Wartawan Tangguh yang Menjadi Motor Surabaya Press Club dan AJI Obituari Zed Abidien

Iklan terakota

Terakota.id–Duka yang beruntun menyergap! Empat hari lalu (13 Juli) Mas Bambang Sudjiartono (Bambang Soed) yang berpulang. Subuh tadi giliran Mas Zed Abidien. Keduanya berkawan baik sebagai sesama awak majalah D&R, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan mingguan ‘Tempo’. Seperti ‘janjian’ saja mereka bertolak dari dunia fana.

Mas Zed Abidien bergiat di Surabaya Press Club (SPC) sebagai koordinator tatkala medianya, ‘Tempo’ (beserta majalah ‘Editor’ dan tabloid ‘Detik’), dibredel rezim Orde Baru pada 7 Juni 1994.

Gigih menentang pemberangusan media massa, Surabaya Press Club kemudian berfusi dengan Forum Wartawan Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Forum Wartawan Independen (FOWI, berbasis di Bandung), dan Solideritas Jurnalis Independen (SJI, berada di Jakarta). Hasilnya adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang kami nyatakan keberadaannya pada 7 Agustus 1994 di Desa Sirnagalih, Kecamatan Megamendung, Bogor.

Rombongan SPC tiba di Sirnagalih pada 6 Agustus 1994 (kalau tak salah petang). Mereka terdiri dari Jalil Hakim, Kelik Nugroho, Moebanoe Moera, Putu Wirata, K. Candra Negara, Mohamad Toha, dan Mohamad Anis. Saat itulah aku dan mereka baku lihat untuk kali pertama. Di mataku sejak itu Mas Zed Abidien sosok yang kalam tapi bersemangat, berintegritas, dan blakblakan [berterus terang] sebagaimana ghalibnya ‘cak Suroboyo’.

Di tahun 1996 aku bergabung dengan majalah ‘D&R’. Di situ aku bersekutu dengan salah satu pendiri AJI Surabaya tersebut sebagai mitra kerja. Ia menjadi koresponden kami di Surabaya. Sebagai orang AJI yang kemudian menjadi kolega, serta-merta hubungan kami menjadi agak istimewa akibat dipertalikan oleh perasaan sebagai sesama orang perlawanan.

Sejak awal (paruh ke-2 tahun 1996) hingga akhir (ditutup pada 2000) di ‘D&R’ diriku diplot di desk politik; tak pernah pindah dari sana. Isu yang paling banyak diusung oleh mingguan ini adalah politik. Sebagai orang yang acap merancang liputan utama-lah aku lebih kerap berinteraksi dengan Mas Zed Abidien, Mas Bambang Soed, dan koresponden lain yang bertebar di sejumlah kota di negeri kita.

Sebagai orang yang lama bekerja di majalah ‘Tempo’, Mas Zed Abidien memiliki lingkup pergaulan yang luas di Jawa Timur. Daya tembusnya pun tinggi. Itu kurasakan betul. Kemampuan menulisnya? Bagus.

Wajarlah bila laporan-laporannya yang kuterima biasanya sudah matang sehingga kerap bisa dilepas sebagai tulisan sendiri setelah penyuntingan ringan [Contoh liputannya, tapi bukan hasil suntinganku, adalah ihwal Kerusuhan di Situbondo, pada 1996. Juga kekerasan oleh orang Pemuda Pancasila (PP).

Kembali ke “Tempo”

Setelah rezim Soeharto tumbang, majalah ‘Tempo’ dibolehkan pemerintah BJ Habibie untuk mengada kembali. ‘D&R’ akan di-‘Tempo’-kan. Tawaran itu disampaikan manajemen dalam sebuah rapat besar yang tak hanya melibatkan orang redaksi. Itu memang pilihan yang paling realistis bagi petinggi kami: Mas Goen (Goenawan Mohamad), ‘Oom’ Fikri (Fikri Djufri), Bang Zul (Zulkifli Lubis), dan Bang Yusril (Yusril Jalinus).

Ternyata sebagian awak majalah yang nyaris dimatikan Jaksa Agung Andi Ghalib karena sampul depannya menjadikan Presiden Soeharto sebagai King-nya kartu joker, menampik rencana itu. Diriku termasuk yang menolak. Alasanku sederhana. Jelek-jelek-jelek, ‘D&R’ juga punya sejarah. Jadi, serupa dengan ‘Tempo’ meski kontras kegemilangannya barangkali seperti bumi dan langit. Jalan terbaik, menurut jalan pikiranku, biarkan keduanya melanjutkan kehidupan masing-masing.

Diskusi ternyata alot dan suara terbelah dua. Referendum yang kemudian terjadi. Hasilnya? Sebagian besar mantan ‘Tempo’ kembali ke perahu lamanya. Orang redaksi yang tetap di ‘D&R’ sedikit saja yakni Mas Bambu (Bambang Bujono), Mas Budiman S. Hartoyo, Happy Sulistyadi, dan Kelik Nugroho. Koresponden banyak yang pindah, termasuk Mas Zed Abidien.

Kami melanjutkan kehidupan ‘D&R’ dengan Mas Bambu sebagai nakhodanya. Dari Jl. Proklamasi kami berpaling ke kantor baru di Jl. Iskandarsyah, Blok M, yang bersebelahan dengan kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

‘Tempo’ yang kemudian berkantor hingga beberapa tahun di Jl. Proklamasi itu. Sejak 6 Oktober 1998 majalah berita mingguan (MBM) terkemuka di Indonesia ini terbit lagi setelah 4 tahun dimatikan penguasa.

Mas Zed Abidien, seperti halnya Mas Bambang Soed, pensiun di ‘Tempo’. Setelah tak menjadi wartawan lagi lama tak kudengar kabar lulusan Akademi Wartawan Surabaya (tahun 1984). Lantas, terbetik kabar beberapa tahun silam bahwa ia sudah bermukim di Mojokerti dan sedang menjalani pemulihan setelah terkena stroke.

Untunglah ada ‘Facebook’. Silaturahmi kami tersambung lagi kemudian berkat aplikasi ini. Ternyata ia cukup rajin memutakhirkan status. Nafsunya untuk berwarta tak kunjung surut oleh peranjakan waktu. Ia aktif mengomentari perkembangan kekinian terutama yang berdimensi politik. Tentu senang diriku melihatnya.

Dari postingannya kuketahui bahwa anak-anaknya telah beranjak dewasa. Mereka ia latih agar menjad insan pemberani yang tak gentar memintas dari arus utama. Ia sendiri selalu optimis dan rajin merayakan kehidupan meski itu keras dan terkadang sampai membuat dirinya meradang-terjengkang.

Tadi subuh Mas Zed Abidien menghembuskan nafas pamungkas. Diriku sangat berduka. Setelah Rachmat H. Cahyono (kawan kami di ‘D&R’), lalu Mas Bambang Soed. Hari ini dia.

Selamat jalan wartawan-pejuang tangguh! Beristirahatlah dalam damai.

*Obituari ini telah diunggah di laman Facebook Hasudungan Sirait