
Terakota.id—Selepas pertunjukan Mbah Paiman mengaku gelisah soal eksistensi wayang krucil saat ini. Wayang krucil merupakan wayang yang digunakan sebagai dakwah agama Islam. Namun, kini saat Islam tersebar luas kesenian tradisi ini mulai ditinggalkan. Tak banyak yang tertarik melestarikan wayang krucil. Bahkan banyak yang tak mengenal wayang krucil Malangan.
“Nyuwun sewu, wayang krucil menika lak wayang dakwah. Wayang dakwah niki boten kathah ingang ngerteni, kadosipun wayang kulit (mohon maaf, wayang krucil ini kan wayang dakwah. Wayang dakwah ini tak banyak yang tahu, tak seperti wayang kulit),” ujar Mbah Paiman.
Mbah Paiman menuturkan perbedaan pakem disebabkan alasan praktis, wayang krucil dulunya dipentaskan berpindah-pindah tempat. Sehingga dalang dituntut untuk menyampaikan kisah syiarnya langsung menghadap penonton, sehingga bentuk kelirnya terdapat lubang kotak di tengahnya.
“Tempat menancapkan wayang terbuat dari kayu, bukan debog atau batang pohon pisang. Kotak e yo cilik, boten koyo wayang kulit (Kotaknya juga kecil, tak seperti wayang kulit). Ahahhaha soal e iko gampang. Pindah mrika, gak gupuh golek dhebog, ngoten lho (Soalnya itu gampang. Pindah kesana kemari tidak panik mencari batang pisang, begitu lho),” ujar Mbah Paiman.
Perbedaan pakem ini menurut dosen Seni dan Desain Universitas Negeri Malang Rudi Irawanto sebagai tindakan mengganggu dan merusak tatanan tradisi. Sesuatu perbedaan yang dalam masyarakat Jawa dianggap tak lazim, melanggar prinsip kerukunan dan kolektivitas. Layaknya dijauhi.
Ia menilai wayang krucil mengalami marginalisasi dalam kancah perwayangan di Jawa Timur. Menurutnya pakem wayang krucil tak mengikuti pakem wayang purwa atau wayang kulit yang lebih dikenal masyarakat. “Pada pergelaran wayang krucil, kelir tidak berfungsi sebagai penutup, tetapi sebagai elemen estetis yang bervariatif warna dan ukurannya,” tulis Rudi Irawanto.
Kelir wayang krucil berbentuk persegi, dengan lubang kotak di tengahnya. Kain penghias berwarna merah muda dan ungu digelar di sekeliling kotak. Dalang dapat memilih duduk di depan atau belakang kelir. Pertunjukan wayang krucil dapat dilihat penonton dari kedua sisi kelir.
Apalagi pertunjukan wayang krucil digelar pada siang hari. Atribut pertunjukan seperti lampu blencong hingga kelir berupa bentangan kain untuk menangkap bayang-bayang wayang tak ditemukan pada pertunjukan wayang krucil. Padahal kelir dalam wayang purwa memiliki filosofi hidup yang khusus bagai masyarakat Jawa.
Lembaran kain yang dibentang dengan bayang-bayang wayang menggambarkan dunia secara mikro kosmos. Artinya kelir dalam perwayangan menggamabarkan jagat dunia itu sendiri. Bayang-bayang wayang menjadi simbol penggambaran manusia dan kehidupannya. Dalang yang berada di balik layar menggambarkan keberadaan dan peran Tuhan.
“Penampilan wayang krucil yang berbeda mendorong sikap yang berbeda bagi sebagian penonton di Jawa. Wayang krucil dinomorduakan di bawah adiluhungnya seni wayang kulit,” tulis Rudi Irwanto dalam artikel ilmiah berjudul Wayang Krucil Panji Identitas Ideologi kultural Masyarakat Jawa Timur.

Dari sisi penampil sendiri, mereka juga sadar betul jika penerus kesenian ini hampir tak ada. Mbah Paiman menyayangkan kondisi ini, wayang krucil menjadi media dakwah agama Islam, namun saat Islam sudah berkembang sepesat sekarang, pewaris keseian wayang krucil justru tak ada.
Dalang pertama di Dusun Wiloso, bernama Karlin. Dilanjutkan putranya bernama Djain. Musyar selaku keluarga pewaris wayang krucil mengaku sama risaunya. Ia mengungkapkan jika keturunan Djain tidak ada lagi yang berminat menjadi dalang.
“Generasi muda penerusnya belum ada, belum tahu nanti kedepannya gimana,” ujar Musyar. Penampil dalam pertunjukan wayang krucil yang berjumlah sekitar 15 orang ini memang kebanyakan sudah sepuh, berusia di atas 50 tahun.
Bukan hanya sisi sumber daya, keterampilan membawakan kisah lakon juga semakin memudar. Musyar mengisahkan dulu ketika dalangnya Mbah Djain masih sering menampilkan lakon Babad Majapahit, Damar Wulan, kisah-kisah Blambangan dan perjuangan lainnya. Sedangkan sejak dalang Mbah Paiman, setiap pertunjukan selalu membawakan kisah syiar agama Islam di Jawa.
Menyelamatkan yang Tersisa
Wayang krucil di Dusun Wiloso, Desa Gondowangi ini menjadi kesenian rakyat yang melekat pada identitas dusun. Pertunjukannya yang dikenal dengan sebutan gebyak. Selain itu wayang krucil juga digelar saat kegiatan di balai desa, bersih desa, atau tanggapan hajatan.
“Senang sekali kita nguri-nguri tinggalan keluarga. Menjadi tali pengikat persaudaraan, keluarga besar Mbah Saniyem jadi berkumpul,” ujar Musyar di tengah acara makan bersama keluarga pasca gebyak Syawal 2021.
Saat ini upaya keluarga Mbah Saniyem telah merawat 75 koleksi wayang yang tersisa. Mbah Gimbal, lakon utama dalam wayang krucul Dusun Wiloso disimpan di buntalan kain mori, dikeramatkan. Pun juga boneka golekan lanang dan golekan wadon yang asli. Wayang krucil lainnya yang berusia lebih dari 120 tahun ini disimpan dalam kotak.
Seperangkat alat musik gamelan sempat hilang kocar-kacir setelah beberapa tahun mandheg gebyak. Lantaran Mbah Saniyem sering menderita sakit, akhirnya anak cucu patungan membeli alat musik secara swadaya. Lantas gebyak kembali digelar.
Dukungan gebyak wayang krucil juga diperoleh dari pemuda setempat bernama Danis Styabudi Nugroho. Danis merupakan Kepala Desa Gondowangi yang menjabat sejak 2016, akrab dipanggil Mas Danis. Mas Danis kepada Terakota.id, menceritakan terpanggil untuk turut melestarikan kesenian rakyat di desanya.

“Awalnya 2008 saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Sastra UM dan aktif di karang taruna. Ada kesenian wayang krucil Wiloso. Bersama Pak Subroto, kami berniat nguri-nguri,” kata Mas Danis memaparkan.
Langkah pertama ia mengumpukan kembali wiyaga sepuh yang kebanyakan bekerja sebagai petani dan buruh pabrik. “Nggak kangen a kembali mentaskan wayang krucil? Berkesenian?,” ujar Mas Danis mengulang pertanyaan yang disampaikan kepada para wiyaga.
Menurutnya para pemain musik gamelan ini menempatkan berkesenian wayang krucil sebagai bagaian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Memainkan gamelan sebagai upaya melaraskan hati dan pikiran. Menariknya, tanpa proses latihan sekalipun, ketika mendengar tabuhan gendang, secara otomatis mereka dapat mengikuti laras tembang. Sejauh ingatan Danis, pertunjukan wayang krucil kembali di-gebyak secara rutin saban tahun mulai 2008.
“Fase 2008 hingga 2017 kami anggap fase mengamankan kesenian, artinya mengumpulkan kembali penampil. Lalu meningkatkan intensitas pertujukan dan eksistensi seni wayang krucil,” ujar Danis.
Gaung wayang krucil Wiloso mulai menguar kembali ke publik sejak mengikuti pameran di acara Malang Tempo Doeloe pada tahun 2009. Pada 2016, wayang krucil ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pecah rekor MURI, mewarnai wayang krucil Malangan terbanyak, dengan 1000 peserta pada 2016 di Universitas Brawijaya.
Juga dilakukan dokumentasi dalam buku yang didistribusikan ke sejumlah PAUD dan TK, serta perpustakaan di SD di Desa Gondowangi. Wayang krucil dikenalkan melalui muatan lokal siswa PAUD dan TK. “Fase pertama, mengamankan kesenian Wayang Krucil telah selesai. Selanjutnya kami berupaya melakukan konservasi wayang krucil,” lanjut Mas Danis.
Upaya konservasi saat ini masih dalam tahap perencanaan. Rencananya akan dibuatkan museum kampung dengan mengambil lokasi di rumah Mbah Saniyem. Lantas koleksi wayang dipajang di etalase-etalase. Danis beranggapan untuk melestarikan dan mengenalkan kesenian wayang krucil ini, kesan angker, wingit, malati dan sakral yang melekat pada wayang harus ditepis pelan-pelan.
Ia mengaku saat ini Desa Gondowangi sedang mengajukan pengadaan mesin CNC untuk mencetak ukiran secara tiga dimensi. “Wayang krucil akan dicetak replikanya sebagai cindera mata yang dijual pada pengunjung. Upaya memberdayakan secara ekonomi terhadap pelestari seni tradisi,” ujar Danis.
