Candi Jajaghu, Tumpang, Kabupaten Malang. (Foto : M. Dwi Cahyono).
Iklan terakota

Mari ‘Mengintip Kehidupan di Neraka’

Oleh: M. Dwi Cahyono*

Latar Penamaan “Candragohmukha’

Terakota.id–Dalam pewayangan Jawa di kenal apa yang dinamai ‘Kawah Condrodimuko (Cadradimuka)’, yakni kawah yang keramat dan sakti dalam cerita wayang, tempat penggemblengan kesatria agar menjadi kesatria yang kuat dan tangguh. Salah seorang ksatria yang digembleng di Kawah Condrodimuka adaah Gatotkaca (Dewanagari: घटोत्कच; IAST: Ghaṭotkaca) adalah seorang tokoh dalam wiracarita Mahabharata, putra Bimasena (Bima) atau Wrekodara dari keluarga Pandawa. Ibunya bernama Hidimbi (Arimbi), berasal dari bangsa rakshasa.

Bayi Gatotkaca, yang ketika itu dinamai “Tetuka” oleh para dewa ‘ditempa’ kekuatannya dengan cara diceburkan ke dalam Kawah Candradimuka di Gunung Jamurdipa, Kemudian para dewa melemparkan aneka jenis senjata pusaka ke dalam kawah. Setelah sekian lama, muncullah dari dalam kawah Tetuka yang telah berubah menjadi lelaki dewasa lengkap dengan senjata pusaka dari para dewa itu, seperti Caping Basumanda, kutang Antakusuma dan trompah Padakacarma. Semenjak itu, ia dikenal dengan nama ‘Gatotkaca’, ksatria dari Pringgadani, yang kuat (diibarati dengan ‘otot kawat balung wesi’) dan dapat terbang laksana kilat. Berkat kekuatan dan senjata pusakanya itu,

Gatotkaca berhasil mengalahkan Kala Prana dan pasukannya yang mengancam keselamatan Kaindran. Selain Gatutkaca, ksatria lain yang juga pernah mengenyam Kawah Codrodimoko adalah Wisanggeni, yakni putra dari Ajuna dengan Batari Dresanala (putri Batari Durga dengan Batar Guru). Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu Batara Guru, raja para dewa. Atas desakan dari Durga, maka Batara Guru memerintahkan agar Batara Brama menceraikan Arjuna dan Dresanala.

Keputusan ini ditentang oleh Batara Narada selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih untuk membela Arjuna. Brama yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna untuk pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak dijadikan Batara Guru sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brama pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa. Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya.

Durga dan Dewasrani datang menjemputnya, sementara Brama membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa. Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberi nama Wisanggeni, yang bermakna “racun api”.

Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brama, yakni “Dewa Penguasa api. Selain itu, api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni. Nama ‘Kawah Candradimuka” juga dikenal di lingkungan kemiliteran Indonesia, khususnya TNI, sebagai Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus atau disingkat (Pusdiklatpassus), yakni sekolah awal (Kawah Candradimuka) untuk melatih Pasukan Para Komando, khususnya yang akan bergabung ke Kopassus.

Sebelumnya pusdik ini bernama Pusat Pendidikan Pasukan Khusus (Pusdikpassus), yang bermarkas di Batujajar, Jawa Barat. Selain itu, dengan varian sebuatan lain, yaitu ‘Candragohmukha’ dikenal dalam sastra masa Majapahit, yaitu Kunjarakarnaddharmakata, sebagai wadah besar untuk merubus orang-orang yang berdosa di alam neraka (naraka).

Kendati penyebutannya sedikit beda, yaitu : kini : (a) ‘Condradimuka’ atau dalam bahasa Jawa Baru ‘Condrodimuko” (berasal dari tiga kata ‘candra-adi-muka’, artinya: kawah berukuran besar), dan (b) Candragohmukha (juga berasal dari tiga kata ‘candra-goh-mukha’), namun keduanya sama-mana menunjuk pada wadah perebusan besar, yang lazim dinamai ‘kawah (jedi)’, sehingga fungsinya adalah untuk merebus suatu – dalam hal ini manusia, dengan menggunakan air yang didihkan dengan api besar.

