
Terakota.ID–Hampir semua remaja ingin menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis yang disukainya, yang biasa disebut berpacaran (dating?). Sebagian lainnya mungkin ingin langsung menikah tanpa menjalani terlebih dahulu hubungan berpacaran. Pertanyaannya adalah bagaimana pola hubungan yang berkembang di dalam hubungan berpacaran? Bagaimana komunikasi dengan pasangannya berlangsung dalam rangka menuai hasil dari tujuan berpacaran masing-masing pihak? Tulisan ini menjawab pertanyaan tersebut.
Pola Hubungan dalam Berpacaran
Anggapan banyak orang, mayoritas orang berpacaran dengan tujuan mendapatkan pasangan hidup dalam ikatan perkawinan, melalui hubungan berpacaran terlebih dahulu, dengan harapan menemukan kecocokan untuk selanjutnya dijadikan pasangan hidup dalam rumahtangganya. Ada juga yang bertujuan untuk memperoleh kesenangan, menyalurkan gairah asmara dengan pasangan yang sesuai seleranya. Terdapat pula yang bertujuan untuk memperoleh status sosial bahwa dirinya “laku”, memiliki pacar dan tidak jomblo.
Tak sedikit pula yang bertujuan untuk memperoleh hal yang bersifat material seperti memperoleh sarana transportasi gratis (kemana-mana diantar pacarnya), mendapatkan traktiran makan malam secara rutin, dibelikan asesoris yang disukainya, dan lainnya. Ada juga yang bertujuan memperoleh bantuan dari pacarnya dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Dalam teori Social Exchange, Thibault dan Kelley kemukakan bahwa orang menjalin hubungan dengan orang lain (termasuk dalam hubungan berpacaran) didasarkan atas harapan memperoleh keuntungan dari hubungan tersebut. Orang menghindari hubungan atau memutus hubungan dengan seseorang karena menganggap dirinya akan (atau telah) menderita kerugian dari hubungan tersebut. Hubungan antarpribadi dijalani berdasar pada anggapan tentang untung/rugi. Dalam teori ini manusia dianggap mahlk yang kalkulatif, cenderung mengalkulasi pilihan keputusannya akan menguntungukan atau merugikannya. Untung/rugi tersebut bukan cuma material sifatnya. Baik “untung” maupun “rugi” bisa juga bersifat psikologis (berkait pikiran dan perasaan). Orang memperoleh pengetahuan atau kesenangan merupakan keuntungan psikologis.
Sebaliknya, orang kecewa, sakit hati, muak, kebingungan dan sebagainya merupakan kerugian psikologis. Sementara keuntungan/kerugian material bisa berupa uang, barang, tenaga, waktu (time is money). Memperoleh traktiran makan, diantar-jemput setiap kuliah, didampingi jalan-jalan, dibelikan pakaian, dibantu mengetik tugas kuliah, termasuk memperoleh keuntungan material. Sementara korban waktu, tenaga, menraktir makan malam, diporotin, termasuk menderita kerugian (pengorbanan) material. Maka orang senantiasa mengalkulasi lebih banyak mana antara keuntungan dan kerugian atau pengorbanannya. Keuntungan/kerugian lainnya bersifat sosial. Keuntungan sosial misalnya berupa penilaian baik oleh masyarakat, popularitas, pujian dari lingkungannya, dan membuatnya bangga.
Sebaliknya kerugian sosial misalnya menjadi tercemar, dicibirin tetangga atau teman-temannya, dikucilkan dari lingkungannya dan lainnya. Salah satu pihak akan memutus hubungan bila hasil kalkulasinya mulai merugi tidak menguntungkan lagi; jika menganggap masih untung, apakah material, psikologis atau sosial, akan meneruskan hubungan, termasuk dalam hubungan berpacaran. Orang yang berupaya setia walau merugi secara material, merupakan orang yang berupaya memperoleh keuntungan sosial (dan psikologis).
Atas dasar itu maka dalam hubungan berpacaran bisa terbentuk pola yang bermacam-macam. Pola simetris, merupakan pola di mana kedua pihak sama-sama memperoleh keuntungan psikologis saja, atau sama-sama memperoleh keuntungan sosial (kecil sekali kemungkinannya hanya memperoleh keuntungan sosial tanpa disertai keuntungan psikologis). Keduanya juga berkorban (modal yang dipertaruhkan) yang bersifat material. Kedua pihak tidak mengharap keuntungan material.
