Oleh: Pdt. Kristanto Budi Prabowo
Terakota.id-“Yesus orang Papua!”Karena jelas dia tidak akan kamu temui di Freeport, sebidang tanah yang harganya lebih mulia dari ratusan nyawa manusia, harga diri bangsa, dan bahkan keagungan anugerah pemberian yang illahi. Dia tidak ada di sana, karena dia tidak butuh lobi-lobi bergelimang kerakusan, pelecehan kemanusiaan, dan ha…ha…hi…hi…keakraban senyum khas basa-basi yang tega menyiksa dan membunuh saudara sendiri.
Dia juga tidak sedang berselfieria (swafoto) di Raja Ampat yang semakin mengharu-biru sentimen nasionalisme laksana anak-anak meminta permen kesukaannya. Betapa tidak, sementara derita dan jeritan hati mereka orang Papua menyeruak menghasilkan empati banyak bangsa.
Semangat nasionalisme justru berteriak meminta dipuaskan dengan dalih cerita kosong perjuangan “Irian Barat.” Semua orang sudah menyadari betapa kerdilnya moralitas kita sebagai bangsa. Dia juga tidak sedang menelusuri hutan-hutan menguras kekayaan eksotis di dalamnya yang lantas dikabarkan sebagai sebuah petualangan ala film Hollywood.
Yesus orang Papua karena berada bersama dengan jeritan mereka, ketika disiksa tentara sekadar untuk menunjukkan bahwa dialah prajurit yang telah terlatih menghadapi “musuh bangsa”. Dia berada dalam rahim Ibu-ibu Papua yang merisaukan kehidupan masa depan anak-anaknya. Masa depan alam lestarinya.
Masa depan kemanusiaan yang diperkenalkan oleh modernisasi dengan cacian kebencian dan diskriminasi bahkan hanya karena kulit dan rambut mereka. Dia berada dalam aliran darah generasi muda Papua yang sedang belajar memahami artinya menjadi sebuah bangsa di dalam sebuah negara yang tidak mengenal belas kasihan, apalagi pengertian. Mereka yang sedang terserak di berbagai kota di pulau-pulau lain bahkan di negara-negara lain.
Keunikan mereka dan hasil karya keindahan seni dan tradisi mereka bahkan dibanggakan Negara karena mampu merebut piala bergengsi tingkat internasional, di saat yang sama inisiatif kreatif mereka diludahi, diinjak-injak, bahkan diancam dengan kekerasan hingga kematian oleh pihak-pihak dan orang-orang yang sama.
Yesus orang papua karena melampaui kepentingan negara. Dia berdiri disamping orang-orang Papua dan kemudian dipaksa berjongkok menunduk ketika para tentara melakukan inspeksi ke desa-desa mereka, ketika para pejabat Negara datang memberi senyum kepada mereka yang bahkan seorang anak kecil di sudut pasar tahu bahwa itu bermakna sangat membahayakan kehidupannya.
Kalau kamu bilang bahwa Yesus pernah disalib dalam derita dan siksa tak terperi, pandanglah Dia di antara orang-orang Papua. Kalau kamu bilang bahwa Yesus penuh kasih dan pengertian, sekiranya kamu mengerti apa yang ada dalam pikiranmu. Yang ada dalam suara hati nurani terdalammu.
Apakah di sana bersuara lantang tentang nasionalisme membabibuta lengkap dengan kekejian dan terornya, atau tentang keadilan, kemanusiaan dan keberanian. Kalau kamu terus menerus membaca buku-buku, mendengar kotbah-kotbah, menyanyikan pujian indah pada Yesus, sekaranglah waktu yang tepat untuk sungguh-sungguh mengarahkan semua energi itu pada orang-orang Papua.
Sekecil apapun, suara keberpihakan pada cinta dan kemanusiaan tetap bermakna. Sebesarapapun, suara kerakusan kekuasaan pada bayangan idea tentang negara, agama, bangsa, dan bahkan peradaban, pada akhirnya akan sirna dalam kecewa dan penyesalan.
Papua adalah orang-orangnya, Papua adalah keagungan ciptaaan Tuhan lengkap dengan segala pesan kearifan pemeliharaannya. Papua adalah keutuhan yang layak dihargai dan dihormati sebagaimana semangat Bapak Bangsa kita Gus Dur memberanikan diri berdialog terbuka dengan mereka. Jangankan soal bendera, soal ide Negara mandiri-pun, bagi Gus Dur kemanusiaan adalah yang utama.
Bagaimana sebagai sebuah bangsa kita memperlakukan sesama anak bangsa itulah yang utama. Karena ide Negara bisa sampai kapanpun dibicarakan dengan hati dingin, ide makna bendera bisa dimaknai dengan penuh kearifan dan kecerdasan. Namun kemanusiaan adalah realitas paling dekat dalam hidup kita di dunia ini.
Sekali lagi, Yesus orang Papua sekarang sedang menyampaikan pesan kasihnya, pesan dasar agar manusia menjadi manusia yang manusiawi. Yang sekarang sedang membagi-bagikan tubuh dan darahnya agar kita mengerti dan berani berbagi, bukan agar kita licik-pintar dan menjadi rakus. Yang sekarang sedang diseret-seret dipermalukan, dijadikan musuh bersama, dijadikan pesakitan yang layak dibenci.
Yesus orang Papua, Dia disana, akan terus berdiri kembali dan mengatakan cinta yang sama kepada kamu semua.
Amin.
*Penulis pernah menjadi Pendeta di sinode GKSBS, peminat budaya dan anggota Presidium Jaringan GusDurian Jawa Timur.
Merawat Tradisi Menebar Inspirasi
Salam dan selamat berjuang
Terima kasih, atas tulisan yang baik.