Terakota.ID–Siapa yang tidak bangga dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk melestarikan lagi cerita panji? Di tengah hidup yang semakin menuntut efisiensi dan ketika selalu ada tuntutan akan hasil yang nyata dan bisa diukur, orang-orang ini melakukan upaya melestarikan dan bahkan menghidupkan kembali Cerita Panji dan apresiasi atas Cerita Panji yang sedikit demi sedikit mulai padam baranya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita hidup di jaman di mana tidak ada lagi ibu atau nenek yang menceritakan tentang Andi-andi Lumut atau Timun Mas menjelang tidur. Sebagian besar dari yang saat ini masuk dalam kelompok bapak dan ibu tampaknya lebih paham Doraemon atau Panji Manusia Milenium daripada Legenda Sri Tanjung.
Pendek kata, cerita-cerita yang bisa dikaitkan dengan Panji pada saat ini sedang berangsur-angsur berkurang daya hidupnya. Maka, upaya memasukkan naskah-naskah Cerita Panji dari berbagai sumber untuk menjadi Ingatan Dunia pada tahun 2017 itu adalah upaya memperpanjang nafas Cerita Panji. Berbagai festival untuk memperkenalkan wujud-wujud klasik Cerita Panji (dalam bentuk wayang beber, tarian, pertunjukan) adalah upaya lanjutan yang selayaknya. Berbagai webinar dan workshop di tingkat nasional dan lokal terkait pengkajian Cerita Panji adalah upaya mempertebal keilmuan tentang Panji yang elegan. Upaya menghadirkan Cerita Panji ke dalam media-media yang lebih baru, misalnya komik web dan animasi, adalah upaya yang hebat sekaligus membahagiakan. Dan, untuk melengkapi itu, ada satu wilayah yang telah berhasil membantu memperpanjang nafas budaya: membiarkan elemen-elemen dari budaya tradisi sebagai satu saja elemen dalam budaya pop yang dinikmati. Yang saya maksud di sini secara fundamental berbeda dengan penyajian cerita panji dalam media baru. Di sini, penulis benar-benar melebur elemen-elemen tradisi dengan cerita yang benar-benar baru.
Untuk mendiskusikan perihal ini, ada dua poin yang perlu menjadi dasar dari diskusi kita ini, yakni posisi mitologi dan kenikmatan sesuai zaman. Di sisi pertama, mitologi ada di dalam keseharian kita dalam bentuk nilai-nilai yang mungkin sudah memiliki bentuk yang berbeda. Dia mewarnai karya-karya susastra yang tercipta di sekeliling kita dalam bentuk simbol-simbol arketip, yang selalu ada dan bahkan lintas budaya. Menurut Joseph Campbell, seorang ahli sastra yang memfokuskan pada mitologi bandingan, ada sifat-sifat yang universal yang selalu muncul dalam mitologi di seluruh dunia dan bahkan berpengaruh pada karya-karya saat ini (Joseph Campbell). Dalam analoginya, Campbell menyebutkan bahwa mitologi itu seperti musik yang mengiringi tarian kita, musik yang seringkali tidak kita sadari keberadaannya.
Maka, ketika kita menikmati cerita-cerita yang menyentuh pada hari ini, besar kemungkinannya kita juga sedang bersentuhan dengan elemen yang sama dengan yang ada pada cerita-cerita legenda kita. Kisah-kisah kepahlawanan yang kita temui saat ini, baik itu dalam bentuk Gundala, Captain America, Wiro Sableng, dan sejenisnya, dalam satu atau lain hal akan memiliki kesamaan dengan arketip pahlawan yang ada di dalam mitologi-mitologi kita. Kisah-kisah tetap mimpi akan sebuah keadaan yang baik, baik itu berupa sebuah negeri yang madani mau pun kerajaan Wakanda yang gemah ripah loh jinawi, adalah representasi terkini dari konsep tempat idaman yang juga ada di kisah-kisah dongeng dunia dan yang diyakini dalam banyak agama. Dengan kata lain, nilai yang mungkin berarti dan penting dari karya-karya besar dongeng manusia itu akan tetap ada dan menjadi darah dalam nadi cerita-cerita kita. Asalkan cerita itu tidak diniatkan untuk menjerumuskan penikmatnya.
