Geger Pecinan (dw.com)
Iklan terakota

Gelombang imigrasi warga etnis Tionghoa ke berbagai penjuru dunia terjadi sejak ratusan tahun silam, termasuk ke Hindia Belanda. Di Batavia, warga pendatang ini disambut baik penduduk setempat. Hubungan harmonis antara warga Tionghoa dengan warga lokal itu membuat pemerintah kolonial Belanda khawatir.

Takut kekuasaan Belanda tergerus oleh etnis Tionghoa yang bisa bersatu dengan masyarakat.  Belanda pun bersiasat. Strategi politik pecah belah diterapkan. Rakyat diprovokasi agar membenci etnis Tionghoa. Dalam bukunya, Hoakiau di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer mencatat terjadi sejumlah konflik rasial dengan etnis Tionghoa sebagai korbannya.

Pada Tahun 1740, di bawah Gubernur Jenderal Valckenier, Belanda menangkapi warga Tionghoa. Selanjutnya, terjadi pembantaian dalam skala besar. Diperkirakan ada 10 ribu warga Tionghoa baik itu lelaki, perempuan, tua, muda sampai bayi di Batavia dihabisi oleh Belanda. Peristiwa berdarah itu juga dikenal dengan Geger Pecinan.

Peristiwa berdarah tak berhenti sampai di situ. Belanda menunjuk sebuah tempat tinggal bagi etnis Tionghoa di seberang barat kali Citarum. Lokasi pemukiman ini berada pada jarak tembak meriam mereka. Pram juga mencatat, pada tahun 1764 di bawah Gubernur Jenderal van der Parra melarang etnis ini tinggal dan berdagang di daerah Periangan.

Pemerintah Hindia-Belanda waktu itu juga menjadikan orang-orang Tionghoa sebagai pachter candu, mengelola perjudian, dan pelacuran. Mereka juga dimanfaatkan oleh Sultan Jawa dan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemungut pajak. Hal ini menimbulkan ekses negatif berupa kebencian ke rakyat.

Akibatnya, saat terjadi Perang Jawa, warga Tionghoa kembali menjadi korban. Pada 23 September 1825, Raden Ayu Yudakusuma, putri Sultan Hamengkubuwono I, menyerbu dan membantai warga Tionghoa yang bermukim di Ngawi, Jawa Timur. Benny G Setiono, dalam bukunya Tionghoa dalam Pusaran Politik menyebut pembantaian di Ngawi bukanlah satu-satunya.

“Di seluruh Jawa Tengah dan di sepanjang Bengawan Solo, pembantaian terhadap warga Tionghoa terjadi berulang kali,” tulis Benny.

Memisahkan pribumi dengan warga Tionghoa jadi agenda politik kolonial. Belanda takut terjadi persatuan dan solidaritas antar kedua etnis itu. Pada 1835, Belanda menjalankan wijkenstelsel di mana warga Tionghoa dikumpulkan di suatu tempat atau ghetto-ghetto.

“Jelasnya politik kependudukan ini merupakan usaha untuk memecah-belah dan membeda-bedakan, terutama sekali karena pada waktu itu Indonesia belum lagi mengenal nasionalisme,” jelas Pram (1998:133).

Politik pecah belah semakin kentara saat pemerintah kolonial Hindia Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Melalui UU Agraria itu pula, ada pemisahan dari segi pekerjaan. Warga Tionghoa tidak diperkenankan menjadi petani, sedangkan warga pribumi jadi korban kerja paksa. Pendek kata, sentimen rasial telah dibangun sejak era kolonial.

Sekat pemisah antara pribumi dan warga Tionghoa terus menjulang dengan diberlakukannya politik kependudukan oleh kolonial.  Warga Tionghoa merasa selalu dalam ancaman dari luar ghettonya. Sebuah situasi yang sengaja diciptakan kolonial.

Pembatasan terhadap warga Tionghoa dilonggarkan antara tahun 1904-1911. Tapi dampaknya masih terus terasa, ibarat api dalam sekam yang bisa tiap saat membara. Kongres Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1906 menyepakati peralihan nama organisasi menjadi Sarekat Islam (SI). Organisasi ini kemudian resmi berbadan hukum pada 1912.

Saat itu sudah tersedia basis untuk boikot terhadap para pedagang Tionghoa. Menolak dominasi ekonomi warga Tionghoa dengan situasi yang sebelumnya sudah dibentuk sedemikian rupa lewat politik kependudukan Belanda. Kekerasan terhadap warga Tionghoa pun segera menjalar di seluruh Jawa Tengah (Castles 1967:63).