
Terakota.id–Seiring dengan bertambahnya usia, ditambah keharusan bekerja dari rumah karena pageblug yang masih melanda, saya tidak memiliki jam tidur yang pasti. Sekarang saya sering mengalami siang serasa malam, dan malam serasa pagi. Kapan harus tidur dan kapan harus melakukan pelbagai kegiatan tidak berdasarkan jadwal yang ketat. Bunyi kokok ayam jam berapa pun saya pernah mendengarnya. Seperti waktu itu, saya mendengar sayup-sayup ayam jantan berkokok, sekali pun waktu subuh masih cukup lama menjelang.
Waktu kecil dulu, ketika ada ayam berkokok sebelum waktunya, kata orang-orang tua, itu pertanda ada janda atau gadis yang hamil tanpa suami. Biasanya, segenap warga desa langsung resah dan prihatin, seraya bertanya dan mencoba menebak-nebak: Siapakah perempuan malang itu? Bunyi-bunyi binatang pada waktu yang tidak tepat seringkali ditafsirkan sebagai penanda sebuah peristiwa tertentu.
Ketika Gubernur Sulawesi Selatan dijemput oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu dini hari yang lalu pasti tidak ada hubungannya dengan kokok ayam yang saya dengar, sekali pun mungkin waktunya bersamaan dengan jam begadang saya. Dua hari kemudian ia ditetapkan sebagai tersangka. Tak berapa lama setelah itu sejumlah media masa memuat kronologi penangkapan Sang Gubernur. Peristiwa bermula dari hari Jumat malam, ketika beberapa oknum mengatur dan melakukan transaksi suap-menyuap yang melibatkan Sang Gubernur.
Justru di Jumat malam peristiwa itu terjadi, setelah siangnya umat Islam mendengarkan khotib dalam khotbah Jumat-nya yang selalu mengingatkan untuk berbuat kebajikan, Konon, Sang Gubernur adalah orang baik dan tergolong kepala daerah yang berprestasi. Selama menjadi pejabat, sejumlah penghargaan bergengsi pernah diraihnya, termasuk Bung Hatta Anti-Corruption Award. Maka, tak heran, sejumlah pihak yang mendengar peristiwa tersebut seperti disambar petir di siang bolong.
Sebagaimana dikutip Kompas (28 Februari 2021), Bambang Wuryanto, Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merasa terkejut atas penangkapan itu. Sepengetahuan Bambang, Gubernur Sulawesi Selatan adalah gubernur yang baik dan santun, salatnya lima waktu, juga sering memberi ceramah.
Pernyataan Bambang memang sangat beralasan, karena selama ini kepala daerah yang terpilih adalah orang-orang yang di mata masyarakat adalah sosok yang menjadi panutan, setidaknya ditunjukkan dalam perilaku ritualnya.
44 tahun yang lalu Mochtar Lubis mengingatkan tentang kemunafikan, feodalisme, dan budaya ABS (asal bapak senang) yang melanda bangsa ini. Salah satu sifat orang Indonesia, menurut Mochtar Lubis dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, 6 April 1977 yang berjudul Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban) [MI], adalah munafik atau hipokritis. Mochtar Lubis memberi contoh perilaku tersebut dalam ilustrasi yang ditulis dalam paragraf berikut:
Dalam lingkungannya dia pura-pura alim, akan tetapi begitu turun di Singapura atau Hongkong, atau Paris, New York dan Amsterdam, lantas loncat ke taksi cari nightclub, dan pesan perempuan pada pelayan atau portir hotel. Dia ikut maki-maki korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor (MI, hlm. 19).
Pidato Mochtar Lubis membuat geram banyak orang, utamanya adalah penguasa. Reaksi pro dan kontra datang dari pelbagai pihak. Ketika pidato Mochtar Lubis tersebut diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, Jacob Oetama memberi kata pengantarnya. Jacob bercerita tentang Margono Djojohadikusumo (kakek Menhan, Prabowo Subianto) yang datang ke redaksi Kompas di Palmerah Selatan Jakarta. Margono memrotes ceramah Mochtar Lubis tentang Manusia Indonesia. Margono juga menulis tanggapan terhadap isi pidato itu.
