Iklan terakota
Kerusuhan Mei 98 (www.bbc.com/indonesia)

Nasib Tionghoa di Era Orde Lama

Proklamasi kemerdekaan Indoneisia bukan berarti menghentikan kebencian rasial terhadap etnis Tionghoa. Sentimen itu terus mengemuka. Ricard Robinson dalam bukunya Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia menyebut ada Program Banteng yang dilaksanakan September 1950 – 1955 untuk mendukung pengusaha pribumi. Warga Tionghoa meski lahir dan beranak pinak di Indonesia tak masuk dalam program itu. Mereka tetap diperlakukan sebagai orang asing.

Sedangkan, Sumit Kumar Mandal dalam buku Pram dan Cina, menyebut politik anti-Tionghoa pasca kemerdekaan berlangsung sejak 1956. Angkatan Darat memburu warga keturunan Tionghoa pada 1959-1960. Soal pembatasan perdagangan, pada 16 November 1959 muncul PP 10/1959. Tujuannya, mengakhiri bentuk perdagangan eceran di daerah pedalaman yang dikendalikan warga Tionghoa.

Tidak kurang 100 ribu warga Tionghoa meninggalkan Indonesia pada kurun 1960-1961 pasca ditetapkannya PP-10/1959. Kolonel Kosasih, Panglima Kodam Siliwangi Jawa Barat melarang pemukiman warga Tionghoa di pedesaan.

“Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang dibangun tergesa-gesa. Tidak jarang, perlawanan yang timbul dihadapi dengan perlakuan keras,” tulis Sumit Kumar Mandal.

Duka Tionghoa di Masa Orde Baru

Orde Baru menancapkan kekuasannya lewat tragedi 1965. Dalam peristiwa itu, Republik Rakyat Cina (RRC) dituduh sebagai sponsor utama tragedy berdarah itu. Etnis Tionghoa kembali jadi korban.  Sejak 1965-1967, puluhan ribu warga Tionghoa dibantai dalam Gerakan Anti Tionghoa di Makasar 1965, kerusuhan massal di Medan 1966, dan peristiwa Mangkuk Merah di Kalimantan Barat 1967.

Selama Orde Baru pula segala yang berbau Tionghoa dibatasi. Presiden Soeharto menerbitkan Inpres nomor 14 tahun 1967 yang melarang segala atribut Tionghoa ditampilkan di muka umum. Mereka juga dilarang memakai bahasa dan menyandang nama Tionghoa. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, warga Tionghoa mengalami kebijakan yang diskriminatif.

Celakanya, di penghujung kekuasaan Orde Baru terjadi kerusuhan rasial dengan lagi-lagi warga Tionghoa sebagai korbannya. Peristiwa Mei 1998, menjadikan warga Tionghoa sebagai sasaran amuk warga. Kekerasan, pembakaran, pemerkosaan, dan penjarahan menimpa warga Tionghoa.

“Peristiwa Mei 1998 membuktikan kebijakan Orde Baru itu gagal,” jelas I. Wibowo dalam tulisannya Apakah Kerusuhan Anti-Tionghoa Akan Meledak Lagi?.

Sumanto al-Qurtuby dalam tulisannya Sentimen Anti-Cina di Indonesia, mengatakan setidaknya ada sekitar 21 peraturan perundang yang rasis-diskriminatif diterapkan oleh Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. Bahkan dulu dibentuk Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC), sebuah badan intelijen khusus yang bertugas untuk mengawasi “masalah Cina”.

Harapan berhentinya kebencian rasial terhadap etnis Tionghoa muncul usai runtuhnya rezim Orde Baru. Presiden BJ Habibie menerbitkan Inpres No. 26 Tahun 1998 yang menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat menjabat presiden juga mencabut Inpres 14/1967 produk Orde Baru dan mengganti dengan Keputusan Presiden No. 6/2000. Mengizinkan warga Tionghoa merayakan Imlek dan menjamin mereka menjalanankan keyakinannnya.

Masa lalu telah berlalu. Sejarah panjang sentimen rasial di negara ini patut menjadi pelajaran.