Arti dan Fungsi Istilahan

Unsur sebutan ‘candra (condro)’, yang artinya : bulan, tepatnya adalah bulan sabit, tepat digunakan untuk memberi gambaran mengenai bentuk kawah yang menyeruai bulan sabit. Memang, dalam seni arca dan relief candi, bulan selalu digambarkan sebagai ‘bulan sabit’ untuk membedakan dengan matahari (surya, aditya, baghaskara atau baskara, dsb.) yang uumnya digambarkan dalam bentuk ‘bulat penuh’.

Kata ‘mukha (muko)’ menunjuk kepada perukaan atasnya yang berbentuk lingkraan besar, yang kemudian mencekung kea rah dasar (bantat, silit). Pada koteks istilah ‘Candragohmukha’, unsur sebutan ‘goh (sapi, lembu)’ digunakan untuk menempatkan kawah tersebut pada punggung lembu, karena punggung lembu melengkung-cekung bentuknya, serupa dengan bentuk kawah.

Relief Candi Jajaghu menyimpan kisah siksa negara, agar menjauhi perbuatan buruk dan menebar kebaikan di dunia. (Foto : M. Dwi Cahyono).

Nama ‘Candragohmukha’ adalah nama kuno (archaic name), yang pada perkembangan kemudian kemudian berubah sedikit penyebutannya menjadi ‘Candradimuka’ hingga kini. Oleh karena itu, dalam gambar visual pada relief candi maupun lukisan gaya Kamansan di Bali, kawah Candragohmukha disertai dengan oran-organ tubuh lembu (goh). Perihal fungsinya, terdapat perbedaan antara apa yang terdapat dalam keyaknian Hindu ataupun Buddhis dengan kisah dalam pewayangan Jawa.

Dalam konteks religi itu, Candragohmukha adalah wadah besar berisi air mendidih untuk merubus sejumlah orang yang memiliki beban dosa. Oleh sebab itu keberadaan Kawah Candragohmukha adalah di neraka. Adapun dalam dunia wayang Jawa, Kawah Condradimuka adalah kadera (kawah) dari gunung api Jamurdipa, untuk ‘tenpat penggemblengan (penempaan)’ kepada ksatria agar memperoleh kekatan hebat dan kesaktian, seperti dilakukan terhadap ksatria Gatotkaca dan Wisanggeni.

Ada kemukinan nama asalnya adalah ‘Jambudwipa’, yaitu archaic name buat sub-continent ‘India’, sehingga boleh jadi Gunung Jamurdipa itu adalah Himalaya (Meru), yang merupakan gunung tertinggi dan tersuci di India. Pada masa sekarang, fungsinya sebagai perebusan bagi para pendosa telah jarang difahami khalayak, alih-alih fungsi kedualah yang lebih familier lantaran kawah ini hadir di dalam kisah pewayangan.

Visualisasi Kawah Candragohmukha pada Peninggaran Arkeologis

Visualisasi terhadap Abstraksi Keyakinan Apa yang termaktub dalam keyakinan keagamaan acap merupakan sesuatu yang ‘abstrak’. Untuk lebih memudahkan pemahamanan, maka acap dibuat visualisasi terhadap isi keyakinan tersebut. Pada berbagai agama, orang yang berdosa dalam hidunya diganjar dengan hukuman yang berupa siksaan berat di alam kematia. Dalam agama Islam dikenal adanya (a) janah (surga), dan (b) naar (neraka).

Sebenarnya, kata surge dan reka yang banyak digunakan oleh umat musilm berasal dar bahasa Sanskreta, yaitu (a) swargga (surga, nivana), dan (b) naraka (neraka – mirim dengan kata ‘naar’), yakni istilah-istilah yang lazim dipergunakan dalam agama Hindu ataupun Buddha. Oleh karena surge ataupun neraka tak terdapat di dunia, alih alih berada di alam kematian, maka bagi mausia yang masih hidup sulit dibayangkan tentang kenikmtan surgawi sebagai ganjaean bagi orang yang berpahala dan siksa neraka bagi orang yang berdosa.