Di samping hipokritis atau munafik, ciri manusia Indonesia, kata Mochtar Lubis, adalah enggan bertanggung jawab, memiliki jiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan berwatak lemah. Tabiat buruk manusia Indonesia, kata Wildan Yatim dalam tanggapannya terhadap pidato Mochtar Lubis, hanyalah bersifat sementara. Sifat dasar setiap manusia, menurut Wildan, sesungguhnya ingin hidup baik di tengah masyarakat yang makin maju.
Mochtar Lubis memertanyakan berapa di antara sekian banyak umat beragama di Indonesia yang sungguh-sungguh menghayati ajaran-ajaran agama masing-masing, dan membuat ajaran-ajaran agama tersebut sungguh-sungguh jadi pedoman hidup, dasar tingkah laku dan budi pekerti mereka setiap hari. Bukan tiap minggu pergi ke gereja, melakukan konfesional, atau rajin ke mesjid dan berpuasa saja, kata Mochtar Lubis, tetapi juga dalam tingkah laku setiap hari dapat mencerminkan nilai dan ajaran-ajaran mereka.
Bila masih hidup, Minggu esok lusa Mochtar Lubis genap berusia 99 tahun. Mochtar Lubis lahir di Padang, 7 Maret 1922. Nama Mochtar Lubis tidak hanya dikenal luas oleh publik sastra, namun ia adalah nama yang sangat melekat di kalangan jurnalis. Karya-karya Mochtar Lubis diterjemahkan dalam pelbagai bahasa. Di samping sebagai salah satu pendiri majalah sastra Horison, Mochtar Lubis juga pernah menjadi direktur Yayasan Obor Indonesia, di mana buku-bukunya, baik catatan jurnalistik dan karya sastranya diterbitkan kembali.
Sebagai seorang jurnalis, Mochtar Lubis adalah contoh pribadi yang memegang teguh prinsip. Sebagaimana ditulis oleh Edward C. Smith dalam A History of Newspapaer Suppression in Indonesia bahwa pemerintah pada akhir 1960 mengharuskan para wartawan menandatangani “dokumen kesetiaan” 19 pasal. Keputusan ini memberikan pilihan kepada wartawan: ikut mendandatangani atau menghentikan penerbitan sama sekali. Mochtar Lubis dari Indonesia Raya menolak menandatangani pernyataan tersebut.
Mochtar Lubis yang pernah dimasukkan penjara tanpa diadili di dua era, Orde Lama dan Orde Baru, tidak pernah luntur memegang prinsip. Penjara tidak membuatnya lemah dalam melancarkan kritik kepada penguasa yang lalim. Kelaliman harus dilawan. Cara melawannya bagi Mochtar Lubis adalah dengan tulisan, baik fiksi maupun non fiksi.
Mochtar Lubis meninggal di Jakarta pada 2 Juli 2004 dalam usia 82 tahun. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Mochtar Lubis tak hanya meninggalkan nama, namun ia sekaligus meninggalkan harimau-harimau. Harimau-harimau (HH) adalah salah satu judul novel yang ditulisnya. Novel-novel lainnya, yang turut melambungkan namanya di dunia sastra antara lain adalah Tidak Ada Esok, Senja di Jakarta, dan Maut dan Cinta.
Harimau-harimau diterbitkan kali pertama pada tahun 1975 oleh Pustaka Jaya, kemudian diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia sejak tahun 1992. Novel ini bercerita tentang manusia Indonesia yang di samping sangat feodal juga sangat memercayai takhayul. Yang lebih utama lagi bagi Mochtar Lubis dalam novel ini adalah penting bagi tiap orang untuk berani melawan segala macam kelaliman: Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang yang memencilkan diri, dan pura-pura menutup mata terhadap kezaliman yang menimpa orang lain (HH, hlm. 211).
Mochtar Lubis mengisahkan tentang tujuh pendamar yang dipimpin oleh Wak Katok. Wak Katok dihormati sebagai pemimpin karena ia dianggap memiliki kesaktian, pandai bersilat, bisa membuat jimat dan memiliki mantra-mantra yang ampuh sebagai bekal keselamatan ketika mereka masuk hutan. Pak Haji dihormati juga karena ia sudah naik haji.
