Iklan terakota

Terakota.id – Saat melihat siaran di televisi, saya agak kaget karena jalanan umum mulai ramai. Bahkan di Jakarta Timur cenderung macet. Informasi itu juga saya dapatkan saat saya membuka media sosial atau membaca berita-berita online. Jalanan tidak sepi.

Saat saya mengantar istri belanja sayur di Malang pun, jalanan juga mulai ramai. Setidaknya jalanan merambat karena jumlah pengendara motor mulai memadati jalanan. Saya tengok ke kanan dan kiri ternyata toko-toko di sekitar yang saya lalui juga sudah mulai buka.

Saya mulai berpikir. Apakah masyarakat ini tidak takut dengan virus covid-19? Apakah mereka sudah merasa punya ilmu kebal? Bahkan masjid di kampung tempat saya tinggal, tetap melaksanakan sholat Jumat. Padahal informasi dan himbauan sudah jelas, dihimbau untuk tidak sholat Jumat. Jika pun terpaksa dilakukan harus melakukan protokol dan prosedur kesehatan yang standar (masjid menyediakan hand sanitizer atau sabun untuk cuci tangan serta tetap menjaga jarak). Sementara saat sholat berlangsung, tidak ada jarak sesuai prosedur pencegahan penularan virus covid-19.

Saya lalu berpikir. Apakah mereka tidak takut tertular virus? Ini bukan soal percaya dan tidak percaya pada takdir. Juga bukan soal percaya dan tidak percaya pada “kehendak” Tuhan. Manusia bisanya hanya berusaha. Sebab yang dilawan itu tidak kelihatan.  Itu juga bukan larangan propaganda untuk melarang jamaah ke masjid atau rumah ibadah lain. Tapi itulah kenyataan yang terjadi.

Beberapa waktu lalu ada puluhan jamaah tabligh di masjid Jakarta positif virus covid-19. Jamaah masjid di Banyumas juga mengalami hal serupa. Jadi penularan virus itu sedemikian cepat dan tanpa pandang bulu. Sesuatu yang tidak kita harapkan tetapi nyata terjadi.

Mengatasi virus tak cukup hanya teriak-teriak. Mengapa? Yang kita hadapi masyarakat Indonesia yang tak terbiasa patuh dengan aturan. Masyarakat kita hanya patuh aturan jika diberikan sanksi atas pelanggaran. Jadi sanksinya harus berupa fisik dan material, itu baru akan dipatuhi. Biasanya ini sangat manjur. Kalau sekadar himbauan itu tidak akan berdampak kuat. Bahkan ada sindirian konyol, “aturan itu diciptakan untuk dilanggar”. Konyol bukan?

Tidak percaya? Boleh kita buktikan. Berapa banyak orang melanggar lalu lintas jika tak ada polisi lalu lintas atau kamera CCTV?  Tak usah berdebat karena jawabannya sudah jelas. Bahkan pelanggaran itu kadang ditunjukkan bahwa pelanggar tersebut  termasuk orang yang berani. Berani melanggar aturan saja bangga?

Keluar Sangkar

Kembali ke soal covid-19. Memang informasi penyebaran dan jumlah korban covid-19 ini menjadi kabar yang tidak dikehendaki. Pandemi ini telah mengubah cara berpikir, berperilaku, dan rasa kemanusiaan seseorang. Tentu jika orang itu bisa mengambil suri teladan. Mengapa mengubah? Lihat, biasanya kita hanya melihat burung dalam sangkar. Tetapi saat ini kita banyak melihat orang-orang dalam sangkar. Anggap saja analogi anjuran “Stay At Home” itu menyarankan agar orang berada di rumah.

Apakah enak hanya berada di rumah padahal biasanya kita keluar dari rumah? Tentu tidak enak. Burung yang biasa terbang saja akan  tentu tersiksa jika hanya dikurung. Mereka punya sayap. Dengan sayapnya itu dia bisa terbang mencari makan dan bergaul dengan sesama makhluk lainnya. Tiba-tiba ia harus dikurung dalam sangkar. Sengsara bukan?

Terbangnya pun hanya terbatas dalam ruangan sangkar. Sementara Tuhan menciptakan sayap agar burung itu bisa terbang. Lebih tragis lagi, burung itu sudah dikurung lalu diperjual-belikan. Tentu ini tidak bermaksud menyindir mereka yang hobinya memelihara burung. Tapi sesuai logika, burung  memang tidak boleh dikurung.

Sekarang bagaimana jika manusia dikurung dalam rumah? Repot bukan? Tapi masih untung jaman sekarang. Saat seseorang dikurung dalam rumah bisa “berselancar” kemana-mana. Coba bayangkan sekitar 50 tahun yang lalu? Orang dikurung dalam rumah tentu hanya ada dalam rumah saja. Paling-paling hanya menonton TV atau mendengarkan radio. Sekarang tentu sudah banyak berubah. Hanya fisik kita yang ada di rumah. Namun pikiran dan aktivitas kita bisa kemana-mana, bahkan melampaui batas wilayah negara. Setidaknya dalam hal ini kita bisa bersyukur.

