Terakota.ID–Ketika membaca sebuah novel, kita cenderung siap dibawa masuk ke sebuah semesta fiksi yang bagi banyak orang seringkali tidak dilepaskan dari kehidupan nyata. Pembaca bisa merasa menjadi bagian dari dunia itu, bahkan pada saat kisah-kisah yang dikisahkan begitu fantastis, seperti pada dalam novel fantasi yang berisi naga dan penyihir. Pembaca sangat bisa terbawa dan berempati dengan karakter yang ada di dalamnya.
Tapi bagaimana bila novel itu sejak dari judulnya saja sudah mengandung satu bidang ilmu dan di sampulnya sudah berbicara tentang bidang ilmu itu. Di sini saya langsung saja merujuk ke novel yang ada menjadi bacaan saya belum lama ini, yaitu Konspira(kuntan)si 2 karya Ari Kamayanti. Kata “akuntansi” langsung tampak dari judulnya dan keterangan di akhir buku yang menyinggung secara eksplisit perihal ilmu akuntansi.
Dari judulnya, konspirasi dileburkan dengan akuntansi, padahal dua hal ini jarang sekali tampak bermain bersama. Konspirasi yang biasanya berhubungan dengan aksi tersembunyi dan persoalan global itu bertemu dengan bidang ilmu yang buat khalayak awam lebih dekat dengan buku catatan dana masuk dan keluar. Bagaimana mungkin dua dunia itu bertemu?
Tapi, pembaca yang berani membuka sampul buku dan sabar mengikuti ke mana kisah menuntun akan mendapatkan pengalaman yang mengayakan. Ya, mengayakan seperti sebuah enrichment program. Itu karena buku ini tak bisa dipungkiri memiliki spirit mengajar sekaligus mengajak menyelami kisah konspirasi, ranah yang terbilang sepi.
Jalinan Kisah Akuntansi
Saat membaca Konspira(kuntan)si 2, pertama-tama yang terasa adalah kesan “menantang.” Alasannya ada dua: pertama karena dialog-dialognya serebral dengan diskusi tentang konsep-konsep di bidang akuntansi, dan kedua saya tidak banyak tahu tentang ilmu akuntansi selain yang sangat mendasar seperti saya pelajari waktu masih SMA. Mungkin kawan-kawan yang kuliah akuntansi atau mengajar akuntansi lebih mudah mengapresiasi konsep-konsep yang dibahas di sini atau bahkan mengkritisi konsep-konsep tersebut atau posisi yang diambil penuh terkait konsep-konsep itu.
Sepertinya wajar saja kalau saya yang tidak memiliki dasar cukup kuat di sana tentu secara otomatis agak resisten. Tapi tentu saja itu bukan alasan untuk berhenti membaca. Setiap pengalaman membaca adalah pengalaman bertemu dengan hal-hal yang baru. Tidak ada salahnya membaca hanya tentang hal-hal yang sudah kita akrabi dan ketahui, tapi pasti lebih memperkaya kalau kegiatan membaca itu justru membawa kita ke sebuah bidang yang baru yang tidak kita akrabi sebelumnya.
Dari perspektif saya pribadi, kalau saya bisa menikmati baca tentang biologi dalam novel Congo dan Jurassic Park karya Michael Chrichton, tentang seluk-beluk kimia aromatik dalam Aroma Karsa karya Dee Lestari, atau tentang Kristen karismatik dalam novel Temanggung, Yogyakarta karya Arie Saptaji, tentu tidak mustahil saya berusaha menyelami akuntansi dalam Konspira(kuntan)si 2 ini.
Penulis menyebut soal terinspirasi oleh Jostein Gaarder yang menulis Dunia Sophie dan mengajak pembaca menyelami filsafat. Di sini Ari Kamayanti mengajak kita menyelami dunia Akuntansi.
Sebenarnya ceritanya sendiri seperti apa sih? Layaknya novel pada umumnya, Konspira(kuntan)si 2 juga punya alur dan konflik. Ada setidaknya tiga sub-plot dengan konfliknya sendiri-sendiri: cinta, pencarian jawab teka-teki, dan konspirasi (yg terakhir ini pasti tampak dari judulnya). Tiga sahabat Arsyad, Holan, dan Niana punya hubungan yang unik. Arsyad suka Niana tapi tidak kunjung menyampaikannya, dan Holan adalah sahabat yang gaya hidup dan pandangan akuntansinya berbeda. Bolehlah kita bilang ketiga sub-plot ini yang menjadi kerangka untuk menempelnya otot-otot konsep akuntansi yang saya sebut di awal.
