
Terakota.id–Akibat perbedaan pendapat atau sesuatu yang berbeda dengan apa yang dimaui pemerintah saat ini sudah sedemikian mengkhawatirkan. Terhadap perbedaan pendapat saja pemerintah kita menjadi gelisah. Kalau sekadar gelisah tidak apa. Masalahnya, dengan alat-alat negara perbedaan itu ditekan agar bibitnya tidak tumbuh.
Perbedaan masih dianggap sebuah rongrongan. Jika demikian, negara ini tidak akan pernah dewasa dalam mengambil sikap dan kebijakan di masa datang. Lihatlah bukti-bukti sejarah yang pernah ada.
Akhirnya, perbedaan menjadi barang mahal. Ibarat barang, tidak semua orang punya kemampuan untuk membelinya. Hanya mereka yang punya keberanianlah akan mampu membelinya. Sementara masyarakat umum yang menginginkan barang itu tak kunjung bisa membelinya. Sementara itu, barang yang diinginkan sudah menjadi kebutuhan pokok sehari-hati.
Lihatlah contoh nyata. Beberapa waktu lalu, ada sebuah mural betuliskan “404: Not Found” dengan gambar berlatarbelakang mirip Joko Widodo (Jokowi). Mural ini berada di dinding sebelah kanan kolong tol bandara sepanjang Jl. Pembangunan 1, Kelurahan Batu Jaya, Kecamatan Batuceper, Tangerang. Ada lagi mural bertuliskan “Tuhan Aku Lapar” di jalan Aria Santika, Tigaraksa, Tangerang. Kedua mural itu bernasib tragis, yakni dihapus dan orang yang membuat akhinye berurusan dengan aparat keamanan.
Apa akibat dari Mural tersebut? Mural dihapus dan pembuatnya harus berurusan dengan aparat keamanan. Cerita Mural adalah pesan menyampaikan pendapat yang akahirnya “dibredel”.
Lihat pula misalnya berbagai aksi perbedaan pendapat pun juga diakhiri dengan sesuatu yang mengecewakan dan menusuk mata batin kita. Ini jika kita memang mempunyai mata batin kemasyarakatan, bukan hanya mata mati pemerintah atau mata batin yang sudah dibeli yang kemudian menjadi tumpul.
Mereka yang sudah mulai tumpul mata batinnya tentu akan masa bodoh atau pura-pura tidak tahu. Karena mata batin itu sekarang sudah dilumuri dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan kepentingan-kepentingan itulah yang mampu mengubah “mata batin” tersebut.
Sebenarnya mata batin manusia tidak akan berubah. Ia hanya sedang dikotori sebuah lumpur pekat yang membuat mata batin itu tidak bisa melihat dengan jelas. Mata batinya sudah mulai rabun.
Takut Mural
Pertanyaannya adalah apa yang ditakutkan pada Mural? Hukum berlaku, ada asap pasti ada api. Mural muncul karena ada pemicunya. Masalah utamanya orang lebih fokus pada akibat yang sudah terjadi (misalnya Mural) tetapi tak mau berusaha mencari mengapa tidak menjadi asal muasal (Mural) muncul? Mengapa ada Mural bertuliskan ““404: Not Found” dan “Tuhan Aku Lapar”? Mengapa aparat buru-buru menghapusnya? Jangan-jangan memang kita dalam keadaan lapar?
Lalu jika sudah terjadi tidak dicari akar persoalannya tetapi justru menghapus Mural? Bisa jadi Mural salah satu bentuk kegelisahan masyarakat atas kondisi di sekitarnya. Apakah kondisi kegelisahan ini begitu mengkhawatirkan pemerintah dan aparatnya sehingga harus dihapus?
Mural sebuah ekspresi batin masyarakat. Saya jadi ingat sebuah ungkapan, “Jika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara.  Ungkapan itu menngungkapkan betapa bentuk pembungkaman dan perbedaan pendapat masih terjadi. Tetapi selalu ada saja cara orang untuk menyampaikan pendapatnya.
Jika menyampaikan pendapat terhambat maka Mural perlu bicara. Begitu pesan yang bisa jadi dipetik dari kasus mengapa Mural sampai muncul. Apakah tidak ada jalan untuk menyampaikan perbedaan pendapat di masyarakat? Mural menjadi bukti bahwa saluran pesan sudah sedemikian buntu.
Saat elite politik menyampaikan pesan jika ada kritikan, saran, silakan disampaikan langsung. Apakah semudah itu? Membuat Mural saja bermasalah apalagi berbicara langsung dengan menyampaikan pendapat? Dalam kondisi begini, risiko besar akan dihadapi mereka yang menyampaikan perbedaan pendapat.
Inti pesan yang disampaikan elite politik kadang terletak pada apa yang tidak diucapkan. Jika ada seseorang calon presiden mengatakan, “Saya akan memberantas korupsi. Saya akan memperkuat KPK. Saya rindu dikritik. Saya kangen didemo”.
Maka kita perlu paham bahwa ada pesan lain yang bertolakbelakang dengan yang sedang diucapkan. Bisa jadi itu justru inti    pesannya. Coba Anda buka-buka kembali video atau berita terkait dengan ucapan kandidat presiden. Apa yang dijanjikan? Apa yang pernah diucapkan? Tak terkecuali dengan kandidat setingkat anggota dewan. Jika sudah menjadi pejabat semua akan menjadi lain.
Ini tidak bermaksud bahwa saya mendorong Anda curiga. Tidak. Sebagai makhluk yang berpikir kita hanya perlu cermat dan cerdas melihat bahasa politik elite politik. Pelajarannya biar kita tidak dibohongi oleh bahasa pejabat. Dalam bahasa anak muda, “Biar kita tidak di prank berkali-kali”.
Teror Ketakutan
Penghapusan Mural yang sarat dengan kritik sosial sebenarnya tak lain bentuk teror ketakutan pada masyarakat. Bahwa mereka yang menghapus sedang memberikan pesan bahwa, “Jangan berani-berani berbeda pendapat. Semua akan sengsara pada akhirnya”.
Kalau tidak sedang menebar teror mengapa takut dengan Mural? Apakah Mural sedemikian menakutkan dan akan menjadi rongrongan kekuasaan? Kalau memang kekuasaan sedang berjalan tidak pada tempatnya mengapa risih dengan kritikan?
Setiap orang punya cara menyampaikan kritik dan saran. Ada yang senang dengan demonstrasi. Ada yang sedang dengan menulis. Ada yang hobi menggambar Mural. Semua adalah penyampaian pendapat. Itu semua dijamin dalam negara demokrasi. Jika tidak ada jaminan atas perbedaan pendapat, nyata bahwa demokrasi di negara ini memang sedang diinjak-injak. Tentu kata-kata ini tak menyenangkan bagi para pendukung dan pembela pemerintah. Itu sudah wajar dan lumrah. Karena memang mereka bekerja untuk itu.
Mural bisa dihapus tetapi kegelisahan, keinginan untuk berubah dan upaya menyampaikan kritik tidak akan pernah terhapus dalam dada masyarakat. Dua Mural dihapus nanti akan segera muncul Mural-mural yang lain. Menekan setiap perbedaan, termasuk menghapus Mural, sama saja menumbuhkan semangat perlawanan yang kian militan di masyarakat. Apakah ini yang sedang dikehendaki?
Jangan sampai revolusi mental yang diteriakkan pemerintah berubah menjadi revolusi mural. Mural-mural itu bisa jadi akan hidup dan berjalan dengan membawa spanduk, teriakan, protes untuk menyampaikan kegelisahan.