
Terakota.id–Akhir-akhir ini saya memang senang berbicara tentang orang gundul, baik dalam tulisan-tulisan saya di media masa maupun dalam perbincangan santai bersama kawan-kawan. Selama lebih dari tiga tahun si gundul menjadi lawakan yang tak lucu di panggung hukum Indonesia, yang melibatkan saya secara langsung.
Guyonan saya tentang gundul, nyaris menyeret saya ke penjara. Sekali pun saya diputus bersalah di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, namun dalam persidangan terungkap semua rekayasa yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan kriminalisasi terhadap saya. Pernyataan para saksi tidak bisa membantah tentang fakta tersebut.
Karena saya sangat percaya masih ada keadilan di negeri ini, maka saya berusaha sekuat tenaga untuk berjuang melawan kriminalisasi itu. Mahkamah Agung pun ternyata masih berpikiran jernih, bahwa pendapat apalagi kelakar tak dapat diadili. Saya pun divonis bebas. Pelapor tidak memiliki legalstanding apa pun dalam perkara saya. Terlepas dari itu semua, tampilan dengan kepala plontos adalah pilihan, sama dengan orang memilih untuk berambut gondrong. Tidak ada yang lebih nista, dan tidak ada yang lebih mulia.
Mereka yang menganggap bahwa tampilan tertentu ditafsirkan sebagai sebuah penistaan, maka sebenarnya justru penafsirnyalah yang perlu dipertanyakan isi kepalanya, apakah masih bersih atau justru sudah sangat kotor. Saat ini banyak orang, termasuk beberapa selebriti tanah air memilih untuk tampil dengan kepala plontos. Memilih berkepala gundul, berambut gondrong sama dengan memilih untuk bertopi atau pun tidak.
Tampilan di depan publik adalah salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Salah seorang memilih berbaju batik, orang lainnya nyaman dengan hanya memakai kaos oblong. Itu semua adalah pilihan. Ada yang memilih sepatu warna kuning, sementara kaos kakinya merah, itu juga pilihan. Tak boleh ada larangan, apalagi sepatu dan kaos kaki itu dibeli dengan uang hasil cucuran keringat sendiri.
Belum genap dua tahun lalu banyak orang dibuat geli lantaran pernyataan yang sangat kontroversial dan mengelitik dari salah satu pejabat negara. Ia melontarkan wacana larangan memakai cadar dan celana cingkrang. Wacana itu memang bukan barang baru. Bertahun-tahun lamanya penggunaan cadar (penutup wajah) di muka umum selalu menjadi perdebatan yang sengit dan tak pernah usai.
Pro dan kontra itu tidak hanya terjadi di negeri-negeri yang umat Islamnya sebagai minoritas, namun demikian polemik tersebut juga marak di negara-negara yang secara terang-terangan berideologi Islam. Sejak awal kedatangan Islam telah terjadi perbedaan penafsiran tentang bagian tubuh mana saja dari perempuan yang diperbolehkan terlihat untuk umum.
Pemakaian cadar adalah sebagai salah satu bentuk tafsir itu. Apa pun tafsirnya harus mendapatkan tempat yang sama untuk dihargai sebagaimana tafsir lainnya. Begitu pula halnya dengan celana cingkrang. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa unsur masyarakat memandang bahwa cadar dan celana cingkrang selalu dikaitkan dengan gerakan aliran keagamaan garis keras, atau bahkan identik dengan terorisme. Tentunya anggapan semacam ini sangat gegabah dan merupakan tuduhan yang serampangan.
Saya memiliki banyak teman yang kebetulan laki-lakinya biasa dengan celana cingkrang, sementara perempuannya selalu bercadar di tempat umum. Saya tidak mendapatkan sedikit pun tanda-tanda mereka itu adalah golongan yang anti terhadap kelompok lain. Beberapa teroris yang tertangkap dan kebetulan mereka memakai cadar atau celana cingkrang, tidak bisa dijadikan patokan bahwa semua orang yang bercadar atau bercelana cingkrang adalah teroris.
Jika ditinjau dari satu sisi saja, mungkin ada tujuan mulia dari sang pejabat, yakni menangkal sedini mungkin gerakan-gerakan yang mungkin berpotensi akan melakukan tindakan intoleransi atau bahkan terorisme. Namun dengan membuat kriteria bahwa setiap yang berdadar atau bercelana cingkrang dianggap teroris adalah pernyataan yang sangat menyakitkan. Larangan itu, sekali pun hanya dibatasi dalam kalangan instansi atau kementerian tertentu, namun cukup mengganggu perasaan mereka yang bercadar dan bercelana cingkrang.