Sementara pola asimetris merupakan pola di mana masing-masing pihak memperoleh keuntungan dan menderita kerugian (modal yang dipertaruhkan) berbeda dalam sifat atau dimensinya. Misalnya pasangan A dan B, A memperoleh keuntungan material dari hubungan dengan B, mengorbankan psikologis dan sosialnya demi memperoleh keuntungan material tersebut, sementara B berkorban material demi memperoleh keuntungan psikologis dan sosial dari hubungan dengan A. Ketika kemudian B menjadi pelit kepada A, maka A akan meninggalkan B. begitu pula jika B mulai bosan dengan A, B akan mencari pengganti A yang lebih menarik hatinya. Dalam kisah Romeo and Juliet yang melegenda itu, polanya bersifat simetris, kedua pihak memperoleh keuntungan psikologis (saling cinta dan sayang) dan keduanya menderita kerugian sosial (ditentang keluarga dan ditolak masyarakatnya, karena masing-masing berasal dari keluarga bangsawan dari dua negara yang bermusuhan).
Komunikasi dalam Hubungan Berpacaran
Dalam pasangan yang polanya simetris yang tujuan berpacarannya sama-sama untuk memperoleh kesenangan atau kemesraan, komunikasinya berlangsung dengan menyertakan pesan-pesan yang ditujukan untuk mempengaruhi pacarnya agar memberikan kemesraan padanya. Maka pujian-pujian (serta rayuan) banyak bermunculan, walau sebagiannya palsu (tak jujur), demi mencapai tujuan. Dalam hubungan pola simetris, kedua pihak bisa melakukan hal yang sama. Dalam pasangan yang berpola asimetris, dan yang tujuan kedua pihak berbeda, misalnya si A bertujuan untuk memperoleh keuntungan material sementara pihak B bertujuan untuk memperoleh keuntungan psikologis, maka pesan komunikasi pihak A cenderung diarahkan untuk mempengaruhi B agar B memberikan keuntungan material baginya; di pihak lain, B, pesan komunikasinya diarahkan untuk mempengaruhi A agar A memberikan keuntungan psikologis baginya.
Jika tujuan berpacaran kedua pihak berbeda, pihak C bertujuan memperoleh kesenangan dari berpacarannya, sementara pihak D bertujuan memperoleh calon pasangan hidup dalam rumahtangga, maka pesan komunikasi dari pihak C cenderung diarahkan untuk mempengaruhi D agar D memberikan kesenangan baginya. C berharap D memberondong ekspresi kemesraan dalam komunikasinya dengan dirinya. Sementara pesan komunikasi pihak D diarahkan untuk mempengaruhi C agar C berupaya mempertahankan hubungan dengan D.
Hal menarik untuk dicermati jika hubungan berpacaran, bagi kedua pihak, bertujuan untuk mendapatkan pasangan hidup dalam rumahtangga, maka komunikasinya diarahkan untuk memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang diri pasangannya. Dengan demikian akan diketahui sesungguhnya diri pasangannya cocok dengan dirinya atau tidak. Namun dalam prakteknya, banyak terjadi di mana komunikasi yang dilakukan dengan pasangannya bukan untuk memperoleh pemahaman secara real diri pasangannya. Komunikasinya cenderung diarahkan untuk memperoleh kesenangan atau untuk “mempertahankan hubungan”, kurang diarahkan untuk memperoleh pengetahuan sesungguhnya tentang diri pasangannya.
Akibatnya kedua pihak, atau salah satu pihak, salah persepsi tentang diri pasangannya, dianggapnya “telah menemukan” pasangan yang cocok. Setelah memasuki masa perkawinan, berumahtangga, berdua memasuki kehidupan nyata yang banyak persoalan yang juga nyata, tekanan kehidupan juga nyata, muncullah watak asli pasangannya, yang sebenarnya tidak sesuai dengan harapannya. Maka komunikasi semasa berpacaran dituntut produktif, dalam arti kedua pihak menghasilkan pengetahuan real tentang karakter pasangannya, bukan karakter semu.

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, UMM