Dalang Wayang Krucil Mbah Paiman menceritakan kisah penyebaran agama Islam dalam gebyak bada kupat. (Terakota/ Wulan Eka).
Iklan terakota

Wis wancine tansah dielengke

Wis wancine podo nindakake

Adzan wus kumandang wayahe sembahyang

Netepi wajib dawuhe pangeran

Sholat dadi cagaking agomo

Limang wektu kudu tansah dijogo

Kanti istiqomah lan sing tumakninah

Luwih sampurno yen berjamaah

Terakota.id-Dendang sinden melantunkan Eling Sembahyang menguar bersama alunan gamelan di siang terik mentari. Dusun Wiloso Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang mendadak riuh bebunyian gamelan. Tabuhan gambang, kenong, gong, peking, kendang, saron, bonang, demung, gong suwukan menggema. Suara gamelan ini membahana melalui sound system.

Pelataran rumah Mbah Saniyem menjadi lokasi pementasan wayang krucil. Warga Dusun Wiloso menyebut gebyak untuk menyebut pertunjukan wayang krucil yang rutin digelar saban tahun. Gebyak dihelat sehari setelah bada kupat (Hari Raya Ketupat) atau hari kedelapan bulan Syawal pada Jumat, 21 Mei 2021.

Doa dipanjatkan salah satu perwakilan wiyaga atau penabuh gamelan, sebagai penanda dimulai pertunjukan. Dalang, sinden dan 12 wiyaga lainnya menyimak dengan khusyuk. Selepas doa, sebuah tumpeng dibagikan kepada para penampil. Nasi yang dibentuk sego golong beserta sayur urap-urap atau trancam kulupan, tahu, tempe dan lauk lainnya dinikmati para penampil sambil duduk meriung. Mereka menikmati tumpeng yang digelar di atas daun pisang.

Selepas makan bersama dan mencuci tangan, para penampil kembali ke tempat duduk masing masing. Dalang duduk bersila di bawah kelir, membelakangi wiyaga dan penonton. Seorang sinden duduk bersimpuh di sebelah kanan dalang. Para wiyaga duduk di depan alat musik yang dimainkan. Gambang, kenong, gong, peking, kendang, gong memang telah ditata menempati pelataran rumah sejak awal.

Wiyaga menyantap sajian tumpeng setelah memanjat doa, untuk membuka gebyak wayang krucil Malangan. (Terakota/ Wulan Eka).

Mbah Paiman, sang dalang membawakan lakon persebaran agama Islam di pulau Jawa. Raga yang menunjukkan guratan usianya tak menyurutkan semangat berkesenian dalang sepuh ini. Lincah, kaki dan kedua tanga selaras beraksi di panggung. Hentakan kecrek yang dijejaknya menjadi intruksi bagi para wiyaga agar mulai memainkan tembang tertentu, mengiring kisah dirapal.

Sasi (bulan) Syawal iki pertanda kemenangan umat Islam, hari kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa. Mangkane nalika bada onok sajian (oleh sebab itu ketika lebaran disajikan) lontong, lepat lan kupat,” tutur Mbah Paiman sambil mengisah perjalanan dakwah walisongo.

Mbah Paiman memilih lakon kisah Islam sebab menurutnya wayang krucil salah satu media dakwah agama Islam, sehingga mudah diterima khalayak. Berkat pendekatan kultural, agama Islam diterima masyarakat Jawa yang kala itu masih menganut agama Hindu dan Buddha.

“Lha lek Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Kudus nggawe pakaian jubah koyo Sunan Giri, Sunan Ampel, opo isok nyedeki kawula cilik, wong tani, tukang kayu, bakul areng? Kabeh podho wedi (Misal Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Kudus mengenakan pakaian jubah seperti Sunan Giri dan Sunan Ampel, apakah bisa mendekati orang cilik semacam petani, tukang kayu, penjual arang ? Semuanya takut),kata Mbah Paiman.

Kisah-kisah Islam mulai dari silsilah keluarga Nabi Muhammad, kisah kenabian, walisongo, hingga budaya Jawa yang diadaptasi dalam tradisi Islam abangan tak luput dari penceritaan Mbah Paiman.

Kupat, lepet, lontong iku dudu kebiasaane wong Arab. Iku saking kepengine Sunan Kalijaga bisa ngrangkul wong Jawa (Kupat, lepet, lontong itu bukan kebiasaan orang Arab. Itu menjadi langkah Sunan Kalijaga agar bisa merangkul orang Jawa),” kata Mbah Paiman.

Meski tak begitu mudah dipahami alur cerita yang cenderung melompat-lompat, Mbah Paiman menyampaikan pesan yang mudah ditangkap penonton. Penggunaan bahasa Jawa ngoko, madya, hingga krama khas Malangan agaknya butuh proses memahami setiap kata yang keluar dari bibir Mbah Paiman. Bahasa seperti itu sudah jarang didengar kawula muda dalam kesehariannya, saat ini.

Wayang krucil telah pentas sejak 2001 dan makin aktif selama tujuh tahun terakhir, ditutup dengan pertunjukan tarian sepasang wayang boneka kayu. Warga mengenal adegan ini dengan ngremo. Boneka pria atau golekan lanang dan golekan wadon atau boneka wanita tampil menari Remo. Sepasang boneka ini melambangkan kesuburan, layaknya simbolisasi tokoh Dewi Sri dan Dewa Sedono dalam wayang kulit.

Penonton berbondong-bondong melihat ngremo secara lebih dekat. Mereka percaya munculnya golekan lanang dan golekan wedok mendatangkan berkah bagi yang menontonnya. Konon, kemunculan dua boneka golekan ini dikenal memiliki daya magis, seolah dapat menari sendiri. Apalagi golekan wedok memang menjadi tandak atau tarian dalam pertunjukan wayang.

Keluarga pelestari Wayang Krucil Wiloso, Musyar menjelaskan golekan lanang dan golekean wadon yang ditampilkan sudah bukan boneka asli. Boneka asli disimpan sebagai koleksi pusaka keluarga. Alasan lain yang lebih teknis, badan boneka asli terbuat dari kayu secara keseluruhan, sehingga dalang kesusahan untuk menggerakkannya. Juga takut jika boneka rusak lantaran termakan zaman. Usia boneka diperkirakan sudah ratusan tahun.

“Selain kedua boneka, wayang krucil lain yang turut menjadi koleksi pusaka adalah Mbah Gimbal. Mbah Gimbal menjadi lakon utama, bersama Mbah Tandur. Konon, Mbah Gimbal bisa mendeteksi tamu yang niat berbuat jahat,” ujar Pak Musyar.

Menilik Awal Mula Wayang Dakwah

H.J. De Graaf dalam bukunya Islamic States In Java 1500 – 1700 mencatat Islam pertama kali hadir di Pulau Jawa pada abad ke-15. Putri Cempa atau Putri Champa pada pelafalan orang Jawa merupakan orang Islam pertama yang datang ke pulau Jawa. Putri Campa menikah dengan Brawijaya V, Raja Majapahit yang memeluk agama Buddha.

Putri Campa datang bersama dua ponakannya, yang penganut Islam sekaligus keturunan Arab. Sepupu tertuanya menjadi imam di Gresik. Satunya lagi dikenal dengan sebutan Raden Rahmat, tinggal di Ngampel Denta. Keduanya menjadi generasi tertua Wali Songo yang menebar dakwah Islam pada abad ke-17 di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dewi Evi Anita melalui artikel ilmiahnya Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa Suatu Kajian Pustaka menyebutkan akhir abad ke 15 hingga awal abad ke 16 mempunyai arti penting bagi perkembangan Islam.  “Sistem  politik  Hindu-Budha yang berpusat di Jawa Timur beralih ke sistem sosial politik Islam yang berpusat di pesisir utara Jawa Tengah. Puncak islamisasi terjadi di Jawa oleh para wali,” tulis Dewi Evi Anita.

Dalam melakukan syiar agama Islam, Walisongo memiliki era dan wilayah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim sebagai perintis memulai dakwah di daerah Gresik. Setelah wafat, Sunan Giri melanjutkan dakwah di area ini. Sunan Ampel berdakwah di Surabaya. Sunan Bonang di Tuban. Sementara Sunan Drajat di Sedayu. Wilayah yang berdekatan dengan pesisir pantai menunjukkan bahwa para wali ini berprofesi sebagai pedagang.

Di Jawa Tengah, para wali menangkap realita yang berbeda. Warga lokal kala itu sangat terhubung dengan kesenian daerah. Sunan Kudus, pujangga yang cinta dengan gending Maskumambang dan Mijil mengarang dongeng pondok yang berjiwa Islam. Beliau juga yang menginiasiasi Syahadatain, ucapan dakwah pada pengunjung acara Maulud Nabi Muhammad.

Sunan Kalijaga secara halus memasukkan unsur ajaran Islam dalam kebudayaan orang Jawa. Beliau melihat kecintaan orang Jawa terhadap kesenian wayang. Hikayat-hikayat dan filosofi ajaran Islam diadaptasikan dalam pertunjukan wayang kulit agar menarik minat warga lokal. Sunan Kalijaga memodikasi cerita dan tokoh pewayangan dari yang awalnya kental dengan ajaran Hindu.

“Awalnya terjadi perbedaan pendapat diantara para wali. Golongan Giri, Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Sunan Derajat menganggap tontonan wayang haram hukumnya sebab terdapat gambar-gambarnya berbentuk makhluk hidup. Golongan Tuban, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria menganggap wayang dapat dijadikan media dakwah, jadi tidak perlu dijauhi,” tulis Anang Ari Indriyanto dkk dalam artikelnya, The Function of Wayang Kulit in the Spreading of Islamic Religy in Demak at 16th Century.

Setelah berunding, para wali sepakat untuk menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan syarat mengubah dan menyelaraskan isi cerita dan tokoh wayang agar sesuai dengan ajaran Islam. Sunan Giri menciptakan kreasi wayang yang bergambar kera-kera. Sunan Bonang mencipta wayang ricikan, wayang dengan tokoh binatang hutan dan perampongan (empiyak). Sunan Kalijaga menambahkan kreasi atribut  pertunjukan seperti kelir, debog (batang pisang) untuk menancapkan wayang, blencong dan kotak penyimpanan wayang.

Salah satu wayang yang digunakan sebagai media dakwah adalah wayang krucil. Pengajar jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang Rudi Irawanto dalam karya ilmia Wayang Krucil Panji Identitas Ideologi kultural Masyarakat Jawa Timur mencatat wayang krucil lahir ketika masa kepemimpinan Raja Banjaransari, cucu Mahersa Tandrem (Panji Kud Laweyan) hingga masa Raja Brawijaya dari Majapahit pada abad ke-15. Wayang krucil pernah mengalami kejayaan apada era 1960-an.

Wayang krucil berkembang di Provinsi Jawa Timur di sepanjang aliran sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo. Malang, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Ngawi hingga Bojonegoro. “Daerah agraris yang menumbuhkan dan mengembangkan kesenian wayang krucil yang lekat dengan pengisahan lakon epos Panji,” katanya.