Warisan Demokrasi Habibie, Sekali Lagi

warisan-demokrasi-habibie-sekali-lagi
Habibie Muda (Foto : Notepam).
Iklan terakota

Terakota.id–Sudah beberapa hari lalu mantan Presiden B.J. Habibie wafat. Kolom ini sekadar menggarisbawahi kembali: Dari sudut mana Habibie selayaknya dipandang? Habibie tak saja ilmuwan dan teknokrat yang moncer, tetapi juga tokoh politik penting semasa akhir Orde Baru dan awal masa transisi pasca mundurnya Soeharto, 1998.

Pada mulanya, khalayak melihat Habibie, sebagaimana posisi kementeriannya yang mapan semasa Orde Baru, Menteri Negara Riset dan Teknologi (29 Maret 1978 – 11 Maret 1998), sebagai ikon orang jenius Indonesia. Firgiawan Listanto alias Iwan Fals misalnya , pada 1981 menembangkan lagu ” Umar Bakri “, nestapa guru yang telah berjasa “bikin otak seperti otak Habibie”. Frasa “otak Habibie” ialah pengakuan kolektif yang dinarasikan Iwan Fals.

Dalam ragam biografi tentang Habibie, lazim disebut, kepintaran nya telah diketahui Soeharto, sebelum mendapat kepercayaan sebagai anggota kabinet. Di bidangnya , teknologi tinggi , Habibie bintang yang nyaris tiada saingan. Dalam proses pembangunan Orde Baru, yang semakin diwarnai obsesi penguasaan teknologi tinggi (high tech), posisi Habibie semakin tak tergoyahkan .

Eksperimen industri pesawat terbang yang dijalankan nya semasa Orde Baru menuai keberhasilan, diawali hadirnya pesawat CN 235, Tetuko. Kendati terhenti menyusul krisis moneter pada 1997, ketika Indonesia harus mentaati ketentuan Dana Moneter Internasional (IMF) , obsesinya menghadirkan industri pesawat terbang,tidak pernah sirna.

Simbol yang kuat melekat padanya sebagai “Bapak teknologi”, membuatnya nyaris secara alamiah mendongkrak daya tawar politiknya. Habibie sebagai ikonik “manusia high tech” , sangat strategis posisinya, seiring keyakinan adanya nilai tambah yang besar terhadap produk teknologi tinggi . Proyek pesawat terbang Habibie melonjak populer, kendati tak luput kritik. Habibie memang berada di lingkungan kebijakan politik Orde Baru ketika itu.

Sulfikar Amir dalam The Technological State in Indonesia: The Co-constitution of High Technology and Authoritarian Politics (Routledge, 2012) mengulas secara kritis, di mana Habibie pun sangat menikmati posisinya sebagai teknokrat berpengaruh, justru ketika dia memiliki hubungan yang unik dengan Soeharto. Dipilihnya Habibie sebagai wakil presiden pada Sidang Umum MPR 1998, tentu tak lepas dari faktor Soeharto.

Namun, Habibie berubah menjadi faktor politik lebih penting , ketika dia memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1991. Melalui kepemimpinannya dalam organisasi yang berdiri di universitas Brawijaya Malang itu, Habibie lantas menjadi menjadi simbol penting penengah konflik panjang Islam dan negara Orde Baru.

Di satu sisi, kelompok Islam merasa lega dengan hadirnya ICMI. Di bawah kritik sektarian, misalnya oleh para aktivis Forum Demokrasi yang digerakkan Abdurrahman Wahid dan yang lain, ICMI merangkul para tokoh Islam dari ragam spektrum, termasuk terutama mereka yang merasa terpinggirkan.

Dalam potret yang lebih luas, para analis mencatat perubahan bandul politik Soeharto ke arah kanan, merangkul kelompok Islam. Apalagi, ketika itu Soeharto untuk pertama kalinya melakukan ibadah haji. Karenanya, dalam konteks Habibie sebagai ketua umum ICMI, segera dibaca sebagai bagian integral membaiknya hubungan Islam dan negara Orde Baru.