Soal Kemanusiaan

Nah, lalu bagaimana dengan kasus yang saya ceritakan di atas? Bahwa banyak anggota masyarakat kita sudah keluar rumah untuk melakukan aktivitas? Padahal masih dalam anjuran physical distancing dan juga Pembatasan Sosial berskala Besar (PSBB)? Kenyataan itu membuktikan bahwa manusia itu juga susah diatur dan dikurung dalam rumah. Apalagi manusia itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan lain.

Lebih enak burung, dia dikurung tetapi tetap mendapat supply makanan dari pemiliknya. Bahkan dimandikan dan diberikan vitamin. Tetapi kalau burung itu harus memilih tentu ia akan memutuskan keluar dari sangkar. Saya tidak bermaksud menganalogikan manusia dengan burung. Itu terlalu menyederhanakan masalah dan membutakan diri pada fakta. Manusia dengan burung tentu berbeda, hanya kasus kesengsaraannya akibat dikurung hampir sama.

Saatnya untuk tak saling menyalahkan. Mengapa? Karena semuanya sudah terjadi. Yang dibutuhkan adalah belajar dari pengalaman untuk mengatasi pandemi ini sekarang dan masa  datang. Penting kiranya  berbuat maksimal sesuai kemampuan. Yang punya harta menyumbangkan hartanya. Yang bisa berdoa ya berdoa saja. Yang punya kekuasaan tentu mengeluarkan kebijakannya. Yang bisa kampanye lewat media sosial juga dipersilakan. Semua punya kemanfaatan asal dilakukan sesuai kemampuan dan tak saling menyalahkan.

Pandemi ini memukul banyak orang. Sebagai penulis saya juga terpukul pula. Tentu buku-buku saya tidak laku keras karena toko-toko buku tutup.  Apalagi mereka yang bekerja di sektor publik lain atau mengandalkan kehidupannya dari kegiatan di luar rumah (pedagang keliling, kali lima, kuli bangunan, travel, dan lain-lain). Semua terkena dampaknya.

Kembali lagi ke masalah awal. Lalu mengapa masyarakat saat ini sudah keluar rumah saat pandemi? Nah, sekarang hitung-hitungan terburuk saja. Apakah berita korban pandemi itu sesuai apa yang dikatakan pemerintah? Saya berharap Anda jangan tergesa-gesa percaya dulu. Bayangkan bahwa yang jadi korban puluhan kali lipat dari informasi yang dikemukakan pemerintah. Mengapa? Agar masyarakat tetap hati-hati. Namun namanya juga pemerintah maunya dipatuhi dan dilaksanakan kebijakannya. Pemerintah dimana pun akan mamentingkan kepentingan banyak orang. Ini saya paham. Tetapi jika seandainya ada informasi yang ditutip-tutupi hanya untuk pencitraan itu juga tak bijak. Saya tidak bermaksud untuk memprovokasi pembaca. Tidak ada niatan untuk itu. Saya hanya bilang, pemerintah punya kepentingan sendiri dalam soal ekonomi dan politik.  Sementara masyarakat berharap ada keputusan mendasar untuk mengatasi pandemi ini. Karena ini menyangkut kemanusiaan.

Tak Cukup Himbauan

Nah, kembali lagi ke pertanyaan awal. Mengapa masyarakat tetap keluar rumah? Kita memang tidak perlu menyalahkan salah satu pihak secara membabi buta. Tetapi, sebagai masyarakat tentu saya harus menyoroti kebijakan pemerintah. Masyarakat sudah bosan di rumah. Sejak pertengahan Maret 2020 disarankan untuk melakukan physical distancing selama minimal 2 minggu. Ternyata selama 2 minggu itu tak ada perkembangan yang baik sementara kebutuan masyarakat semakin menipis.

Saat kebijakan PSBB dikeluarkan, masyarakat sudah berada dalam titik nadir kebosanan di rumah. Maka, kebijakan itu kadang dianggap angin lalu saja. Kecuali, pemerintah memang berani menjamin kebutuhan ekonomi masyarakat  umum sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang. Tinggal pemerintah berani atau tidak.

Jangan sampai jika nanti kebijakan PSBB tidak berhasil pemerintah pusat menyalahkan pemerintah daerah. Bagaimana bisa menyalahkan pemerintah daerah  jika kebijakan itu juga lama “dipertimbangkan” pemerintah pusat sementara pandemi terus bergerak sangat cepat? Pemerintah daerahlah yang paham lapangan dan mengetahui masalah daerahnya. Pandemi tidak mau mempertimbangan kebijakan ini dan itu. Jangan-jangan lamanya pandemi ini karena lambannya respon pemerintah dan sesuatunya sangat birokratis?

Dalam hal ini kita memang tak bisa menyalahkan pihak tertentu. Tetapi saya mohon maaf tak bisa menghindari kritik kebijakan pemerintah yang terkesan lamban. Burung-burung itu sudah merasa bosan tinggal dalam sangkar sementara tak ada supply makanan dalam sangkarnya.