Untuk membantu pemberian gambaran tentang kedanya, dalam doktrin-doktrin keagamaan acap memberi paparan mitologi yang bersifat eskatologis perihal surga atau sebaliknya neraka sebagai ‘pendorong’ manusia untuk senantiasa berbuat kebaikan (kebajikan) untuk mendapatkan pahala sehingga memperoleh surga kelak, dan sebaliknya menghidar dari perbuatan salah (kebatilan) yang beresiko dosa yang kelak diganjar dengan siksa neraka. Selain paparan tekstual atau kadang oral, ada pula paparan visual.

Salah sebuah paparan visual pada Masa Hindu-Buddha tersebut berupa relief candi, dan pada masa lebih kemudian berupa lukisan – misalnya, lukisan gaya Kamasan di Bali dan konon juga terdapat komik atau buku lain tentangnya. Berbeda dengan paparab tektual dan visual mengenai swargga (nirwana) yang banyak didapati dalam susastra kuno dan relief di relief candi, paparan tekstual ataupun visual mengenai naraka tak sebanyak tentangnya.

Relief menjadi media ajar kerokhanian sebagai panduan waktu malakukan kunjungan ziarah ke candi Jago (Jajaghu). (Foto : M. Dwi Cahyono).

Barikut dideskripsikan menganai paparan visual dalam: (a) relief cerita Buddhis ‘Kunjarakarna’ di candi Jajaghu (Jago), dan (b) relief cerita Buddhis ‘Mahakarmawibhangga’ di candi Borobudur, serta (c) lukisan gaya Kamasan pada eks Gedung Pengadilan Adat komplek Kertagosha di Klungkung Bali. 2. Visuaisasi Kawah Candragohmukkha pada Relief Candi Boleh dibilang bahwa visualisasi kawah Candragohmukha dalam relief cerita ‘Kunjarakarna’ di teras I sisi belakang (timur) samping kiri (utara) kemudian dilanjutkan di sekeliling pelipit bawah teras II adalah relief cerita pada candi-candi di Jawa adalah yang terbanyak dalam menvisualkan kawah Candragohmukha.

Boleh dibilang bahwa pada relief ini, separoh lebih muatan visualnya adalah tentang siksa neraka beserta kawah Candragohukha sebagai salah satu piranti penyiksaan. Ditampilkan pula media uji (alat seleksi) terhadap perbuatan baik (subha karma) atau sebaliknya perbuatan tak baik (asubha karma) dari manusia ketika hidup, misalnya berwujud titigonggang (varian sebuatannya ‘wat ogal-agil’, dimaka kata ‘titi’ dan ‘wat (wot) sersinonim arti, menunjuk kepada jembatan, yang dalam keyakinan Islam dinamai ‘Wot Sirattalmustaqim’) maupun bentuk-bentuk penyiksaan sesuai dengan karma-nya (diistilahi dengan ‘pala (buah) karma (perbuatan)’ atau ‘karmapala’-nya).

Sesuai dengan sebutannya, yaitu ‘Candragohmukha’. kawah perebus orang-orang yang berdosa ini solah-olah ditempatkan di punggung lembu (goh), dengan organ tubuh lembu seperti tubuh, kepala, empat kali dalam posisi bersimpuh dan ekornya digambarkan dengan jelas. Ada kawah yang digabarkan tengah digunakan untuk merubus (menggodog) beberapa orang penyandang dosa, lengkap dengan nyala api di bagian dasar kawahnya.

Para pendosa ini dari bawah mendapt siksa berupa perebusan. Siska tak hanya berasal dari arah bawah, namun juga bersal dari arah atas, yang mengingatkan pada pepatah Jawa ‘kepalu-ketutu (terpalu-tertumbuh)’, dimama kawah ini dinaungi oleh pohon besar yang buah-buah (kalpa)-nya berwujud pedang (kadga) – sehingga dinamai dengan ‘kalpakadga’.

Pendek kata, siksa neraka digambarkan demikian mengerikan, agar siapapun yang menyaksikan visualisasi (relief) ini merasa takut dan mengendarkan diri dari siksa neraka. Selain itu, ada pula kawah Candraghmuka yang tidak sedang dipergunakan, yaitu masih kosong dan seperti barusan dibersihkan, yang menurut keterangan dari seorang petugas beraka (yamabala) adalah kawah penyiksaan yang dipersiapkan untujk seseorang yang masih hidup di dunia, yaitu Purnawijaya penyandang banyak dosa, yang tiada lain adalah karib dari Kunjarakarna – seorang tokoh raksasa yang telah bertobat dengan memuja dan mohon ampunan kepada Wairocana, bahkan mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kondisi neraka.