BJ Habibie. (Foto : Notepam)

ICMI tak terelakkan memperoleh dukungan negara. Tetapi, organisasi ini berperan penting dalam proses demokratisasi. Kalangan cendekiawan kritis ICMI terus mendorong jalan demokratisasi. Daya kritis mereka tak justru berkurang. M Amien Rais yang juga aktif di ICMI misalnya, sangat kritis mendesak suksesi kepemimpinan nasional. Kajian-kajian demokratisasi juga mudah ditemukan dalam ragam produk Center for Information and Development Studies (CIDES), think thank ICMI.

Pertautan aspirasi demokrasi dengan karakter demokrat Habibie sangat menarik . Sejarah telah membuktikan signifikansinya . Semasa awal berjalannya ICMI, Habibie mencairkan hubungan Soeharto dan A.H. Nasution. Hal ini tak dapat dipandang sepele. Untuk ukuran waktu itu, rekonsiliasi Soeharto-Nasution penanda penting perubahan arus sejarah dan, dalam batas tertentu, sinyal demokratisasi.

Karena panjang menempuh pendidikan di Barat, Jerman, Habibie terkesan sangat pas membawakan kultur egaliter. Ini berbeda dengan karakter Soeharto yang sangat dipengaruhi kultur feodal Jawanya. Tapi, Habibie tidak dapat dikatakan tipe pemimpin yang tidak loyal . Semasa menjadi bawahan Soeharto , Habibie sangat loyal. Tetapi, ketika sejarah memposisikan nya sebagai presiden, kebijakan dan tindakannya yang berbeda dengan cara Orde Baru, mengesankan bahwa Habibie seolah “mengkhianati” Soeharto .

Perubahan politik 1998 terjadi di luar perkiraan. Habibie pun tak menduga akan adanya perubahan semendadak itu. Pasca pelantikannya sebagai presiden setelah Soeharto mundur, 21 Mei 1998, Habibie berubah sebagai sosok yang harus menjadi “the real politician” yang negarawan . Ketika situasi kepolitikan bangsa carut-marut dan ketidakpercayaan terhadap Orde Baru masih sangat kuat , tidak mudah bagi habibie memimpin pemerintahan . Pro-kontra terhadap eksistensinya sebagai presiden terus terjadi, di tengah situasi kepolitikan yang sedang berubah .

Yang membuat Habibie dicatat sebagai demokrat yang baik, karena dia mampu merespons perubahan . Semasa transisi pasca-Orde Baru ragam kebijakan politiknya selaras tuntutan reformasi . Reformasi politik didorong melalui percepat an pemilu, dari 2002 menjadi 1999. Habibie mampu efektif bekerjasama dengan DPR, yang mayoritas kursinya ialah Fraksi Karya Pembangunan (F-KP atau Golkar) dan Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (F-BRI), merevisi ragam perundang-undangan bidang politik. Akibatnya, ada kebebasan bagi rakyat menghadirkan partai-partai politik baru.

Pemerintahan nya juga membebaskan para tahanan politik , mencabut larangan berdirinya serikat buruh baru, serta mencabut ketentuan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang lazim dipakai sebagai alat penguasa membreidel media massa. Di MPR, tuntutan reformasi direspons melalui berbagai ketetapan atau produk hukum yang relevan. Yang tak kalah penting, pemerintahan Habibie mendorong kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah secara luas.

Namun, tercatat pula ” blunder ” bagi Habibie, ketika pemerintah menyetujui dilakukannya referendum provinsi Timor Timur (Timor Leste). Hasil nya Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 30 Agustus 1999. Peristiwa tersebut membuatnya kurang popular, sehingga pada Sidang Umum MPR 1999, Habibie memutuskan tidak mencalonkan diri sebagai presiden, setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak. Karir politiknya, secara riil berhenti hingga di sini, kendati Habibie tetap merupakan tokoh yang dipentingkan di Partai Golkar.

Dikenang semasa pemerintahannya yang singkat, setahun lebih lima bulan (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Habibie merupakan sosok yang diterima semua kalangan, dihormati sebagai tokoh bangsa yang ikonik. Petuah-petuahnya selalu dirindukan. Keunikan Habibie, tak ada penggantinya. Warisannnya yang sangat penting, dalam demokrasi Indonesia, ialah karakter egaliternya. Demokrasi tak akan jalan, manakala tak ada sikap semacam itu.**