
Oleh: Antono Wahyudi – Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung
Terakota.ID—Beberapa hari sebelum mencoblos, notifikasi handphone saya berbunyi secara intens. Saya mendapatkan pertanyaan dari salah satu tetangga tentang film dokumenter yang cukup viral ini. “Bagaimana ini, apa tanggapan Pak Antono?”, begitu katanya. Nampaknya, ia cukup kebingungan setelah menonton film ini dengan apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bersikap terhadap dinamika politik pada umumnya.
Terus terang pada saat itu saya belum menontonnya. Saya tahu ada film itu. Tapi saya merasa enggan untuk menontonnya, bukan karena hal ini berkaitan dengan sikap fanatisme terhadap salah satu paslon, tetapi karena saya sudah bisa menduga apa substansi isinya berdasarkan konten karya-karya sebelumnya.
Saya termasuk warga yang memegang prinsip “memilih yang buruk dari yang terburuk” atau “jangan biarkan calon yang terburuk memimpin bangsa ini!”. Paling tidak untuk periode ini seperti demikian. Artinya, tidak ada disposisi fanatisme di dalam diri saya terhadap ketiga paslon capres dan cawapres. Tidak akan pernah. Kapanpun dan dimanapun.
Sebagai seorang tetangga yang baik, tentu saya harus berkomentar terhadap film yang kata orang emblem “dokumenter” tak kompatibel disandingkan di dalam karya ini. Terlepas dari apa kata orang, tentu komentar saya terhadap karya ini bisa saja salah, atau ada salahnya, bisa jadi benar, atau ada benarnya.
Dengan demikian, hal ini secara sadar mampu meminimalisir tendensi saya untuk membela salah satu paslon yang nanti akan saya coblos di hari Valentine. Kurang lebih begitulah tanggapan pembuka yang saya sampaikan kepada tetangga saya ini. Sekurang-kurangnya, terdapat lima analisis sederhana yang dapat saya sampaikan.
Film Dokumenter yang Unik dan Kreatif
Pertama-tama, harus diakui, secara kreativitas estetis dan keunikan, sudah tidak heran bahwa sang sutradara, Dandy Laksono, telah menyulap dan mengemas aktivitas sederhana “presentasi/ceramah dosen” dengan berhasil menghipnotis kesadaran penyimak menjadi terkesima terhadap model videografis yang terbilang tidak umum, paling tidak menurut kacamata saya sebagai “orang awam” sekaligus penikmat film dokumenter apapun substansinya.
Bagi saya, bukan soal pencahayaan saja, melainkan perpaduan antara narasi, latar musik serta tata letak obyek dan subyek (termasuk didalamnya adalah kumpulan “aktor”). Ya, di film itu sang aktor bukan saja tiga orang Dosen ahli hukum tata negara yang kerap muncul di berbagai media berdialog dengan para politisi, tetapi juga orang-orang yang berada di depan layar juga turut berkontribusi di dalam membawa suasana cemas, prihatin, kecewa dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, tentu film dokumenter ini mengedepankan momentum. Inilah yang menurut saya menjadi ujung tombak viralitas suatu karya. Masih ingat film dokumenter “The Sexy Killers” yang tayang beberapa hari menjelang pemilu? Keren! Bukan kaleng-kaleng! Tak terpikirkan bukan?!
Data Sebagai Bahan Dasar Penelitian
Sebagai seorang dosen, memang tidak mudah mempresentasikan hasil penelitian yang hendak mendekatkan hasil pada prinsip objektivitas. Namun, bukan berarti hal itu mustahil. Film dokumenter “Dirty Vote” sebenarnya adalah hasil dari, katakanlah, penelitian para aktor (tentu dibantu dengan aktor-aktor lainnya). Kata “aktor” di sini bukan memaksudkan bermain atau adanya permainan peran (sehingga tidak otentik), melainkan mau mengatakan adanya subyek-subyek penting yang menjadi sortan perhatian.
Penelitian ini bagi saya masuk dalam kategori penelitian yang menggunakan pendekatan empiris. Secara sederhana, penelitian semacam ini kerap dilakukan oleh seorang detektif, katakanlah begitu. Ya, detektif. Sebab, sang detektif ingin membongkar suatu kasus kriminal dan tujuan utamanya adalah mencari siapa dalangnya.
Mari kita lihat bahan-bahan referensi apa saja yang digunakan untuk dapat mengungkap siapa dalang di balik ini semua. Pertama dengan menggunakan data sekunder berupa cuplikan-cuplikan (teks narasi berita, video, dan layar tangkap wa dan x/tweeter) di media sosial. Kedua, data primer dokumen-dokumen yang sepertinya resmi berhasil didapatkan. Entah, dari mana dan bagaimana mereka bisa mendapatkan dokumen-dokumen tersebut. Sebagai seorang dosen, tentu menjadi hal yang mutlak untuk dapat mempertanggung jawabkan asbabul-nusul dokumen tersebut didapatkan (agar tidak muncul bias, fake document, dst.). Ketiga, data primer seperti rekaman wawancara atau suara “narasumber”.
