Candi Jago yang terletak di desa Jago, Kec. Tumpang, Kabupaten Malang, Selasa 29 April 2014. Candi Jago di dirikan pada masa kerajaan Singhasari, yaitu sekitar abad ke-13 oleh raja Kertanegara untuk menghormati Ayahandanya Wisnuwardhana. (Aris Hidayat/Terakota)
Iklan terakota

Terakota.id-Suryadi juru pelihara Candi Jajaghu atau Jago menunjukkan enam relief yang melekat di dinding Candi. Candi Jago terdiri dari enam relief, meliputi relief tantri atau binatang, relief Aridarma atau Anglingdarma, relief Kunjarakarna, relief Arjunawiwaha, relief Krisnayana dan relief Parthayadnya atau Mahabarata. Relief Parthayadnya di teras dua bidang pahat paling lebar, selebar tiga jengkal sedangkan relief lain hanya dua jengkal.

Relief Parthayadnya terlihat paling mencolok dipahat detail dengan gaya wayang seperti bentuk tokoh pewayangan. Untuk membaca cerita relief candi yang berlokasi di Jalan Wisnuwardana Dusun Jago Desa Tumpang Kabupaten Malang harus berlawanan dengan arah jarum jam atau Pasawya. Cerita relief Candi Jago merupakan salah satu dari 18 bagian atau hasta dasa parwa dalam kisah Mahabarata. Yakni cerita tentang kehidupan pandawa di hutan atau wara parwa setelah terusir dari singgasananya.

“Banyak seniman terinspirasi relief di Candi Jago,” kata Suryadi. Cerita diawali adegan judi dadu yang antara Pandawa dengan Kurawa. Tampak Yudistira duduk bersimpuh menghadap dadu sedangkan Bima, Arjuna, Sakula atau Nakula dan Sadewa berdiri dalam sebuah bangunan terbuka. Mereka mempertaruhkan kekayaan, tapi dengan tipuan licik Sengkuni Pandawa kalah.

Dalam memaknai harta, katanya, kurawa menilai taruhannya meliputi istana beserta isinya, harta benda, serta wanita menjadi istri jarahan. Kurawa tergoda Draupadi atau Drupadi yang cantik dan digambarkan memiliki kulit mengkilat seperti kaca, kaki halus, saat berjalan kerikil menyingkir. Sedangkan Pandawa tersinggung dan menolak, mereka dikenal sangat menyayangi dan melindungi Drupadi.

Arkeolog dari Universitas Negeri Malang Mudzakir Dwi Cahyono menjelaskan jika tokoh Drupadi hanya muncul dalam tiga panil dalam relief Parthayadnya. Yakni saat Dursasana menggelandang Drupadi, pakaian sarinya ditarik hingga berputar seperti gasing. Pakaian sari terlepas, Drupadi telanjang. Drupadi merasa dipermalukan di depan umum. Drupadi menjaga kehormatannya dengan menutup aurat atau tubuh dengan rambutnya yang panjang dan tebal atau asinjang rambut (Berbusana rambut).

Busana, katanya, penting bukan hanya untuk tampil indah tapi juga untuk menjaga kehormatan. Meski tak berbusana lengkap, dengan berbusana rambut Drupadi tetap menjaga kehormatan. Drupadi bersumpah akan terus menggerai rambut untuk menutup tubuhnya sampai Darsasana terbunuh dan jamasi atau keramas darahnya.

Adegan kedua Drupadi muncul saat Pandawa membawa Drupadi meninggalkan istana. Perempuan berada di depan, Kunti disusul Drupadi. Sedangkan Pandawa berurutan berada di belakangnya diikuti Punakawan. Mereka masuk hutan atau wana parwa. Serta adegan ketiga Drupadi muncul saat meninggalkan Kadatwan atau Kedaton. “Tak ada cerita khusus Drupadi dalam relief tersebut,” kata Mudzakir Dwi Cahyono.

Sosok Drupadi, katanya, menjadi misterius karena hubungan terselubung. Sejumlah referensi menyebutkan jika Drupadi kekasih kelima tokoh Pandawa. Menurutnya, tokoh Drupadi merupakan tokoh penting dalam kaitan wanita dalam budaya. Drupadi, katanya, merupakan sosok perempuan yang lembut, welas asih, dan teguh menjaga kehormatan. “Tokoh Drupadi pantas dipentaskan dalam sebuah sendratari,” katanya.

Candi Jago, katanya, merupakan pandermaan Wisnuwardana raja keempat Singhasari. Selain pandermaan di Candi Jago, serta di Candi Mleri, Gunung Pegat, Srengat Kabupaten Blitar. Candi Jago dibangun pada masa pemerintahan Kertanegara untuk memberikan penghormatan kepada ayahnya Wisnuwardana. Sebutan Candi Jajaghu tertulis dalam kitab kuno Pararaton dan kitab sastra kuno Nagarakertagama.

Wisnuwardana, katanya, didarmakan sebagai sugata atau buddhis. Tampak di halaman candi seluas separuh lapangan sepak bola sebuah arca Buddhi Sattwa dalam bentuk Amoga Pasya dengan pengiring di empat penjuru mata angin. Arsitektur candi mengalami perombakan besar-besaran pada jaman Majapahit saat pemerintahan Hayam Wuruk. Renovasi dipimpin adityawarman pada 1350 an. Sehingga tampak jelas jika seni pahat dalam relief bergaya wayang merupakan gaya masa kerajaan Majapahit yang dipengaruhi agama Hindu.

“Renovasi juga dilakukan terhadap 25 candi di Jawa Timur untuk menghormati leluhurnya,” kata Dwi. Hanya satu relief di Candi Jago yang dipengaruhi Buddhis. Sebagian pahatan di relief masih terjaga apik, tapi sejumlah relief lapuk dimakan zaman. Sehingga sulit untuk membaca relief di badan candi Jago.