Di antara konflik konseptual akuntansi yg paling utama digelar dalam novel ini, ada satu hal yang menonjol. Tokoh-tokoh dihadapkan kepada benturan akuntansi mainstream berorientasi kepada efisiensi dan laba dan akuntansi yang memiliki orientasi kepada nilai. Nilai-nilai lain dalam akuntansi yang dihadirkan di sini mencakup nilai budaya dan agama. Niana dan Arsyad, dua tokoh utama kita, tengah menggali nilai-nilai budaya Jawa dan bagaimana nilai-nilai tersebut bisa hadir dalam pencatatan akuntansi. Buat Niana dan Arsyad, alon-alon asal kelakon bisa menjadi penggerak yang sahih dalam berkegiatan ekonomi, bukan hanya pengumpulan laba.
Sementara itu, tokoh Gendis datang dengan membawa konsep akuntansi yang mengusung nilai-nilai Islam sambil mempertanyakan penggunaan nilai-nilai Jawa oleh Arsyad dan Niana. Dalam dialog-dialog terbuka yang tidak emosional, kedua kubu ini saling melontarkan gagasan mereka. Dan bersama-sama mereka mempertanyakan paradigma yang dianggap sebagai mainstream dalam akuntansi, yaitu orientasi materialistis dalam akuntansi mainstream. Jalinan berbagai paradigma dalam cerita ini, serta berbagai rujukan yang dipakai para karakter dalam bertukar gagasan, merupakan indikasi kuat pengaruh gelombang akuntansi multiparadigma.
Di antara berbagai pandangan tentang akuntansi, sebagian besar karakter di dalam novel ini sepakat bahwa akuntansi bukanlah sekadar ilmu dan alat mencatat. Akuntansi bukan lagi soal mencatat pengeluaran dan pemasukan, tapi juga satu landasan pandangan yang selanjutnya menentukan langkah-langkah yang perlu diambil seseorang dalam menjalankan aktivitasnya.
Mengajar dengan Risiko?
Di sinilah tampak bahwa meskipun ada tendensi mengajar dalam novel ini, penulis tetap memanfaatkan fitur utama novel sebagai genre yang mengandung berbagai suara. Pengajaran secara tradisional memang menuntut seorang guru menyampaikan sebuah kebenaran kepada muridnya. Namun, dalam novel ini, tampaknya pengajaran itu tidak berjalan secara mainstream dengan seorang guru menyampaikan satu kebenaran tunggal. Pengajaran di sini mungkin menjadi lebih seperti apa yang saat ini disebut sebagai student-centered. Murid perlu berperan aktif menentukan pengetahuan apa yang ingin didapatkannya dari sana. Karenanya, meskipun tampak bahwa payung besarnya adalah menggugat dominasi akuntansi mainstream yang berorientasi profit, tidak benar-benar mendapatkan “ajaran” tentang mana yang semestinya dipakai
Hal ini selaras dengan sifat novel yang sejak awalnya merupakan ruang fiksi yang mewadahi berbagai suara. Meskipun lazimnya mengusung satu tema besar yang bisa diidentifikasi, sebuah novel memiliki berbagai suara berbeda di dalamnya. Ada saja karakter-karakter bermasalah yang ada di dalamnya. Tentunya hal ini selaras dengan dunia sebagaimana kita mengenalnya: terdapat berbagai orang dengan berbagai karakter. Bahkan, tokoh utama pun seringkali memiliki berbagai lapis sifat yang menjadikannya tidak bisa disebut sebagai pribadi yang ideal. Menggunakan istilah Mikhail Bakhtin, novel selalu mengandung “karnaval” berbagai karakter dan kecenderungan atau bersifat “carnivalesque.”