Di zaman modern, saat teknologi informasi sudah sangat maju, ketika orang dapat mengirim suara dan gambar tidak lagi melalui kabel, namun masih banyak orang yang percaya pada takhayul, pada jimat-jimat, mantra-mantra dukun yang dianggap sakti. Menjelang pemilu, sejumlah orang sakti kebanjiran pasien para calon legislatif maupun kepala daerah. Takhayul tidak hanya akrab dalam kehidupan masyarakat primitif, namun juga golongan masyarakat yang telah mengenyam pendidikan tinggi.
Sebuah keputusan penting, bahkan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang irasional. Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Lubis, entah sekadar kelakar atau serius: Siapa tahu dahulu saya ditahan begitu lama di zaman pemerintah Soekarno, karena Soekarno atau dukunnya pada suatu malam mendapat mimpi, dia mendaki gunung yang amat tinggi, sampai tergelincir jatuh. Lalu esok paginya melapor pada Soekarno, awas hati-hati terhadap seorang jangkung! (MI, hlm. 9). Orang jangkung yang dimaksud adalah Mochtar Lubis. Ia memiliki tinggi badan 182 sentimeter.
Di zaman modern pula, takhayul tidak hanya dalam bentuk jimat dan mantra, tetapi adalah slogan-slogan kosong yang dibuat oleh penguasa untuk meninakbobokkan rakyatnya. Slogan-slogan itu terdengar indah, penuh harapan, sehingga jutaan orang terbius karenanya. Namun slogan-slogan itu sepi dari kenyataan. Berapa banyak orang yang dalam pidatonya menyatakan betapa pentingnya Pancasila, namun dalam praktiknya justru ia adalah pelanggar berat terhadap nilai-nilai luhur Pancasila.
Seperti halnya Wak Katok, Wak Hitam pun dalam Harimau-harimau juga dicitrakan sebagai sebagai sosok yang mewakili pemimpin dengan berjuta pesona palsu di masyarakat. Wak Hitam adalah guru dari Wak Katok. Wak Hitam memiliki sejumlah istri. Dia selalu menambah istri, yang dalam keyakinannya untuk memperpanjang usianya. Tiap gadis yang dipinang tidak akan berani menolaknya, karena Wak Hitam dipercaya memiliki kesaktian yang tak tertandingi, dan membahayakan bagi orang yang berusaha melawannya.
Istrinya yang paling muda, Siti Rubiyah, menemani dia di huma yang terletak di tengah hutan, di mana para pendamar sering menginap di sana. Para pendamar itu rata-rata menaruh hati terhadap Siti Rubiyah. Setidaknya, Wak Katok dan Buyung pernah tidur dengan Siti Rubiyah.
Fenomena Wak Katok tidak hanya sekadar imaji yang dituangkan dalam bentuk novel oleh Mochtar Lubis, namun dalam realitasnya selalu hadir dalam kehidupan kita. Di tiap zaman, tiap rezim, akan lahir Wak Katok-Wak Katok baru dalam wujud baru, hasil metamorfosis yang lebih canggih. Di balik citra karismatik semu yang dibangunnya, Wak Katok menyimpan kejahatan demi kemuliaan, kekuasaan dan kemegahan diri sendiri. Dia pandai membangun citra-citra untuk menambah kewibawaan, dan menebar ketakutan terhadap segenap penduduk desa.
Ketika Wak Katok tidak dapat membuktikan dia bisa membunuh harimau yang mengancam nyawa ketujuh pendamar itu, maka terkuaklah kedoknya bahwa jimat-jimat dan mantra-mantra serta citra kesaktian yang dimilikinya ternyata adalah palsu. Keserakahan dan kepalsuannya membawa banyak petaka, tidak hanya petaka bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri, sebab kata Moctar Lubis: Kemanusiaan hanya dapat dibina dengan mencinta, dan bukan dengan membenci. Orang yang membenci tidak saja merusak manusia lain, tetapi pertama sekali merusak manusia dirinya sendiri (HH, hlm. 199).
Dalam kehidupan nyata, berapa orang yang telah terbunuh, baik terbunuh secara fisik, maupun terbunuh karakternya dikarenakan penguasa yang lalim. Banyak orang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di sekelilingnya adalah ancaman buatnya. Namun mereka lupa musuh terbesarnya adalah nafsunya sendiri: Sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri (HH, hlm. 199).
Buat Bung Mochtar Lubis: Engkau telah menemukan kedamaian yang abadi. Kami akan selalu membunuh “harimau-harimau” dalam hati kami.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)