Namun, yang jauh lebih membahagiakan buat kita yang menghargai karya-karya tradisi tertentu, di mana bentuk-bentuk nilai atau arketipe memiliki perwujudan khas, adalah ketika karya-karya tertentu menghidupkan kembali nilai-nilai dari mitologi, legenda, atau dongeng ke dalam wujud-wujud baru. Kita bisa temukan ini dalam karya-karya dunia (yang di sini saya fokuskan pada cerita-cerita animasi anak) yang terinspirasi kisah-kisah mitologi. David Emerson (2019) membahas sebagian dari kisah-kisah semacam itu dalam tulisannya. Salah satu yang paling terkenal dari penggambaran mitologi dalam kisah-kisah animasi adalah Hercules (1997). Namun, alih-alih hanya menyoroti kisah-kisah tertentu, Emerson menunjukkan bahwa yang lebih unggul saat ini bukanlah mewakili mitologi itu dalam konteks aslinya. Yang dia ajukan justru memasukkan elemen-elemen mitologi ini ke dalam kisah hari ini. Menurut Emerson (2019, 263), “the stories they tell are not myths in themselves, but involve children of our world interacting with gods, demigods, demons, and other figures from mythology and folklore.” Inilah yang perlu disoroti selanjutnya, yakni bahwa cerita-cerita mitologi itu menjadi bagian dari kisah masa kini, yakni kisah si anak kecil. Di sini, kita bisa berargumen bahwa mungkin saja kisah legenda itu hanya bagian yang memperkuat kisah petualangan hari ini yang bisa menjadi lebih penting dan lebih menarik bagi penonton.
Itu membawa kita pada poin kedua, yakni di mana yang utama dalam menikmati sebuah hiburan adalah cerita yang memikat. Cerita yang memikat, terutama untuk anak-anak, adalah cerita yang penuh dengan perubahan, petualangan, dan hal-hal yang tak biasa. Seringkali, kisah-kisah yang memikat seorang anak adalah ketika tokoh dalam cerita bisa melakukan hal-hal di luar nalar, misalnya dia terbang menunggang sapu seperti dalam Harry Potter, masuk ke dimensi lain dan menunggang mamalia bersayap seperti dalam film Coco, digigit laba-laba dan kemudian bisa merayap di dinding seperti Spider-man. Di dalam konteks seperti inilah kisah-kisah mitologi dalam cerita anak yang dibahas Emerson tersebut. Sebagian dari elemen-elemen mitologis itu masuk ke dalam cerita yang dibuat untuk menghibur anak-anak yang suka dengan perubahan tersebut.
Selain itu, anak-anak cenderung menyukai cerita yang karakter-karakternya bisa mereka identifikasi. Anak-anak tokoh yang cerita yang “nyambung” dengan mereka. Hal ini didapati oleh Sipe dan McGuire (2006) yang menemukan bahwa ada anak-anak bisa mengenali ketika sebuah buku tidak memiliki karakter yang dekat bagi mereka. Kiranya ini menjadi satu tantangan bagi mereka yang ingin menggarap cerita dongeng, sebab tidak semua cerita dongeng memiliki tokoh utama anak kecil. Sebagian besar cerita dongeng adalah berkutat pada orang-orang dewasa dan segala persoalannya, terlepas dari kenyataan bahwa banyak dari cerita orang dewasa itu yang akan sangat bermanfaat bagi anak kecil. Dalam amatan Emerson, cerita-cerita yang semacam ini bisa dilihat dalam karya-karya animasi dewasa ini yang sebagian di antaranya menghadirkan kisah-kisah mitologi yang dimasukkan dalam bingkai kisah hari ini yang melibatkan anak-anak, seperti misalnya film Song of the Sea, The Secret of Kells, Coco, dan sejenisnya. Bila ingin melihat secara spesifik, kita bisa memfokuskan pada dua studio animasi dunia yang ajeg dalam menghadirkan kisah-kisah yang memikat bagi anak-anak sambil juga menyelipkan aspek-aspek budaya atau tradisi secara halus sehingga aspek-aspek budaya itu melebur ke dalam aspek-aspek cerita yang memang memikat para penonton anak: yaitu studio Ghibli dan Pixar.