Apakah ada lagi selain itu? Mungkin saya ada yang terlewat. Namanya juga manusia. Tetapi dari ketiga bahan referensi tersebut, pertanyaannya adalah, referensi mana yang paling banyak digunakan di dalam film ini? Data sekunder atau primer? Hal ini menjadi krusial di dalam tataran akademis. Semakin banyak data primer yang didapatkan, semakin dekat peneliti mendapatkan kebenaran yang objektif, dan begitu juga sebaliknya.
Ketiga Dosen dalam film tersebut tentu setuju akan hal ini. Alih-alih memasuki zona ilmiah-akademis, tentu akan berbeda perbincangan ini jika tujuan dari film dokumenter (penelitian) tersebut memang diniatkan memasuki zona populer. Jika memang demikian, hal ini menjadi kontra produktif dengan roh profesionalitas kepakaran mereka sebagai Dosen apalagi berbicara soal politik yang menyangkut keberlangsungan Bangsa, bukan?
Meneliti persoalan politik tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Meneliti bagaimana persoalan yang ada di dalam keluarga tetangga kita saja misalnya, membutuhkan waktu dan tidak mudah. Apalagi persoalan politik praktis. Bayangkan, “Dirty Vote” konon dibuat dalam waktu sekitar dua minggu! Apakah dengan durasi waktu semacam itu mampu mengetahui dalang dibalik semua ini? Jika memang mampu, saya salut! Langkah selanjutnya, mohon dan tolong usut tuntas persoalan radikalisme dan intoleransi serta persoalan narkoba yang tak ada habis-habisnya.
Oh iya, di film tersebut ditampilkan grafik-grafik dan semacamnya, tetapi data-data tersebut hanya untuk menguatkan data primer saja, oleh sebab itu data tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam data sekunder. Artinya, data-data tersebut dapat diakses oleh khalayak umum.
Menggiring Opini Publik di Luar Jalur Intensi (?)
Film dokumenter ini sangat bagus. Tidak bisa dipungkiri. Sayangnya, film ini memiliki tendensi—meskipun mungkin sama sekali bukan menjadi intensi pembuat film—untuk memperlihatkan dari ketiga paslon, siapakah yang bermain curang dan siapakah yang tidak.
Dengan demikian, netizen seoalah-olah “diajak” untuk memilih paslon yang tidak curang. Bagaimana tidak, banyak pendukung fanatik yang meng-elu-elu-kan film dokumenter ini sebagai “senjata” untuk melawan para pendukung paslon lainnya dengan cukup mengatakan: “Cobalah tonton Dirty Vote! Masih yakin situ bakal milih paslon nomor tersebut? Sudahlah, paslon gue yang jelas-jelas bersih, soleh, dan pintar!”. “Gunakan akal sehat! Mari kita berjuang demi perubahan!”.

Sekali lagi, hal ini barangkali bukanlah intensi dari pembuat film dokumenter tersebut dan mungkin juga tidak peduli bagaimana reaksi penonton. Namun, faktanya reaksi sebagian masyarakat seperti itu. Cobalah perhatikan dan amati group whatsapp anda yang di dalamnya terdapat pendukung fanatik salah satu paslon tersebut.
Inilah yang sangat disayangkan, alangkah bijaksananya jika film ini mampu meminimalisir tendensius semacam ini di dalam memilih paslon alih-alih yang menjadi fokus penekanannya adalah sistem pemilihan yang kotor. Dengan bahasa yang sederhana: Film ini seakan-akan secara tidak langsung ingin mengajak netizen untuk memilih salah satu paslon. Atau, barangkali memang itu tujuan dibuatnya film ini? Tentu, saya bisa salah. Semoga saya salah.
Berhasil Mendapatkan “Pola” Bukan Kebenaran Objektif
Namun demikian, harus diakui, dengan waktu yang relatif singkat, film ini berhasil mengangkat pola kecurangan. Sekali lagi, “pola”. Dengan kata lain, sang “detektif” berhasil melihat gejala-gejala janggal di dalam suatu kasus pembunuhan, dan kemudian bisa menduga secara tidak langsung siapa pembunuhnya.
Namun, sayangnya, sang detektif belum bisa membuktikan secara objektif—secara empiris berdasarkan dominan data-data primer—siapa pembunuhnya (karena hanya pola yang ditangkap). Mengetahui kebenaran persoalan keluarga tetangga kita sendiri tidaklah mudah, apalagi ini adalah persoalan politik praktis yang sangat kompleks, begitu dinamis, abu-abu, dan kerap ambigu.