Pernyataan itu jelas-jelas bertentangan dengan kebebasan berekspresi, apa pun alasannya. Sekali pun potensi gerakan terorisme itu bisa muncul dari agama apa pun, namun saat ini Islam memang menjadi sasaran tuduhan pelaku teror. Hal ini sangat beralasan karena para teroris yang ditangkap itu memang beragama Islam, dan memang dalam gerakannya mengatasnamakan dan membawa ideologi Islam versi mereka.
Semua agama memiliki potensi untuk melahirkan teroris. Agama-agama yang menjadi mayoritas di sebuah negara memiliki potensi untuk menindas minoritas. Di Myanmar, seorang biksu bernama Ashin Wirathu, sebagaimana dikutip BBC News (19 Juni 2019), menggambarkan masjid sebagai markas musuh, dan menyebut Muslim sebagai “anjing gila”.
Bahkan ia kerapkali dijuluki sebagai Bin Laden-nya Budha. Budha adalah agama mayoritas di Myanmar, sementara Islam adalah agama minoritas. Untungnya hal tersebut tidak terjadi di Indonesia. Bisa dibayangkan seandainya Ashin Wirathu hidup di Indonesia, bisa-bisa orang yang berkepala gundul sangat boleh jadi diidentikkan dengan teroris. Tentu saja ada pejabat negara yang melontarkan pernyataan larangan untuk tampil di muka publik dengan kepala plontos.
Bahwa orang memilih untuk berkepala gundul, memilih untuk menutup muka, terlepas dari alasan agama, adalah haknya. Begitu pula, mau pakai celana cingkrang, celana pendek, celana tiga per-empat adalah hak tiap orang. Di pedesaan zaman dulu, para pedagang keliling kebanyakan memakai celana cingkrang. Mereka menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki, sementara dagangannya dipikul. Celana cingkrang bagi mereka sangat efektif untuk mengatasi semua medan, yang terkadang jalan yang dilaluinya becek atau bahkan mereka harus menyeberangi sungai yang tanpa jembatan.
Orang yang menutup wajahnya jelas memiliki sejumlah alasan yang berbeda-beda, salah satunya adalah dalam rangka menghindari diskriminasi. Dalam ruang publik, sering kali wajah menjadi alat untuk mendiskriminasi orang, entah karena tiap-tiap ras memiliki tipe wajah yang berbeda-beda atau karena alasan daya tarik. Berscheid dan Walter sebagaimana dikutip Anthony Synnott dalam The Body Social: Symbolism, Self and Society (1993), dalam salah satu penelitiannya menemukan bahwa penampakan fisik memiliki pengaruh yang sangat dominan di lingkungan sekolah. Anak-anak yang menarik lebih populer di sekolah dan memeroleh peringkat yang lebih tinggi.
Mereka yang memilih untuk menutup wajahnya di muka publik sama dengan mereka yang memilih untuk membuka wajah dan bagian tubuh lainnya. Dalam batasan mana, bagian tubuh bisa dibuka di depan publik, tiap masyarakat memiliki ukuran yang berbeda pula. Ukuran-ukuran itu ditentukan oleh norma umum dan norma agama. Di satu tempat mungkin dianggap sopan, di tempat lain barangkali justru sebaliknya.
Negara tidak seharusnya memasuki wilayah norma dan batasan seberapa pantas tampilan seseorang dengan membuat patokan yang didasarkan pada agama tertentu, lebih-lebih dengan penafsiran tertentu pula, karena norma-norma itu, begitu pula tafsir akan terus berubah seiring perjalanan waktu. Seberapa pantas mereka tampil akan dinilai oleh anggota masyarakat lainnya, dan pada akhirnya akan terbentuk secara alamiah kepantasan secara umum yang berlalu dalam masyarakat setempat.
Membiarkan orang bercadar tidak hanya menghargai penghayatan terhadap penafsiran agamanya, namun juga menghargai pilihan ekspresinya. Memakai rok mini, celana jean, kaos ketat, kebaya, celana cingkrang, celana pensil, semua adalah pilihan. Termasuk pilihan model rambut, apakah akan digundul, atau dibiarkan gondrong. Sepanjang rambut kepala itu dicuci dengan bersih dan tidak berbau menyengat yang mengganggu orang lain, mengapa harus dipersoalkan.