Sebelum mendiskusikan karya dari kedua studio itu, sepertinya kita perlu sedikit membuat ikhtisar siapa itu Studio Ghibli dan Pixar Animation Studios. Kedua nama ini sudah sangat diakrabi oleh para penggemar animasi dunia, Studio Ghibli dengan film-film animasi 2D digambar tangan dan Pixar Animation Studios sebagai kreator karya-karya animasi komputer nomor wahid. Satu hal yang konsisten dari kedua studio animasi ini selain gambar-gambar yang indah adalah elemen-elemen narasi khas yang dihadirkan oleh keduanya. Studio Ghibli memiliki kisah-kisah fiksi yang menjadi sinonim untuk melintas batas imajinasi, menghadirkan hal-hal yang tak terpikirkan oleh banyak dari kita bahkan dari dunia fiksi. Sementara itu, film-film Pixar dicirikan oleh penggunaan logika cerita yang ketat meskipun menghadirkan dunia yang sebagian besarnya bukan realis. Kedua studio animasi ini mendapatkan penonton karena mereka berhasil menarik hati banyak orang dengan kisah-kisah fantastis tapi menyentuh yang mereka sajikan.
Karya pertama yang perlu disoroti adalah Spirited Away, sebuah karya dari studio Ghibli yang kaya referensi ke tradisi Jepang. Dalam karya ini, kita melihat karakter Ichiro yang bersama orang tuanya tersesat ke dalam alam lelembut. Tapi, ketika akan kembali, dia mendapati orang tuanya berubah menjadi makhluk halus, sehingga dia pun melakukan berbagai cara agar orang tuanya kembali menjadi manusia. Cerita ini mengasyikkan bagi anak karena dia menyajikan kisah seorang anak, tapi kemudian di anak ini masuk ke dalam petualangan-petualangan yang memikat dengan berbagai tempat dan makhluk fantastis. Pendeknya, cerita ini memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk sebuah karya yang digemari dan dinikmati oleh penonton anak dan bahkan orang dewasa. Dan yang lebih penting, pesona cerita ini tidak hanya memikat orang Jepang, tapi juga seluruh dunia, yang dibuktikan dengan angka penjualannya yang tinggi dan keberhasilannya meraih Oscar pada tahun 2001.
Kekayaan dan signifikansi budaya Spirited Away ternyata sama menakjubkannya dengan pesona ceritanya. Saat kita menelisik lebih lanjut, kita akan menemukan sejumlah makhluk tak kasat mata di dalam tradisi Jepang. Lawrence Carter dalam sebuah tulisan singkat merangkum sejumlah entitas itu, seperti misalnya “kami” atau “dewa” yang ada di sepanjang cerita. Selain itu, Carter juga merujuk pada Roh Lobak yang di dalam tradisi Shinto disebut sebagai Dewa Putih. Terlalu banyak karakter di dalam film Spirited Away yang sebenarnya bisa digali keterkaitannya dengan makhluk-makhluk tradisi Jepang.
