang didasari oleh hasil kajian serta perencanaan kawasan secara matang. Kelancaran laju mobil ambulans serta mobil pemadam kebakaran untuk capai tujuan misalnya, menjadi alasan (dasar pertimbangan) untuk akan membongkarnya. Lantas mengubah dengan membangun ulang median jalan di pertigaan Avia (nama lama “Winkel Cenplex Lux”) dan perempatan BCA.

Kenapa pertimbangan itu tidak muncul manakala masih pada tahap perencanaan?. Suatu pertimbangan yang sayang telat muncul. Baru muncul (tepatnya “dimunculkan”) justru tatkala median jalan itu telah rampung dibangun. Bahkan masih “keweh- keweh dadi” (barusan selesai jadi). Mulane tha, jok grusa-grusu nek mbangun.

Sehingga, muncul pertanyaan : siapa yang dirugikan, dan sebaliknya siapakah yang diuntungkan? Apakah pembangunan pada keduanya itu  berkontribusi terhadap “ke-heritagean” (kecagarbudayaan) Koridoor Heritage Kajoe Tangan?

Meski mempunyai unsur sebutan “heritage”, namun dalam pembangunannya kurang perhatian terhadap kecagarbudayaanya. Kalau demikian, buat apa unsur sebutan “heritage” disematkan kepadanya? Nuwun.

Griyajar CITRALEKHA, 10 Desember 2023

Artikel ini sebelumnya telah diunggah di akun Facebook M. Dwi Cahyono