Sebagai sarana mengajar, novel pun bisa cocok untuk menghadirkan berbagai ideologi sekaligus. Termasuk ideologi dalam praktik akuntansi. Dan itulah yang dilakukan Ari Kamayanti dalam menghadirkan novel ini. Karakter yang memiliki pandangan berbeda-beda dalam berakuntansi ini bisa hadir sambil mengajukan argumennya sendiri-sendiri tentang akuntansi. Bagaimana akuntansi bisa dilakukan dengan orientasi kepada konservasi alam? Kenapa akuntansi yang berorientasi kepada budaya bisa valid? Bagaimana menjadi “Islam kapitalis” bisa dijustifikasi? Berbagai pandangan ini bisa ditemukan.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: apakah bisa kita mengajar dengan menggunakan karya sastra yang cenderung mengandung berbagai elemen yang bisa saling bertentangan itu? Tidakkah pengajaran lebih efektif bila dilakukan dalam bentuk yang lurus dan to the point seperti dalam buku teks? Tentu pertanyaan semacam ini wajar dan tidak salah. Namun, saat ini kita tahu bahwa setidaknya kita percaya bahwa ada lebih dari satu paradigma dalam belajar, tidak ada yang salah pula dengan penggunaan sastra sebagai media pembelajaran meskipun dengan itu murid tidak akan belajar dengan cara yang mainstream.
Untuk mereview sejumlah paradigma pembelajaran, silakan lihat di sini.
Ada beberapa paradigma pembelajaran yang dipegang para pendidik yang masing-masing memiliki kelebihannya. Yang paling populer adalah behavioristik dan konstruktivis. Bila paradigma behavioristik menekankan pada perilaku yang bisa diamati dengan interaksi adalah tindakan dan respons, maka pemberian imbalan dan hukuman menjadi perangkat yang populer dan guru menjadi figur yang sentral. Sementara itu, paradigma konstruktivis memandang pembelajar perlu mengkonstruksi pengetahuannya berdasarkan bahan dan fasilitasi yang disediakan guru dengan didasari pemahaman bahwa pada dasarnya setiap individu bukanlah kertas kosong, tetapi sudah memiliki modal. Paradigma penting lainnya adalah paradigma humanis yang didasari kesadaran bahwa setiap manusia pada dasarnya sudah memiliki nilai dan proses yang baik akan membuat nilai itu semakin menonjol. Selain itu, di era digital ini, paradigma konektivitas semakin menampakkan pengaruhnya, di mana siswa dipandang paling bisa belajar ketika terkoneksi dengan berbagai sumber informasinya sendiri.
Nah, bagaimana dengan penggunaan karya sastra sebagai bahan belajar? Seperti dirujuk di atas, karya sastra yang memiliki sifat karnaval dengan banyak suara berbeda itu pastinya menuntut peran aktif pembaca dalam mengkonstruksi pengetahuan dari sana. Di satu sisi, penulis bisa menyampaikan informasi tentang berbagai konsep atau hasil penelitian di bidang akuntasi nyaris di setiap bagian buku. Pembaca bisa dapat informasi yang mereka butuhkan tentang berbagai konsep dan hasil studi itu. Namun, pada akhirnya, ketika tiba saatnya si pembaca menentukan mana di antara konsep-konsep ini yang paling tepat, atau mana konsep yang paling tepat dalam konteks tertentu, dia harus mengkonstruksikan hal tersebut berdasarkan seluruh narasi yang disajikan dalam buku ini. Di situ dia bertanggung jawab untuk menimbang sendiri sebenarnya pandangan atau ideologi macam apa yang ditawarkan penulis melalui buku ini. Tampaknya di sini pembelajaran melalui karya sastra masuk ke dalam paradigma konstruktivis.
Namun, apakah hanya begitu? Kalau menyadari bahwa tidak ada novel yang bisa menggambarkan dunia dengan lengkap, dan bahwa pembaca perlu juga mengisi ruang-ruang kosong yang ada di dalam novel, tampaknya tidak bisa dielakkan juga bahwa menggunakan karya sastra sebagai sumber belajar menuntut si pembelajar untuk tetap terkoneksi dengan berbagai sumber informasi di luar. Di sini, mungkin kita bisa katakan juga bahwa di sini ada irisan dengan paradigma konektivitas.
Dengan berbagai alasan ini, pembelajaran akuntansi dengan menggunakan novel adalah proses belajar yang tidak sederhana. Pelajar perlu melakukan usaha lebih untuk bisa mencapai pengetahuan maksimal. Ada berbagai pandangan yang menuntut pelajar untuk aktif menafsir, menimbang, dan memutuskan. Selalu ada risiko di dalam kondisi seperti ini. Pelajar terpapar pada berbagai ideologi yang bisa terpapar pada ideologi yang mungkin justru ditentang oleh si penulis novel. Tapi di situlah esensi dari pembelajaran konstruktivistik. Kotak pandora telah terbuka dan siswa harus berhadapan sendiri dengan isinya. Penulis hanya bisa mengarahkan dengan narasi makhluk apa dari kotak pandora itu yang perlu dipegang dan makhluk mana yang hanya perlu diamati.
