Terakota.id – Belasan pigura berderet di dinding tangga lobi utama Balai Kota Malang. Terbingkai gambar berwajah eropa maupun melayu. Berurutan, berjejer sosok Wali Kota Malang pertama hingga pemimpin saat ini. Dilengkapi periode jabatan masing-masing Wali Kota.
Ada tiga wajah eropa yang dipajang secara berurutan. Mulai Wali Kota Malang pertama hingga ketiga. Antara lain, H.I Buseemaker (1919 – 1929), Ir Vorneman (1929-1933) dan Ir Lakeman (1933-1936). Ketiganya memimpin Kota Malang usai pemerintah Belanda menetapkan Malang sebagai gemeente atau kotamadya pada 1 April 1914.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang, Agung Buana menuturkan latar belakang ketiga wali kota itu adalah seorang insinyur. Kelebihan utama mereka memiliki konsep perencanaan tata kota.
“Mereka punya visi yang jauh ke depan, bahwa Malang hingga seratus tahun ke depan adalah kota yang nyaman ditinggali,” kata Agung.
H.I Buseemaker sang Wali Kota Malang pertama adalah penggagas bouwplan atau perencanaan tata kota. Ia membagi konsep pengembangan tata ruang kota itu menjadi delapan tahapan. Sebuah kota yang dikembangkan sebagai tempat peristirahatan orang – orang Belanda dan kaum ningrat Jawa.
Seorang ahli tata kota terbaik Hindia Belanda yakni Ir Herman Karsten dilibatkan untuk merancang tata kota itu. Karsten meletakkan kaidah berkenaan dengan pengembangan bangunan berciri tropis. Sebuah perencanaan kota yang santun terhadap budaya lokal. Bouwplan I sampai bouwplan VIII direalisasikan tahap demi tahap.
Sisa – sisa perencanaan tata kota ini masih bisa dijumpai sampai hari ini. Misalnya, kawasan Ijen Boulevard yang dirancang sebagai tempat peristirahatan, koridor Kayutangan jadi salah satu sentra perdagangan.
Pusat pemerintahan di dekat Alun – alun Bunder atau Alun – alun Tugu hingga pemakaman khsusus Belanda di Sukun yang kini lebih dikenal sebagai pemakaman Kristen. Pendek kata, konsep yang dicanangkan saat itu menjadikan Kota Malang sebagai ‘Kota Taman’.
“Konsep perencanaan kota itu disusun oleh H.I Buseemeker dan dilanjutkan para penerusnya sebelum era kemerdekaan,” ujar Agung.
Sayangnya, perencanaan kota dengan visi hingga ratusan tahun ke depan itu perlahan memudar. Dinamika pembangunan di Kota Malang paska kemerdekaan jauh lebih pesat, sehingga kondisinya seperti saat ini.
Sisa – sisa bangunan berarsitektur art deco atau eropa klasik semakin berkurang. Tata ruang kota pun kerap berganti tiap pergantian pemimpin. “Ternyata dinamika di Malang jauh lebih cepat, sehingga kondisinya ya seperti saat ini,” ujar Agung Buana.
Redaktur Pelaksana
Kalau walikota sekarang mewarisi apa?
mewarisi cara sholawatan dan wiridan