Virus Corona dan Kepanikan Massal

virus-corona-dan-kepanikan-massal
Ilustrasi : China Daily
Iklan terakota

Terakota.id–Sesaat setelah Presiden Jokowi mengumumkan dua WNI positif Corona, Fitri segera mengeluarkan motor bututnya untuk berburu masker. Tujuh toko dan apotek  ia datangi dan semua mengatakan stok habis.  Tidak berhenti, pemburuan masker dilanjutkan dengan gadget atau gawai, dibukanya tawaran masker di  online shopping, hargapun variatif dari Rp250 ribu hingga Rp15 juta per kardus. Angka yang tidak wajar dan  fantastis untuk 50 lembar masker.

Berbeda dengan Fitri, Bella memutuskan membatalkan booking hotel yang telah dipesan untuk berlibur pada bulan April di Bali. Pariwisata terdampak. Jumlah wisatawan turun drastis, meskipun kebijakan punurunan tarif hotel dan pesawat dengan berbagai promo yang menarik tak mampu menstabilkan keadaan.

Selly menyikapinya berbeda, ia segera beranjak dari tempat duduk dan pergi ke pasar tradisional untuk membeli empon-empon sesaat setelah Ia menyimak penjelasan pakar herbal melalui televisi bahwa bahan tradisional yang selama ini dipandang remeh dapat meningkatkan daya imun. Imunitas tubuh dapat membentengi diri dari tertular si Corona. Sellypun terkaget-kaget, biasanya dengan Rp.2000, Selly sudah mendapat satu bungkus empon-empon paket lengkap. Saat ini, harga jahe yang dulunya Rp.20 ribu per kilogram melonjak menjadi Rp.110 ribu. Demikian pula harga temulawak, kunyit, sereh, kencur mengalami lonjakan.

Eko sedang asyik membaca postingan di group WA yang memuat beragam saran cara bertegur sapa aman di berbagai negara. China menghimbau warga agar tidak berjabat tangan dan menggantinya dengan menyatukan telapak tangan sendiri sebagai simbol salam. Di Perancis dengan budaya cipika-cipiki diganti dengan menatap mata sebagai ganti salam. Di Jerman, Selandia Baru dan UEA mengganti sapaan tradisional mereka dengan lambaian tangan dan senyuman. Setelah membaca postingan tersebut, Eko memutuskan untuk menghindari kontak langsung dengan orang lain, seperti berjabat tangan.

Fitri, Bella, Selly, dan Eko merupakan gambaran kepanikan yang saat ini terjadi di tengah masyarakat. Tidak hanya itu, ada sebagian yang memanfaatkan kondisi ini dengan memborong habis, menimbun dan menjual kembali barang-barang yang sedang menjadi primadona dengan harga dramatis.

Ada tiga hal yang bisa dicermati dari fenomena di atas, pertama, culture shock dengan budaya “Kepo” sedang melanda. Media menjadi instrumen utama terjadinya kepanikan massal ini. Membanjirnya informasi tentang Corona di televisi, koran, dan media sosial disikapi secara euforia oleh masyarakat dengan budaya manipulatif. Media memainkan peran dalam  mengkonstruksi realitas.

Massifitas publikasi media terhadap issue mampu menetapkan standarisasi produksi budaya. Secara tidak disadari, khalayak telah dimanipulasi dan dipaksa untuk membutuhkan dan berusaha memiliki budaya yang serupa, bagaimanapun kondisi mereka. Memburu masker, memakai masker, memburu empon-empon, konsumsi jamu dan menghindarkan diri dari berjabat tangan tiba-tiba menjadi budaya.

Kedua, kapitalisasi Corona untuk memperkaya diri. Permainan harga masker dan empon-empon dimanfaatkan oleh oknum penjual sebagai komoditas langka akibat “demam” kedua produk tersebut. Kapitalisasi ini juga nampak dari ketidakberimbangan pemberitaan corona. Sisi negatif pemberitaan, misalnya jumlah kasus terindikasi corona lebih diberitakan ketimbang jumlah pasien yang sembuh. Mengejar rating lebih diutamakan daripada mendidik masyarakat untuk mengubah pola berprilaku sehat.

Ketiga, egosentris yang cenderung memikirkan sesuatu secara sempit dari sudut pandang kita tanpa mempedulikan orang lain. Berbondong-bondong memborong kebutuhan untuk kenyamanan, kepuasan, keselamatan, dan  antisipasi diri tanpa mempedulikan bagaimana dengan tetangga kita, teman kita, dan orang lain yang tidak mendapat barang tersebut. Rasa empati dan kepekaan sosial telah tercampakkan.

Pola pikir yang penting “aku dan keluargaku selamat” tanpa memikirkan orang lain telah menjatuhkan sisi kemanusiaan kita. Tak terasa, kesadaran yang terbentuk dalam masyarakat kita adalah kesadaran semu yang tidak memperhatikan esensi peristiwa yang terjadi. Masyarakat belum memiliki kesadaran kritis dengan membedakan hakikat dan simbol fisik.

Hakikat Corona adalah sistem ketahanan tubuh yang dipicu oleh perilaku konsumsi, pandangan hidup, dan gaya hidup. Reaksi yang muncul bukan dengan memperbaiki pola hidup tetapi lebih pada hal yang pragmatis dengan “Demam Masker”. Menarik untuk memposisikan kejadian ini dalam konteks nilai moral dan agama yang mengajarkan kita untuk ikhtiar dan tawakkal.