Dalam Konspira(kuntan)si 2 ini, pembaca tentu harus terus mempertanyakan antara posisi Niana dan Arsyad ketika bersentuhan dengan akuntansi yang memegang posisi berbeda dengan Gendis. Pertemuan antara akuntansi Niana dan Arsyad yang merangkul nilai-nilai tradisi Jawa ini harus ditimbang dalam kaitannya dengan pandangan Gendis yang menganggap ideologi membutuhkan satu sistem nilai yang kokoh, seperti misalnya sistem nilai Islam. Tentu ini bukan persoalan hitam dan putih, karena pada dasarnya Niana dan Arsyad juga bukan orang yang merangkul nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Di sinilah seorang pembelajar akuntansi harus berperan lebih aktif lagi daripada sekadar menerima pengetahuan.
Konspirasi: Padang Terbuka
Nah, sebagai penutup, harus kita lihat bagaimana novel ini mengangkat konspirasi di dalamnya. Dalam perbincangan keseharian, kita tentu akrab dengan istilah konspirasi teori yang biasanya dipakai untuk merujuk kepada satu tatanan besar yang membuat hal-hal di dunia ini terjadi. Gagasan ini membayangkan adanya satu sosok dalang yang menggerakkan berbagai hal di dunia yang seolah tampak tak berhubungan. Teori ini suka diangkat dan digunakan sebagai penjelas ketika terjadi hal-hal yang tidak ditemukan jawaban pastinya: pesawat yang hilang, kapal yang karam, pembunuhan yang tak bisa dijelaskan, dan lain-lain.
Bila tertarik tahu lebih jauh, silakan cobalah lihat video asyik ini:
Dalam seri Konspira(kuntan)si, teori konspirasi mewujud dalam bagaimana akuisi dan merjer perusahaan sebenarnya bukan terjadi karena alasan sederhana. Ada kepentingan-kepentingan lebih besar yang menggerakkannya. Dan itulah yang di dalam novel ini digerakkan oleh orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan yang jauh lebih besar dari sekadar urusan perolehan finansial perseorangan. Di situ pemahaman tentang akuntansi mendapat tempat yang pas. Konsep akuntansi bergerak menjadi aksi yang kemudian menyentuh hajat hidup orang-orang di semesta novel ini.
Bagian konspirasinya ini yang menurut saya menarik. Kalau kita lihat sekeliling dan memindai fiksi populer di Indonesia, sepertinya tidak banyak yang mengangkat teori konspirasi sebagai penggerak ceritanya. Padahal, tidak sedikit nilai-nilai dari berbagai bidang ilmu maupun cara pandang di masyarakat lokal yang berpotensi dipakai untuk memahami dunia. Dalam kisah-kisah fiksi dunia, baik yang masih dalam bentuk buku maupun yang sudah jadi film atau serial, teori konspirasi meresap dan menjadi penggerak. Sebagian bahkan sempat populer di Indonesia. Novel-novel Dan Brown dan kiprah Ksatria Templar di zaman modern, misalnya, adalah contoh yang sempat populer. Begitu juga dengan kisah konspirasi-konspirasi lain semacam The X-Files. Ari Kamayanti, penulis seri Konspira(kuntan)si ini menemukan satu ruang di mana dia semestinya bisa menjadi sorotan.
Catatan tentang format buku.: Saya tidak tahu apakah buku ini terbit dalam bentuk fisik, tapi yang pasti saya baca versi e-booknya dari Google Playbook. Enak kok baca e-book di Google Playbook. Fasilitasnya kurang lebih tidak berbeda dengan Kindle (yang sudah saya akrabi cukup lama): mulai bookmark, highlight, komentar, dan sinkronisasi lintas gawai.
Bagaimana kenikmatan bacanya? Kalau kita pakai HP, memang jadi kecil kalau dibaca secara portrait. Namun, begitu kita tilt ke landscape, jadinya cukup gede kok. Memang tidak bisa satu halaman penuh, tapi kita tinggal ketuk saja kalau ingin ke bagian selanjutnya yang perlu kita baca. Kalau pakai tablet 10 inchi malah bisa jadi dua halaman, seperti buku biasa. Intinya enak. Ini pertama kalinya saya baca buku secara utuh di Google Playbook. Saking nikmatnya, saya pun beli dua buku di Google Playbook, yaitu novel-novelnya Arafat Nur. Kita baca nanti.
Penulis dan Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang.