Iklan terakota

Terakota.id–Jean-Paul Charles Aymard Sartre atau yang lebih dikenal sebagai Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, hidup 1905-1980) menyatakan bahwa manusia tidak tahan dengan kebebasan atau kemerdekaan. Pernyataan itu selintas terdengar paradoksal ya? Bagaimana mungkin kita tidak tahan dengan kebebasan, khususnya pada saat ini ketika: 1) kita masih berada di bulan Agustus di mana sebagai bangsa kita sedang merayakan ulang tahun kemerdekaan, dan 2) kita, karena sudah amat capai terkungkung selama lebih satu tahun di rumah, benar-benar merindukan kebebasan pra-pandemik yang memungkinkan kita untuk melakukan banyak aktivitas di luar rumah dengan nyaman dan enak?

Sebelum kita menjawab dua pertanyaan di atas, perlu kita singgung serba sedikit bagaimana dan kenapa Sartre sampai pada kesimpulan yang kedengaran ganjil itu. Sartre sendiri adalah salah satu pengusung utama filsafat eksistensialisme dan, sebagai sebuah aliran dalam filsafat, eksistensialisme memiliki banyak sekali percabangan. Filsafat eksistensialisme yang berusaha memahami dan mencari makna dari eksistensi, di dalam pemikiran Sartre, berkembang menjadi filsafat eksistensialisme yang bercirikan ateisme. Ini berbeda dari filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Kierkegaard, sebagai misal, yang punya ciri khas religius Kristiani.

Sartre tampaknya dipengaruhi secara mendalam oleh gagasan Nietzsche tentang konsep nihilistis. Dalam konsep ini, karena Tuhan (atau tuhan) sudah dibunuh, segala sesuatunya mungkin. Dengan kata lain, karena Sang Superego atau sang mahapengatur tidak ada (atau sudah dibunuh), manusia memperoleh limpah kebebasan yang tiada batas. Keadaan inilah yang oleh Nietzsche harapkan akan manusia tangkap demi mewujudkan apa yang diistilahkannya sebagai Übermansch, manusia purna yang berani dan mampu mewujudnyatakan suatu gagasan besar.

Satu hal yang mungkin kurang disadari oleh Nietzsche tetapi dipahami dengan sangat baik oleh Sartre adalah bahwa kebebasan mutlak (atau keadaan nihilistik) yang dimungkinkan oleh ketiadaan Tuhan (keadaan ateistik) sejatinya tidak membuat manusia merasa terbebaskan dan teremansipasi untuk mencapai ketinggian seperti yang tidak pernah dicapai sebelumnya. Yang terjadi justru manusia merasa terbebani dan overwhelmed, tidak sanggup melakukan apa-apa. Dalam bahasa Sartre, kebebasan justru menghasilkan angst, kekhawatiran, kemualan (nausea) dan ketakutan besar.

Itu dikarenakan di dalam kebebasan terkandung tanggung jawab besar. Situasinya mungkin bisa diumpamakan seperti keadaan burung yang sudah terlalu lama, atau bahkan sudah sejak sangat kecil, tinggal dan hidup dalam kurungan. Saking lamanya burung tersebut berada dalam sangkar, tatkala sang tuan lupa menutup pintunya, si burung tidak merasa tergerak untuk keluar dari kandangnya.

Baginya, dunia dan segenap dirinya adalah kurungan itu. Dunia di luar kendang terlampau besar dan tak terpikirkan olehnya. Kebebasan, walau secara konseptual terlihat menarik dan menggoda, mengandung konsekuensi besar: si burung mungkin tidak akan mampu bertahan hidup, entah karena tidak tahu cara bertahan dari bahaya atau bahkan tidak tahu bagaimana mencari makanan untuk dirinya sendiri.

Kebebasan bagi manusia, dalam filsafat eksistensialisme Sartrean, terasa semakin menakutkan karena kesadaran bahwa manusia ternyata tidak memiliki esensi. Dalam bahasa Sartrean, istilahnya adalah ‘hadirnya eksistensi yang mendahului esensi’. Manusia ada terlebih dulu, eksis terlebih dulu, dan tidak tahu apa esensinya atau makna hidupnya.

Dia harus menemukan dan menciptakan sendiri esensi atau makna hidup tersebut. Manusia berbeda dengan kursi atau harimau, misalnya. Kursi ada dalam realitas setelah makna dan tujuan keberadaannya dibayangkan terlebih dulu oleh penciptanya, yaitu tukang kayu. Maka, keberadaan atau eksistensi kursi adalah untuk menggenapi esensi atau makna yang digariskan tersebut.

Harimau pun ada setelah esensinya lengkap terlebih dulu. Harimau tahu secara instingtif atau naluriah bahwa dia adalah sang raja hutan, yang berada di puncak piramida makanan, dan dia akan memakan hewan-hewan di bawahnya. Harimau tidak memilih sendiri hal itu. Pun pula dia tidak memilih untuk memakan jamur atau sayur bayam. Jika ada harimau yang makan jamur atau sayur bayam, itu adalah harimau yang mengingkari esensinya, dan hal tersebut sangat jarang terjadi.

Bagaimana dengan manusia? Esensi manusia, menurut filsafat eksistensialisme Sartrean, dipandang sebagai sesuatu yang tidak terberi atau given. Karena dalam eksistensialisme ini Tuhan tidak diakui, esensi atau makna dasar atau tujuan awal dari keberadaan alias eksistensi manusia pun tidak ada. Manusia, di dalam hidupnya dan melalui hidupnya, mesti menciptakan sendiri esensi itu.