Orang mau berjenggot panjang atau dagunya licin dan klimis itu adalah pilihan. Mereka yang berjenggot panjang belum tentu karena alasan agama. Jika pun alasannya adalah agama, sangat gegabah bila kita mengatakan bahwa mereka berhaluan keras bahkan seorang teroris. Yang menjadi persoalan jika jenggot tersebut dibiarkan kotor dan banyak kutunya sehingga menular ke orang lain, misalnya.
Belum selesai perdebatan di arena publik, situasi telah berubah total. Orang Jawa sering bilang wolak-walik-e jaman. Ungkapan tradisional ini dapat dimaknai bahwa zaman pasti berubah, entah lambat atau cepat, dan tidak ada sesuatu pun yang abadi. Jika kemarin A, hari ini bisa saja berubah menjadi B. Sedang gencar-gencarnya perdebatan tentang cadar datanglah pandemi korona.
Di tengah-tengah kalangan tertentu sedang bersikukuh untuk menanamkan rasa kecurigaan kepada mereka yang memakai cadar dan celana cingkrang, pada saat yang sama para pejabat yang lain justru merasa kuwalahan untuk mengimbau bahkan mewajibkan tiap orang, tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki untuk memakai cadar (baca: masker).
Masih juga sangat segar di ingatan kita ketika beberapa tahun lalu (bahkan hingga kini) minoritas keagamaan sangat sulit untuk mendirikan tempat ibadah lantaran persyaratan yang sangat rumit dan berat. Sebagai solusi, kaum minoritas melakukan ibadahnya di rumah-rumah mereka. Banyak rumah kaum minoritas difungsikan sebagai tempat ibadah. Masalah baru pun timbul.
Dalam banyak kasus, masyarakat sekitar mempermasalahkan komunitas-komunitas yang melakukan ibadah di rumah. Ada pula kegiatan keagamaan yang dibubarkan oleh segelintir masa lantaran dianggap menggangu ketertiban. Padahal kegiatan ibadah tersebut juga tidak menggunakan pengeras suara yang mengganggu tetangga kanan-kirinya. Beberapa kelompok minoritas malah dipaksa untuk bergabung bersama dengan kelompok keagamaan lainnya, karena selama ini dianggap ekslusif. Negara terlampau jauh hadir dalam mencampuri urusan keyakinan rakyatnya, sementara hak-hak yang semestinya didapatkan malah diabaikan.
Korona memang bisa mengubah segalanya. Sejak wabah ini makin meluas di tanah air, pemerintah mengimbau agar masyarakat memilih untuk beribadah di rumah masing-masing, atau beribadah berbasis komunitas dalam jumlah terbatas. Saat ini hampir setiap rumah menjadi tempat ibadah, setidaknya ibadah keluarga. Salat lima waktu, salat Jumat, bahkan salat Ied juga dilaksanakan di rumah-rumah.
Semua rumah menjadi rumah Tuhan, dengan tanpa disertai rasa curiga. Pandemi setidaknya telah menyadarkan bahwa kebebasan berekspresi, baik berbicara, tampil di publik, dan menjalankan ritual keagamaan semestinya tanpa tekanan dari mana pun. Jika saat ini ada aturan untuk tidak melakukan ibadah di masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya, bukanlah didasarkan pada pembatasan kebebasan beragama, namun situasi darurat memang mengharuskan demikian. Pasca pandemi nanti, kita akan menjadi terbiasa beribadah di mana saja, bisa di masjid, atau di rumah masing-masing, tanpa ada yang mempersoalkan. Yang menjadi ukuran pelarangan adalah apakah sebuah kegiatan itu merupakan tindak kriminal atau bukan.
Keyakinan tidak bisa dihakimi oleh siapa pun. Siapakah yang bisa memindai pikiran dan perasaan orang lain? Sepanjang pikiran dan perasaan tersebut tidak diekspresikan dengan cara-cara yang merugikan orang lain, maka tidak ada alasan sedikit pun untuk bisa saling menghakimi keyakinan orang lain. Dalam pandemi ini rasanya tidak ada yang aneh dari segala pemandangan yang kita lihat, tidak hanya salat Ied di rumah, namun semua orang kini telah bercadar. Tak ada larangan!

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)