Kisah ini terbuat dalam kitab ‘Kunjarakarnadharmmakatana’, yang naksahnya pernah ditemukan di lerang Gunung Merbabu (disebut ‘naskah Merbabu’) dan telah diediskan oleh Van der Meullen. Walaupun relief cerita ‘Mahakarmawibhannga’ di teras I candi Borobudur juga menampikan visualisasi perangkat perebusan bagi para pendosa, namun bentuknya hanya seperti kawah biasa, bukan berupa ‘candra-goh-mukha’ seperti divisualkan di candi Jajaghu.

Gambaran yang serupa dengan di relief candi Jajaghu itu justru didapati pada lukisan gaya Kamasan pada langit-langit eks Balai Pengadilan Adat pada kompleks Kertagosa di Klungkung. Dengan demikian, bisa jadi visualisasi dalam wujud ‘candra-goh-mukha’ baru hadir pada era keemas an Mahapahit dan terus berlajut di Bali hingga era kerajaan Klungkung. Sedangkan dalam pewayangan Jawa, dengan tak hadirnya unsur sebutan ‘goh (lenbu)’ — digantikan dengan kata ‘di (adi)’, ada kemungkinan tidak terdapat gambaran visual sebagaimana pada relief candi Jajaghu, sebab sebutan ‘Candradimuka’ lebih diarahkan kepada kawah gunung api (kaldera) Jamurdipa.

Fungsi Religis Visualisasi Kawah Candragohmuka pada Relief Candi Jajaghu

Bukan tanpa pertimbangan pada relief cerita ‘Mahakarmawibhangga’ di candi Borobudur dan relief cerita ‘Kunjarakarna’ di candi Jajaghu ditampilkan visualisasi kawah perbusan terhadap para penyandang dosa di lingkungan neraka. Mengingat bahwa visualisasi ini pada candi sebagai bangunan suci atau tempat peribadatan, tentu dasar pertimbangannya adalah religis. Sebagaimana telah disinggung diatas, dengan adanya gambaran itu diharapkan para pelaku upacara di kedua candi tersebut terpicu untuk mengindarkan diri dari sisa neraka, yakni dengan senantiasa jalani perbuatan baik (subhakarma), dan sebaliknya mengihidari perbuatan tidak baik (asubhakarma).

Dengan demikian jelas terlihat bahwa relief candi bukan sekedar berfungsi aksesoris untuk lebih meningkatkan nilai artistiknya, namun sebagai media ajar keagamaan, yakni ‘wahana katarsis (pembersihan jiwa)’ terhadap peziarah candi manakala melaksanakan ritual di candi ini. Sayang sekali, para pengunjung candi Jajaghu belum tentu mengatahui atau sempat mempelajari media ajar kerokhanian yang berupa siksa neraka itu.

Relief tesebut tak begitu besar ukurannya, berderet panjang sekali dan berada di teras bawah (teras I dan dipelipit bawah teras II), sehingga lolos dari perhatian pengunjung candi. Kalupun ada yang sekisa sempat melihat, namun boleh jadi tidak memahami kisahnya, sementara petugas candi (juru piara) didak proaktif memberikan paparan penjelas kepada para pengunjung candi.

Oleh karena itu, tulisan ini sengaja dibuat paling tidak untuk menambah pengerahuan pembaca, menjadi media ajar kerokhanian – terlebih dalam beberapa hal menyerupai yang terdapat di agama lain, termasuk Islam, dan siapa tahu berguna sebagai semacama ‘panduan’ bagi yang suatu waktu melakukan kunjungan ziarah ke candi Jago (Jajaghu). Demikianlah, semoga tulisan ringkas dan bersahaja ini memberi kefaedahan.

Nuwun.

Sangkaling, 21 Oktober 2018

Griya Ajar CITRALEKHA

Dwi Cahyono

*Arkeolog dan sejarawan Universitas Negeri Malang

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.