Dia bebas mau mengisikan apa pun ke dalam eksistensinya. Dengan kata lain, manusia bebas untuk menciptakan esensinya sendiri. Di sinilah kegamangan manusia. Dia tidak tahu persis dan pasti mengapa dia ‘terlempar dan terdampar’ di muka bumi ini. Dan, dia tidak tahu dengan pasti untuk apa dia ada dan akan ke mana dia menuju pada akhirnya.

Keadaan ‘terlempar dan terdampar’ tanpa esensi ini membuat hidup manusia selalu berada di persimpangan. Tidak ada satu jalan lurus baginya, tanpa sedikit-sedikit dia tiba di sebuah percabangan. Satu cabang jalan harus dipilihnya atau orang lain atau keadaan akan memilihkan baginya; dan itu berarti dia tidak akan melewati percabangan-percabangan yang lain. Dia hanya satu. Tubuhnya satu, jiwanya tunggal.

Maka, jika dia sudah mengambil satu jalan, lepaslah kemungkinan atau kebebasan untuk memilih dan menjalani cabang yang lain. Keadaannya mirip dengan memilih satu pasangan dalam kehidupan perkawinan yang bersifat monogamis. Kalau saya memilih Ati sebagai istri, saya menutup kemungkinan untuk menikah dengan Katrin atau Wike atau Tasya atau siapa pun yang saya pernah taksir dan sukai, kecuali jika Ati dan saya bercerai atau Ati meninggal dunia.

What If …! Bagaimana Seandainya (Aku tidak Memilih Jalanku Sekarang)?

Di Disney+, hari-hari ini sedang diputar serial dari Marvel Comics berjudul What If…! Serial yang ditunggu-tunggu khalayak seusai keberhasilan Loki ini rasanya cukup bagus mengilustrasikan situasi seperti digambarkan di paragraf sebelumnya.

What If! dibuka dengan narasi yang menggetarkan dari ‘The Watcher’, sang mata semesta yang melihat dan mengamati semua, tanpa pretensi. “Time. Space. Reality. It’s more than just a linear path. It’s a prism of endless possibility, where a single choice can branch out into infinite realities, creating an alternate world different from the one you know.” Waktu, ruang, realitas lebih dari sebentang jalan yang lurus. Ia adalah prisma dari kemungkinan yang tanpa akhir, di mana satu keputusan dapat membelah ke dalam realitas tanpa batas, menciptakan sebuah dunia alternatif yang berbeda dari yang kita ketahui.

Sampai pada episode ketiganya, What If …! memang berkisah tentang kemungkinan-kemungkinan alternatif dari yang umumnya kita ketahui atau kita tonton dalam film ciptaan Marvel Comics. Jika dalam narasi film yang sudah kita pernah tonton, Captain America adalah sosok laki-laki yang ceking tetapi berubah menjadi perkasa karena ke tubuhnya disuntikan serum tertentu, yang memungkinkannya membantu pasukan Sekutu mengalahkan Hitler dan Nazi, di What If …! yang berubah menjadi pahlawan super adalah Peggy Carter, seorang perempuan yang kebetulan hadir pada detik-detik penyuntikan serum yang gagal oleh serangan tiba-tiba dari musuh. Maka demikianlah, Captain America bukanlah sesosok laki-laki tampan itu, tetapi perempuan perkasa. Realitas baru berbeda karena satu detik yang menentukan.

Di episode kedua, What If …! mengajak kita mengikuti cerita tentang bagaimana Ravagers, kelompok bajak luar angkasa yang baik hati itu salah menculik orang. Alih-alih menculik dan lantas mendidik Peter Quill, mereka justru membawa T’Challa dalam petualangan mereka. Jadilah T’Challa ini Star Lord yang berbeda dari yang kita ketahui pada umumnya.

Realitas yang berbeda dari yang biasanya juga muncul di episode ketiga di mana para Avengers yang sedang dikumpulkan untuk dijadikan para pembela bumi oleh Nick Furry justru terbunuh satu demi satu, mulai dari Tony Stark, Thor, Hulk dan Black Widow. Kalau demikian, siapa yang lantas akan menjadi Avengers?

Kemungkinan-kemungkinan identik dengan kebebasan. Tetapi, pada waktu yang sama, juga identik dengan ketidakteraturan dan kekacauan atau chaos. Realitas yang bercabang-cabang terlihat indah bila dilihat dari mata elang The Watcher, tetapi memusingkan dan memualkan bila dijalani oleh kita yang sudah terbiasa dengan satu versi yang mapan.

Merapikan cabang-cabang realitas, mengurung kebebasan dan mewadahinya dengan ajaran yang pakem, hitam-putih, adalah pretensi yang dapat kita lihat juga di dalam serial Loki. TVA sangat ingin menyeragamkan realitas dan cara pandang, sampai-sampai mereka tak segan untuk memangkas atau melakukan pruning terhadap pembelot alur yang sudah ditetapkan.

Dewasa ini, kita pun merasa lebih aman dan nyaman melihat realitas dengan satu cara pandang, satu jalan kemungkinan. Kita merasa mapan dalam ajaran yang kita yakini. Cabang-cabang atau persimpangan yang memungkinkan kita melihat dan bertanya ‘What If …!’ kita  gugurkan, karena itu membuat kita takut dan cemas, cenderung mual. Realitas alternatif tidak memiliki tempat di dunia kita yang ingin kita buat monokrom. Karena kemonokroman itu, meskipun luar biasa membosankan, memberi kita kepastian dan ketenangan. Atau seolah-olah demikian.