
Terakota.ID—Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu) rawan terdampak bencana hidrometeorologi. Salah satunya hujan ekstrem yang berpotensi terjadi di Malang Raya. Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Karangploso mencatat pada 15 Maret dan 19 Maret 2022 terjadi hujan lebat. Curah hujan lebih dari 100 milimeter yang berlangsung selama dua sampai tiga jam saja.
“Meski singkat, tapi berdampak pada sebagian besar wilayah Kota Malang direndam banjir,” kata Koordinator Bidang Observasi dan Informasi BMKG Stasiun Klimatologi Malang, Ahmad Luthfi dalam webinar bertema Adaptasi Perubahan Iklim, Petaka Tata Ruang dan Bahaya Hidrometeorologi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang dan Google News Initiative menggelar pada Jumat, 20 Mei 2022.
Bencana hidrometeorologi, ujarnya, merupakan bencana alam yang sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Bisa berdampak pada korban jiwa, dan kerusakan harta. Sehingga masyarakat harus mengenali kondisi sekitar untuk meminimalisir dampak bencana. “Masyarakat juga harus dilatih dan melatih diri untuk meminimalisir dampak bencana,” kata Lutfi.
Jika direnungkan, katanya, hujan hanya sebentar tapi dampaknya luar biasa. Sehingga semua pihak harus menindaklanjuti, melakukan adaptasi perubahan iklim. Sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Sementara Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Limbah Air Domestik (PLAD) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang dan Kawasan Permukiman (DPUPRKP) Kota Malang, Arif Darmawan menilai adaptasi perubahan iklim sangat penting dilakukan. Lantaran isu tersebut telah menjadi tantangan global, tanpa mengenal batas administrasi.
“Berdasarkan Indeks Risiko Provinsi Jatim 2015-2021, Kota Malang termasuk kategori merah (tinggi) terkait berbagai bencana, seperti banjir,” katanya. Untuk itu, Pemerintah Koat Malang mengajak semua pihak termasuk masyarakat turut berperan dalam penanggulangan bencana alam akibat perubahan iklim.
Pemkot Malang, katanya, memiliki strategi adaptasi perubahan iklim melalui beberapa program. Seperti berupaya memperluas ruang terbuka hijau (RTH), pengembangan urban farming di semua wilayah, perbaikan sistem drainase hingga rutin menganalisis data dari BMKG sebagai bahan penguatan ketangguhan bencana. “Kami menjadikan masyarakat sebagai subjek dalam penangulangan bencana,” ujarnya.
Pegiat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jatim Lila Puspitaningrum menyoroti perubahan tata ruang yang terjadi di Malang Raya. Di Kota Batu terjadi alih fungsi lahan atau ruang terbuka hijau menjadi tempat wisata dan industri ekstrataktif. Termasuk rencana membangun pembangkit listrik panas di kawasan hutan lindung Arjuno-Welirang.
“Energi panas bumi tidak ramah lingkungan, berpotensi menimbulkan ledakan gas dan rakus air,” katanya. Termasuk tata ruang di Kota Malang yang tak ada orientasi pembangunan berkelanjutan. Melainkan berorientasi keuntungan jangka pendek.
“Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Malang menyebutkan 60 persen diperuntukkan sosial budaya dan 40 persen untuk ekonomi. Tapi fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, kepentingan ekonomi jauh lebih besar,” tutur Lila.
Ketua AJI Malang, Mohammad Zainuddin berharap webinar ini menjadi edukasi bagi semua pihak dalam penanggulangan bencana di Malang Raya. Selama ini perubahan iklim kurang mendapat perhatian dari media massa. Padahal pasyarakat butuh informasi edukatif untuk penanggulangan bencana alam.
“Wartawan jangan hanya memberitakan saat terjadi bencana dan sesudahnya. Wartawan juga harus menyampaikan gejala, potensi dan antisipasi sebelum terjadi bencana,” kata Zainuddin.

Jalan, baca dan makan