Bisa saja mengetahui masalah apa yang sedang dihadapi oleh tentangga kita, caranya tinggal bersama mereka minimal dalam waktu dua tahun! Kebenaran empiris akan terungkap. Siapa yang selingkuh dan mengapa terjadi perselingkuhan. Semua jadi jelas. Dengan kata lain, butuh waktu (tidak hanya dua minggu) untuk mendapatkan kebenaran objektif-empiris di dalam (apalagi terkait) persoalan politik praktis. Saya rasa ini adalah logika yang sangat sederhana, bukan!?
Film ini berhasil mendapatkan pola! Itu sudah bagus sekali! Sayangnya, alih-alih netizen melihat sang detektif behasil menemukan gejala-gejala atau tanda-tanda yang mengarah pada si pembunuh, mereka justru menganggap sang detektif telah menemukan si pembunuh. Sekali lagi, barangkali si pembuat film sama sekali tidak bermaksud untuk itu, tetapi kalaupun hal ini benar, apakah sudah terpikirkan?
Bagaimana Kualitas Literasi Netizen?
Bagaimana kualitas netizen kita memahami suatu informasi? Apakah sudah terpikirkan? Meskipun di dalam film dokumenter tersebut, beberapa kali ketiga Dosen menyampaikan, “perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut” atau kata-kata semacam: “barangkali” atau “mungkin” dan seterusnya terhadap analisis data yang digunakan. Bisakah netizen pada umumnya mencerna narasi semacam ini sebelum menyimpulkan kualitas substansi dari film ini?
Lantas, bagaimana caranya agar film dokumenter ini tidak terkesan tendensius terhadap salah satu paslon? Ya, perlu dilakukan penelitian secara adil. Tentu masih banyak isu-isu yang dapat ditelusuri lebih lanjut pada masa para partai mencari kandidat capres dan cawapres. Atau, bagaimana dengan tabiat partai politik maupun politisi saat ini? Apakah ada yang murni ideologis? ataukah semua oportunis? Sebenarnya banyak kejanggalan-kejanggalan yang dapat diangkat agar film ini tidak tendensius.
Variabel semacam ini dapat diangkat untuk dapat menyeimbangkan bagaimana implikasi netizen di dalam mempersepsikan ketiga paslon berdasarkan narasi yang ada di dalam film dokumenter ini. Dengan demikian, film ini bisa dikatakan “objektif” (atau ilmiah) tidak tendensius terhadap salah satu paslon.
Perlu ditekankan di sini bahwa saya tidak mengatakan film ini dibuat untuk menggiring opini rakyat. Saya sama sekali tidak tahu kebenaran itu. Hanya sang detektif dan Tuhan yang tahu. Baik, saya coba untuk berpikir positif, bahwa sang detektif tidak memiliki intensi tendensius. Hanya saja, sang detektif barangkali lupa atau bahkan tak terpikirkan bagaimana kualitas literasi netizen kita.
Demikian hasil observasi saya terhadap film dokumenter ini. Sekali lagi, saya bisa salah, bisa benar, bisa ada salahnya, bisa ada benarnya. Dan, kapasitas saya bukan untuk menghujat film ini, justru saya mengapresiasi film dokumenter ini.
Harapan saya, semoga kedepannya akan ada ahli-ahli selanjutnya yang tidak hanya dibidang hukum, tetapi juga politik, ekonomi, sosial, sastra, budaya, filsafat, industri, jurnalisme yang mampu (membentuk tim solid) melakukan penelitian yang objektif, ilmiah, dan mengedepankan data-data yang lebih banyak dalam tataran data primer (data-data lapangan seperti wawancara, observasi, cctv, para saksi mata, pengakuan-pengakuan subjek, dan penemuan-penemuan objektif lainnya) ketimbang sekunder, sehingga emblem “dokumenter” cukup kompatibel disandingkan di dalam karya monumental ini.
Setelah mendengarkan penjelasan ini, tetangga saya mengajak saya untuk kopdar di dekat tempat kami tinggal. Kami menikmati hawa sejuk, ditambah seruputan kopi pahit dengan beberapa gorengan hangat dan gurih, murah meriah, disertai dengan hisapan rokok kretek yang mampu mengendorkan ketegangan jutaan neoron yang menggeliat di otak kita. Hasil yang kami dapatkan adalah kesadaran akan pengedepanan kebaikan ketimbang kebenaran, perspektif yang semakin luas, dan kepercayaan diri di dalam menjalani kehidupan di tengah hiruk-pikuk dan hingar-bingar politik praktis yang sangat dinamis.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi