Soto dan Jose Rizal di Paris Exposition Universelle 1889 Tentang Pan-Malayan, Multatulli, Soto, dan Sambal Terasi

Iklan terakota

Terakota.ID–José Protacio Rizal Mercado y Alonso Realonda (19 Juni 1861 – 30 Desember 1896) adalah pahlawan bangsa Filipina. Ia merupakan anak yang ketujuh dari 12 bersaudara dari keluarga Francisco Rizal Mercado dan Teodora Alonzo dan dilahirkan di dalam sebuah keluarga kelas menengah Tionghoa-Mestizo yang kaya di Calamba, Provinsi Laguna, Filipina. Kiprahnya dalam membangun kesadaran bangsa melayu membuat dia banyak digelari sebagai sosok “Kebanggaan Ras Melayu,” “Tokoh Besar Malaya,” “Mesias Penebusan”. Sebuah pemikiran dan pergerakan yang terus digaungkannya semenjak dia merenung dan menuliskan nasib bangsa ‘Melayu’-Filipina dalam dua novelnya yang terkenal Noli Me Tangere (Jangan Sentuh Aku, 1887) dan El Filibusterismo (Merajalelanya Keserakahan, 1891). Kedua novelnya tak dapat dipisahkan semangat novel “Max Havelaar ” karya Multatuli (Douwes Dekker, 1859) yang Rizal baca dalam edisi bahasa Inggris.

Exposition Universelle 1889 adalah pameran dunia kolonial yang diadakan di Kota Paris, Prancis, dari tanggal 6 Mei hingga 31 Oktober 1889. Pameran ini diadakan pada tahun yang sama dengan perayaan 100 tahun Penyerbuan Bastille, peristiwa yang dianggap sebagai awal mula Revolusi Prancis yang ditandai pula dengan berdirinya menara Eifel. komposisinya nanti (Fauser & Fauser, 2005, p. 174). Pada Pameran tersebut, komponis Prancis Claude Debussy pertama kali mendengar musik gamelan Jawa yang dibawakan oleh para pengrawit Jawa yang kemudian akan mempengaruhi beberapa komposisinya (Fauser & Fauser, 2005, p. 174).

Jose Rizal bersama Paz Pardo de Tavera istrinya Juan Luna saat piknik di Paris 1889

Suatu kebetulan saat itu Jose Rizal untuk yang keduakalinya melawat ke Paris. Pameran yang mempertontonkan dunia koloni yang eksotik dan liar yang menampilkan bangsa-bangsa koloni sebagai tontonan peran keberhasilan dan kemajuan bangsa Eropa atas koloni mereka. Rizal di Paris tepat dua tahun setelah dia menerbitkan pertamakali Noli Me Tangere (1887) di Jerman. Saat Noli ini terbit pertama, di tahun itu pula penulis Max Havelaar yang menjadi pembicaraan Rizal dan klubnya, meninggal dunia.

Max Havelaar sangat melekat pada pikirannya Rizal, ini tampak dari surat-menyuratnya pada temannya di German, Blumentritt yang bertanggal 6 Desember 1888, Rizal mengirimkan suratnya dari London:

“Buku Multatuli, yang akan saya kirimkan kepada Anda segera setelah saya menerimanya, sangat menarik. Tidak diragukan lagi, itu jauh lebih unggul dari saya. Karena penulisnya sendiri adalah orang Belanda, [namun] serangannya tidak sekeras saya. Dia menulis dengan gaya yang lebih artistik dan halus, tapi dia hanya menunjukkan satu sisi kehidupan orang Belanda di Jawa.”

Di masa Exposition Universelle 1889 inilah dia membuat membuat kelompok rahasia mengemakan pembebaskan bangsa Melayu dari penjajahan kolonialisme Eropa lewat gerakan rahasia yang Rizal beri nama R.D.L.M (Redencion de los Malayos) Sociedad (Viana, 2015). Tujuan dari perkumpulan R.D.L.M, seperti yang dikatakan Rizal, adalah “menyebarkan semua ilmu yang bermanfaat—ilmiah, seni, sastra, dll—di Filipina sebagai persiapan revolusi Penebusan Ras Melayu dari bangsa Eropa. Mulanya dia membuat Klub Kidlat (Kilat) pada· 19 Maret 1889, hari yang sama ketika dia tiba di Paris dari London, Rizal mengatur paisanonya (rekan senegaranya) ke dalam kumpulan yang disebut Kidlat Club.  Kidlat Club murni kumpulan yang bersifat sementara.

Dibentuk Rizal hanya untuk menyatukan pemuda Filipina di ibu kota Prancis ini sehingga mereka dapat menikmati persinggahan mereka di kota selama durasi Pameran Universal. Saat pameran berlangsung dan terinsiparasi pula dari perjalanannya dari Amerika sebelu ke Perancis selama di Perancis dia juga membuat kumpulan Indios Bravos (IB) menggantikan Klub Kidlatnya. Anggotanya berjanji untuk unggul dalam kecakapan intelektual dan fisik untuk memenangkan kekaguman dari bangsa asing (Eropa). Di Perancis Rizal berlatih dengan sangat antusias menggunakan anggar dan pistol, bahkan Rizal mengajari paisanonya judo, seni bela diri Asia, yang dia pelajari di Jepang. Anggota IB inilah yang menjadi inti dari R.D.L.M Sociedad.

Felice Prudente Sta. Maria, penulis The Food of Jose Rizal (2017) meyakini bahwa sentimen pan-melayu ini semakin mengkristal saat dia melihat suasana Kampong Java di Exposition Universelle. dan menikmati sajian sup dan sambal terasi yang ada di menu Rijsttafel yang disajikan di Kafe-Resto Kampung Jawa La Buvette. La Buvette sebuah resto yang dibangun dengan dinding bamboo dan atap nipah berbentuk seperti masjid Jawa (Lombard, 1992).

Imaji tarian, musik, rumah dan penduduknya, warung, dan makanan Kampung Jawa di  Universalle Expotietion Paris 1889 ini menimbulkan kesan yang mendalam bagi Rizal hingga dia menuliskan surat kepada saudaranya di Dapitan. Di balik gemerlap pameran dunia kolonial ini, bagi Rizal, tabir-tabir ketidakadilan, pelecehan bangsa Eropa ke bangsa yang lain, menjadi realitas yang dibalut dengan ungkapan merayakan eksotisme dan tugas bagi bangsa kulit putih untuk memberadabkan bangsa-bangsa koloninya.

Ini membuat hasratnya  untuk “ […] memperluas perjuangannya tentang hak asasi manusia menjadi pan-Melayu;  […]. Membendung kelaparan dan mengembangkan pertanian berdampingan dengan peternakan penting baginya. Di mana pun dia tinggal, dia menikmati kelezatan makanan yang menenangkan sejak kecil, makanan Filipina, baik yang benar-benar disajikan untuknya atau yang dibayangkan (Maria, 2017, p. 217)”.

Dalam surat tertanggal 16 Mei 1889 pada saudarinya di Filipina, Rizal menulis tentang kampung Jawa dengan rumah dan restoran bambu beratap daun lontar. Ia menulis, “Orang-orang dari ras yang sama dengan kami, dan kami hampir memahami satu sama lain: mereka berbicara bahasa Melayu dan saya, Tagalog. Kami berpikir untuk makan suatu hari di karihan, kami semua orang Filipina yang berada di Paris, dengan istri, wanita muda, dan anak-anak. Untuk acara saat ini, kita akan memiliki sinigang dan bagoóng ; sekarang kami tidak tahu berapa biayanya (Maria, 2017, p. 119).”

La Buvette (restoran Jawa) tampilannya mirip warung (karihan) di desa-desa Filipina berdinding bambu dan atap dari dedaunan. Saat makan mereka juga menonton tarian Jawa yang diiringi gamelan dan dia teringat pada tarian Subli dari daerah asalnya, Batangas (Maria, 2017, p. 120). Meski Rizal terkenal sangat hemat, untuk makan seringkali ia tak dapat mengontrol. Jadi, dia tidak tahu berapa yang akan dihabiskannya saat makan rijstafel dengan teman-temannya saat itu. Namun kita tahu dari Paul le Jenisel bahwa biayanya 6 franc per orang. Rizal mengambarkan bahwa saat itu mereka menyantap hidangan Jawa semacam sinigang dan bagoóng . Felice Prudente Sta. Maria menduga bahwa sinigang dan bagoóng ‘Jawa’ yang disantap Rizal itu adalah Soto Madura dan sambal terasi.

Apakah sinigang dan bagoóng  itu adalah soto dan sambel terasi? Kenapa sinigang dan bagoóng  mampu membangkitkan revolusi dalam diri Rizal?

Menurut Maria, memang “Masakan Jawa tidak identik dengan masakan Filipina, tetapi mereka terkait, telah berevolusi dari lingkungan alam yang serupa”. Soto Madura yakni “sup daging sapi Jawa yang umum dengan sayuran dan udang kering dan diasamkan dengan jeruk nipis” mirip dengan tampilan dan citarasa sinagang. Sementara sambal “Jawa” ini menurut Maria serupa dengan sambal terasi Filipina yakni semacam Bagoóng Guisado. Bagoóng sendiri di Jawa  “tentunya menjadi ciri khas masakan Indonesia pada umumnya [yakni] terasi, pasta kental, asin, berwarna cokelat kehitaman yang terbuat dari udang. Terasi biasanya berbentuk blok keras dan dipakai sesuai kebutuhan, hanya satu irisan atau lebih (Maria, 2017, p. 219)“.

Sinigang sendiri adalah hidangan popular “Melayu” Filipina. Hidangan ini adalah sayur kuah dengan kaldu ikan, babi, ayam atau sapi dengan beberapa sayuran dan dibumbui dengan garam, asam jawa atau semacam buah atau daun asam khas Filipina. Orang Filipina sangat menyukainya. Untuk membayangkanya, bisa dilihat tampilan hidangan tersebut di gambar bawah ini.

Bagoóng (bɐɡuˈoŋ; Ilocano: bugguong) adalah bumbu Filipina yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari ikan yang difermentasi (bagoóng isdâ) atau krill/rebon (bagoóng alamáng) dengan garam. Proses fermentasi juga menghasilkan kecap ikan yang dikenal sebagai patis (berbeda dengan petis Jawa). Patis atau kecap ikan adalah produk sampingan dari proses fermentasi. Ini adalah cairan bening kekuningan yang mengapung di atas campuran fermentasi, dan memiliki rasa asin atau seperti keju yang tajam. Saus yang mirip dengan patís termasuk nước mắm di Vietnam, nam pha (ນ້ຳປາ) di Laos, hom ha di Cina, nam pla di Thailand, shitsuru di Jepang dan saeu chot di Korea, serta garum Yunani kuno dan kekaisaran Romawi (Mammedov, 2021).

Ada cerita mengapa bagoóng begitu sensitive pada diri Rizal sebagai orang Indios (sebutan pejorative Penguasa Spanyol pada pribumi di Filipina). Hal ini terungkap saat Pejabat kolonial Spanyol Antonio de Morga, dalam bukunya Sucesos de las Islas Filipinas (Events in the Philippine Islands, pertama kali diterbitkan 1609) memasukkan deskripsi bagoóng  sebagai “ikan yang … sudah mulai membusuk dan berbau. Dalam pandangan Morga orang Indios (sebutan untuk penduduk asli Filipina) “lebih suka daging dan ikan, ikan asin yang mulai busuk dan berbau”. Hal ini mendorong Jose Rizal menanggapi deskripsi Morga dalam tulisannya Succesos de las Islas Filipinas, por el Dr Antonio de Morga (Paris, 1890).

“Ini adalah keasyikan lain dari orang-orang Spanyol yang, seperti bangsa lain, dalam hal makanan, membenci apa yang mereka tidak biasa makan… Ikan yang disebutkan Morga rasanya tidak enak ketika mulai membusuk; sebaliknya, itu bagoóng , dan semua orang yang telah memakannya dan mencicipinya tahu bahwa itu tidak busuk atau tidak seharusnya busuk,” tulis Rizal. Sementara sinigang tak diragukan lagi adalah icon masakan sup-supan yang paling umum masyarakat pribumi Filipina yang tentu saja tak terpisahkan dengan bagoóng  (Torre, 2002, p. 55).

Ada dugaan kuat bahwa menu yang disajikan di La Buvette ini berbentuk Rijstafel. Sebuah gaya makan yang elegan di Hindia Timur dan sangat terkenal dalam perbincangan kaum Eropa yang pernah ke Hindia Belanda (Rahman, 2016).  Hal ini diceritakan Paul le Jenisel saat makan di Le Buvette  yang paket rijsttafelnya, termasuk wine, seharga 6 franc (Bloembergen, 2004, p. 134). Paul le Jenisel menggambarkan sekilas menu rijsttafel yang selalu dihidangkan pada pukul enam sore. Rijsttafel saat itu terdiri dari nasi dengan bermacam-macam lauk dari berbagai jenis ikan khas Hindia Belanda seperti gurami, kemudian hidangan daging antara lain dendeng rusa, lalu berbagai hidangan sayur

“Setelah ikan, daging ada di menu, bukan chateaubriand dengan apel setengah matang kami (steak tenderloin), tetapi potongan daging rusa kering (dendeng rusa). Setelah menu sayur, diakhiri dengan sup kuah santan, sedangkan makanan dessert dimulai dengan buah dan selai. Semua ini enak, tapi ada satu hidangan yang sulit ditelan orang Barat… telur asin. Ketika telur dalam keadaan ini, kami selalu mengatakan di Prancis: ‘Terlalu dini untuk anak itik dan terlalu terlambat untuk telur dadar’ (Bloembergen, 2004, p. 134)”

“Sup kuah santan” ini apakah soto ataukah gulai? Tak ada informasi lebih selain gambaran yang tidak jelas ini. Perlu diingat ada kebiasaan dalam menikmati Rijsttafel dalam makan sup yakni sup selalu dipisah dan dimakan diakhir setelah menyantap nasi ‘ramesan’ dengan berbagai lauk dan sayuran tumisan. Menu rijsttafel ini tentunya akan mengalami sedikit perubahan yang berbeda di hari-hari yang berbeda. Yang pasti, di satu set menu selalu ada beberapa macam sup-supan, sayuran, kudapan manis, dan tentu saja sambal yang disantap sambil ditemani bir atau wine (Rahman, 2016). Menu itu dapat dilihat di buku-buku resep panduan rijsttafel Hindia Belanda, Kokki Bitja (Cornelia Nn., 1864).

Adapun jenis sup yang popular masa itu yakni soto, gule, pindang, rawon, dan kiemblo (Cornelia Nn., 1864, pp. 49–52, 109–110, 201–202).  Adalah resep soto, pindang dan kiemblo awal abad 19 inilah yang mirip tampilan dengan sinigang. Soto memang selalu disajikan dengan jeruk nipis atau acar-cuka. Jika mengikuti tampilan sup bening ala soto dan kiemblo (kimlo) di Kokki Bitja yang memakai sayur maka memang sangat mirip dengan sinigang. Di hidangan Jawa, sendiri sebenarnya ada yang lebih mirip sinigang baik tampilan maupun citarasanya yakni sayur asam (baik pakai daging, ikan, udang, ayam atau hanya sayuran saja). Apalagi  sayur asam ini dalam penyajiannya sering kali berpasangan dengan sambal terasi. Sebagai catatan, beberapa resep soto, dan khususnya sayur asam, juga menggunakan terasi sebagai penyedapnya. Hidangan cita rasa asam berbahan daging ini dalam resep Kokki Bitja dinamai Tangkar yang dibuat dari daging sapi ataupun kerbau (Cornelia Nn., 1864, pp. 56–57)

Di tempat masa kecil Jose Rizal tumbuh, yakni daerah Batangas, ada hidangan yang mirip dengan soto yakni goto (popular dengan nama goto batangas) yang hingga kini ada dijual di karihan-karihan dan restoran di sana.  Goto sendiri kemungkinan berasal dari sup cina dalam bahasa Hokkien, (lingua franca Asia Tenggara) yakni 牛肚 gû-tō (Chan-Yap, 1980, p. 135), meskipun bisa jadi ini adalah hidangan khas dari suku Kanton yang sangat menyukai sup dari sapi. Goto adalah sup dengan jeroan daging sapi dan/atau babi, dengan jahe, cuka, dan biji achuete (annatto) yang memberikan rasa asam dan bersahaja. Berbeda dengan di Batangas, goto di lain daerah disajikan dalam bentuk bubur yang di sebut goto lugaw. Goto Bantangas tampilannya mengingatkan kita pada Coto Makassar meskipun cita rasa Goto Batangas ini lebih mirip dengan sajian Sup Kaledo-Uvempoi dari Palu atau sup Bebalungnya Bali dan NTB.

Kata karihan tercipta di Filipina setelah Inggris menjarah Manila. Inggris sempat menduduki Filipina dari tahun 1762 hingga 1764. Saat Inggris angkat kaki, pasukan Inggris Sepoy Muslim menolak untuk kembali dengan pasukan Inggris. Orang Spanyol mengizinkan mereka untuk menetap di Kota Taytay dan Cainta di sepanjang Sungai Pasig. Pada tahun 1840-an, restoran yang disebut karinderías menjadi landmark di sana. Mereka menyajikan hidangan khas dan unik mereka: kari/kare. Bagaimana rasa kari Sepoy asli sudahlah hilang, seperti halnya singkatnya hidup tumbuhan ephemeral (bahan-bahan herba dan rempah asal untuk kari-karian).

Para migran memang memberi kata Tagalog pertamanya karindería yang berarti tempat seseorang membayar untuk layanan menikmati makan kari. Karindería mengikuti kebiasaan kata lain seperti dulcería yang menyajikan dulce (manisan), panadería yang menyajikan pan (roti), dan pansitería yang menjual pansit (mie yang dimasak oleh peranakan Tionghoa). Karihan adalah varian dari karindería. Ini mengikuti tren kata tindahan, yang berasal dari kata Spanyol tienda, yang berarti ‘toko’ (bertenda) atau tempat barang-barang dijual (Maria, 2017, pp. 118–121).

Salah satu makanan favorit Rizal adalah pancit (pangsit) yang di Jawa tampilannya dimasak mirip dengan bakmi/bihun goreng. Resep ini ada di Kokki Bitja (Cornelia Nn., 1864, p. 109) dan sering kali tampil pula di salah satu deretan di menu rijsttafel. Pancit telah lama menjadi makanan rakyat di Filipina yang dijajakan di Karindera. Hidangan mie asli ini banyak disukai untuk acara-acara khusus di luar negeri.

Bahkan, ketika Rizal melewati Barcelona dalam perjalanannya ke Prancis pada tahun 1886, beberapa teman Filipina menawarkan despedida (pesta selamat tinggal) untuknya. Pedro Aranas memasak pansit untuk acara tersebut dengan menggabungkan mi miki (mie telur) dan bijon (bihun).

Ide-ide revolusioner Jose Rizal mengkristal berkat hidangan di La Buvette Kampong Java. Rizal dan teman-temannya, sebagaimana Multatulli, mencicip kepedihan orang-orang Melayu Jawa lewat sup daging dan sambal terasi yang mengingatkan Rizal pada nasib bangsa Indios di kampung halamannya yang kesehariannya menikmati sinigang dan bagoóng. Bisa jadi hidangan tersebut, seperti dugaan Maria, memanglah soto dan sambal terasi.

Meskipun saat ini tidaklah lazim hidangan soto berpasangan dengan sambal terasi, namun condiment sambal terasi hingga kini masih tetap jadi pasangan setia hidangan semacam sayur asam dan asam-asam daging.  Tabiek.

 

Rujukan

Bloembergen, M. (2004). Koloniale inspiratie: Frankrijk, Nederland, Indië en de wereldtentoonstellingen 1883-1931. KITLV.

Chan-Yap, G. (1980). Hokkien Chinese borrowings in Tagalog. Dept. of Linguistics, School of Pacific Studies, Australian National University. http://books.google.com/books?id=lU4HAQAAIAAJ

Cornelia Nn. (1864). Kokki Bitja, atau, Kitab masak-masakan India, jang baharoe dan samporna … Lange & Company.

Fauser, A., & Fauser, C. C. B. D. P. & A. P. of W. and G. S. A. (2005). Musical Encounters at the 1889 Paris World’s Fair. Boydell & Brewer.

Lombard, D. (1992). Le Kampong javanais à l’Exposition Universelle de Paris en 1889. Archipel, 43(1), 115–130. https://doi.org/10.3406/arch.1992.2810

Mammedov, D. (2021, August 28). Bagoong. https://www.wiki.en-us.nina.az/Guinamos.html

Maria, F. P. Sta. (2017). The Foods of Jose Rizal. Anvil Publishing, Inc.

Rahman, F. (2016). Rijsttafel budaya kuliner di Indonesia masa kolonial 1870-1942. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Torre, V. R. D. la. (2002). Cultural Icons of the Philippines. Tower Book House.

Viana, A. V. de. (2015). THE DREAM OF MALAYAN UNITY: PRESIDENT DIOSDADO MACAPAGAL AND THE MAPHILINDO. SEJARAH: Journal of the Department of History, 24(1), Article 1. https://doi.org/10.22452/sejarah.vol24no1.4