Uniknya, sebagian besar representasi ini tidak hadir dalam konteks cerita tradisi, dan bahkan memodifikasi elemen tradisi. Roh Lobak, misalnya, meskipun memiliki nama yang sama dan sifat yang sama dengan Roh Lobak atau Roh Putih dalam tradisi Shinto yang merupakan dewa pertanian, penampilannya berbeda dengan representasi Oshira Sama yang dikenal pada umumnya. Karakter Bo, bayi raksasa anak Yabuba, merupakan karakter yang juga diambil dalam mitologi Jepang. Tapi, alih-alih menggunakan celemek bertulisan “Emas” seperti dalam mitologi, bayi raksasa dalam Spirited Away memakai karakter Jepang yang bertuliskan “bocah.” Menurut Carter, ini menunjukkan kecenderungan Miyazaki, sutradara, penulis cerita, sekaligus pendiri Studio Ghibli, yang suka “mengawali dengan konsep dari mitologi Jepang dan kemudian melanjutkan dengan menggunakan konsep tersebut untuk mencapai tujuannya sendiri, baik itu efek komedi maupun mengajukan argumen ekologis.” Memang, bila dilihat lebih lanjut, selain cerita yang menjadi rekreasi mata dan imajinasi bagi penontonnya itu, Miyazaki memiliki kecenderungan untuk mengajukan argumen-argumen ekologis tentang kelestarian lingkungan atau harmoni hidup dengan alam di dalam film-filmnya.
Bagaimana dengan elemen tradisi itu? Penonton dari luar Jepang memang pada awalnya sangat mungkin tidak menyadari adanya rujukan ke tradisi Jepang. Namun, pada akhirnya tidak sedikit pula yang menyadari atau bahkan mewartakan rujukan ke mitologi-mitologi Jepang itu. Salah satu wujud besarnya minat itu adalah ketika ada seorang penikmat yang akhirnya menelisik jejak-jejak mitologis dalam film ini dan membuat video 17 menit yang ditonton 1,8 juta orang di YouTube dan disukai 73 ribu penonton. Mungkin tidak terlalu salah bila kita membayangkan bahwa orang-orang yang menonton dan menyukai ini bukanlah orang-orang yang melakukannya karena terpaksa. Ini menunjukkan bahwa satu upaya menyelipkan elemen budaya ke dalam cerita jaman sekarang pada akhirnya juga berdampak kepada elemen budaya tersebut.
Sementara itu, dari studio Pixar, kita bisa melihat film Coco yang kaya dengan mitologi Meksiko dengan gaya pengolahannya yang khas. Ceritanya adalah tentang seorang anak yang ingin jadi musisi tapi dilarang keluarganya karena kakek buyutnya dulu jadi musisi dan kabarnya meninggalkan nenek buyutnya. Akhirnya, si anak harus pergi ke alam roh untuk mendapatkan restu dari seorang musisi terkenal. Tak disangka, di alam roh dia justru menemukan kakek buyutnya dan menyingkap fakta yang selama ini menghalangi cita-citanya untuk menjadi musisi. Cerita ini bisa membius penonton karena plotnya yang menyeret penonton, aksi kejar-kejarannya yang seru, dan gambar-gambar betapa warna-warninya alam roh dalam imajinasi bangsa Meksiko yang begitu memukau.
Di balik cerita yang seru itu, seorang yang sedikit saja akrab dengan budaya Meksiko akan mengetahui sejumlah kekayaan tradisi. Yang paling utama tampak adalah tradisi “Hari Orang Mati” yang diperingati pada tanggal 1 dan 2 November, yang dipercaya sebagai hari dibukanya jembatan antara alam hidup dan alam orang mati dan leluhur yang sudah mati mengunjungi anak cucunya. Simbol-simbol yang berhubungan dengan tradisi “Hari Orang Mati” ini bisa tampak di dalam film, mulai dari kue-kuenya, hingga jembatan dari kelopak bunga Marigold yang dipercaya menjadi jembatan penghubung antara alam gaib dan alam dunia.
Banyak elemen tradisi yang tampil di sini mengalami transformasi dan modifikasi yang menjadikannya melebur ke dalam cerita yang membetot penonton itu. Terlepas dari banyak elemen tradisi yang ada, terdapat satu penambahan vital di dalam film ini, yakni adanya dua penguasa di alam roh, yaitu La Muerte sebagai makhluk penguasa Alam orang Mati dan Xibalba sebagai penguasa alam orang yang terlupakan (bagian alam gaib yang khusus ditempati arwah orang yang dilupakan keluarganya). Kedua penguasa alam gaib ini adalah kreasi para pembuat film ini. Mereka ini ditambahkan ke alam yang ada dalam semesta mitologi Meksiko. Meski begitu, kedua tokoh ini memungkinkan kisah Miguel menjadi seru dan akhirnya membuat penonton semakin mengidentifikasi diri dengannya. Keberhasilan film ini membawa
Keberhasilan memikat penonton dengan kisah seorang anak kecil yang memperjuangkan mimpinya ini ternyata berbarengan dengan apa yang benar-benar terjadi dalam batin sosial Meksiko pada saat film ini diluncurkan. Film tersebut diluncurkan pada tahun yang sama dengan pelantikan presiden Amerika Donald Trump (2017), yang pada masa kampanyenya mendiskreditkan orang Meksiko di Amerika yang dia katakan sebagian besarnya adalah “pengedar narkoba dan pemerkosa.” Pada tahun itu, Donald Trump memperketat penjagaan di perbatasan Amerika Serikat-Meksiko dan mengerangkeng orang-orang yang menyeberang batas negara dengan tujuan menggapai mimpi hidup makmur—hingga bahkan memisahkan banyak anak dari orang tuanya dalam proses penahanan itu. Film itu pada akhirnya menjadi film yang sangat dirayakan di Meksiko karena penggambaran Meksiko sebagai bangsa yang kaya budaya, tidak serendah yang digambarkan Donald Trump.
Gaya-gaya pengolahan elemen tradisi yang menyadari daya tarik cerita anak serta keasyikan bercerita seperti ini tampaknya telah berhasil memukau penikmat hiburan. Satu hal yang mungkin ada dari fenomena ini adalah resistensi di kalangan pelestari seni tradisi. Tapi, betulkah kita harus setia hingga sedemikian rupa dalam mengolah karya seni tradisi? Tidak bisakah bila kita mengambil sebagian elemennya saja dan menjadikannya titik tolak untuk terbang ke alam imajinasi yang lebih erat dengan anak-anak di zama ini? Di Indonesia, ada sebuah buku yang berpotensi bisa menjadi tontonan semacam itu, yaitu Mata di Tanah Melus. Buku ini menyajikan karakter yang menembus masuk ke dimensi lain, di mana suku Melus tinggal. Suku Melus ini tentu terinspirasi oleh suku yang memang telah tinggal di wilayah Timor pada masa lampau dan telah lama menghilang (mungkin karena melebur dengan pendatang). Bagaimana dengan cerita Panji? Kapankah kiranya kita membiarkan cerita Panji untuk diapropriasi para seniman dan pengarang di zaman ini?
Sumber Bacaan
Campbell, J. (2008). The hero with a thousand faces (Vol. 17). New World Library.
Emerson, David L. (2019) “Mythology in Children’s Animation,” Mythlore: A Journal of J.R.R. Tolkien, C.S. Lewis, Charles Williams, and Mythopoeic Literature: Vol. 38 : No. 1 , Article 32.
Nieuwboer, M. E. (2019). Representation of Mexican Culture in Animation Films for Children: An analysis of Coco and The Book of Life (Master’s thesis).
Sipe, L. R., & McGuire, C. E. (2006). Young children’s resistance to stories. The Reading Teacher, 60(1), 6-13.
(Tulisan ini pernah disajikan di Festival Panji Nusantara 2020)
Penulis dan Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang.