Vandalisme, Lemah Tanjung dan Salim Kancil

Kelompok anarko bergabung dengan para buruh dan peserta aksi hari buruh 1 Mei di Balai Kota Malang. (Foto : Facebook).
Iklan terakota

Terakota.id–Malang seperti sumur sejarah yang airnya seakan tak pernah kering. Setiap sudut menyimpan kisah yang tak pernah habis. Beragam situs, mulai candi dan benda cagar budaya atau arkais tersimpan dari masa ke masa. Termasuk peninggalan abad kelam penjajahan terukir di kota ini dari waktu ke waktu. Sebagai penutur sejarah yang jujur.

Pijakan alas kaki, abu rokok mampu merusak jejak usia tanah. (Terakota/Zainul Arifin).

Tak mengherankan jika Arek Malang antusias ketika urat nadi sejarah terusik. Setidaknya, dua peristiwa belakangan menyadarkan saya. Pertama, ketika proyek tol Malang-Pandaan melabrak Situs Sekaran di Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Arek Malang geram, peninggalan sejarah rusak dilindas alat berat. Mereka mengutuk siapapun yang sengaja menggali, mengoleksi, atau memperdagangkan benda cagar budaya yang tersimpan. Lantas, mereka bergotong royong dan kerja bakti “menyelamatkan” situs. Tanpa bisa ditawar, jalan tol harus digeser.

Kedua, ketika beberapa anak muda mengenakan pakaian serba hitam mencoret salah satu struktur bangunan cagar budaya Kota Malang. Yakni jembatan Majapahit atau dikenal juga dengan Jembatan Splendid, saat peringatan Hari Buruh 2019. Arek Malang langsung bereaksi mengecam tindakan yang menurut mereka bagian dari vandalisme.

Media sosial dan grup aplikasi perpesanan disesaki kalimat amarah. Mereka turun tangan, kerja bakti mengecat ulang jembatan. Sebuah jembatan menjadi saksi bisu Kota Malang dibangun secara bertahap oleh arsitek kolonial, Thomas Karsten. Tak berhenti di situ, pelaku terus diburu untuk mempertanggungjawabkan secara hukum.

Sebenarnya saya tertarik dengan bunyi kalimat yang mereka coretkan di sana, “tolak upah murah.” Siapa bisa bantah kebenaran kalimat itu? Tentu, saya tidak. Apalagi disampaikan di hari bersejarah, Hari Buruh.

Secara tata bahasa kalimat itu benar. Muatan maknanya juga luar biasa. Karena setiap insan yang hidup di bawah kendali sistem eksploitatif, pantas melawan. Presiden pertama Sukarno, mengatakan, “revolusi Indonesia menuju kepada dunia baru tanpa exploitation de I’homme par I’homme dan exploitation de nation par nation.” Bagi Bung Karno, ekploitasi manusia atas manusia yang lain dan eksploitasi suatu negara atas negara yang lain ibarat dosa yang tak terampuni.

Hanya saja, cara mereka menyampaikan bisa jadi dianggap tidak tepat oleh pandangan umum. Talbisul haqqa bil baathil. Mereka dianggap mencampur narasi perlawanan yang haq (benar) dengan cara yang bathil.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), vandalisme berarti: 1) perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya); 2) perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Bagi sebagian orang, yang dilakukan sekelompok pemuda itu merupakan perbuatan vandal.

Mencorat-coret, mengotori atau merusak fasilitas umum, apalagi cagar budaya, memang bukan sebuah tindakan terpuji. Tak peduli ketika melakukkannya lebih dulu bersuci, mengibarkan bendera berlogo seperti: A, P, gergaji, tulang ikan, atau kepala kerbau, atau berkostum kebanggaan, tetap saja merusak adalah perbuatan cela.

Sehingga, vandalisme atas dasar apapun harus dikecam, dikutuk, dihukum dan dirisak di media sosial. Sejumlah media daring memburu berita yang viral di media sosial. Tujuannya satu, untuk menaikkan jumlah pembaca. Sementara dampaknya, esensial tuntutan Hari Buruh karam. Tertutup berita vandalisme.

Berbeda dengan pandangan umum, bagi kalangan anarkis, corat-coret tak diniatkan sebagai aksi pengerusakan atau perbuatan vandal. Melainkan sebagai taktik atau strategi gerakan. Agar gaung atas tuntutan semakin membesar. Bahkan, sebagian kelompok gerakan ini melakukan propaganda dengan melempar bom melotov, pembakaran, atau perkelahian dengan aparat.

Aksi kelompok anarko yang melakukan vandalisme di struktur jembatan Majapahit Kota Malang. (Foto : Facebook).

Namun, mereka berbeda dengan kalangan fundamentalis sayap kanan yang biasanya melakukan teror terhadap kelompok minoritas etnis, keagamaan, atau seksual. Dengan membakar tempat ibadah agama lain, simbol keagamaan, atau simbol kemaksiatan. Kalangan anarkis menyasar kepada simbol kekuasaan dan kapitalisme. Mereka tidak akan mengorbankan warga sipil sebagaimana kalangan fundamentalis sayap kanan.

Meski begitu, taktik seperti itu tidak diamini secara menyeluruh oleh kalangan anarkis. Sebagaimana pemeluk agama, mereka juga bercabang menjadi beberapa faksi. Alexander Berkman, seorang anarkis yang turut serta dalam gerakan-gerakan revolusioner di Amerika seputaran tahun 1890, mengatakan bahwa banyak kalangan anarkis sendiri yang telah meninggalkan cara-cara “propaganda dengan perbuatan” yang dianggap orang luar sebagai tindak kekerasan.

Berkman dalam versi terjemahan bukunya berjudul ABC Anarkisme (2017:16) mengatakan, “Pengalaman telah mengajarkan mereka bahwa walaupun metode seperti itu dibenarkan dan berguna pada masa lalu, kondisi kehidupan modern membuat hal itu menjadi tidak penting dan bahkan membahayakan penyebaran ide-ide mereka.”

Singkatnya, di kalangan mereka sendiri cara itu diperdebatkan dan tidak diterima seluruhnya. Sebagaimana corat-coret yang menghebohkan publik Malang hingga mengubur esensi kritik yang disampaikan di Hari Buruh kemarin, bisa saja kita tidak sepakat dengan cara itu. Tapi, sulit rasanya mengelak dari kebenaran yang coba mereka utarakan. Dan tentu kita tahu, kebenaran punya prinsipnya sendiri yang tak lapuk disergap caci maki. Bahkan, kebenaran tetaplah kebenaran sekalipun jutaan orang menuding sebaliknya.

Jika dianggap tidak tepat, vandalisme yang mereka lakukan ibarat noktah kecil dalam hamparan perjuangan. Jangan biarkan, digoreng untuk menutup borok yang lebih besar. Saya teringat sebuah peribahasa, lalu memodifikasinya. Kira-kira jadi begini bunyinya: nila setitik dibuat menutup borok sebelanga. Tentu kita tahu, borok sebelangan di sini tak lain berupa destruktifnya pembangunan yang kapitalistik. Pembangunan yang melayani dan diarahkan bagi akumulasi atau penumpukan kapital di antara segelintir orang dan golongan.

Dalam konteks lokal, Malang misalnya, kita akan melihat selama ini pembangunan kota sebenarnya tidak berdasarkan kebutuhan dan kepentingan warga kota. Perkembangan dan pembangunanan kota didasarkan pada kebutuhan bisnis dan investasi. Beberapa tahun lalu, saya membaca novel Lemah Tanjung yang ditulis oleh sastrawan Malang, Ratna Indraswari Ibrahim. Novel itu secara apik menyodorkan satu kasus konflik pembangunan kota Malang.

Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim merajut cerita konfik hutan kota bekas kampus APP dengan pengusaha dengan cerita rekaan. (Foto : Abdi Purmono/Batikimono.com).

Hutan kota Lemah Tanjung seluas 28,5 hektare merupakan paru-paru kota yang tersisa sekaligus menjadi buffer zone Kota Malang, ditukar guling. Kemudian dialihfungsikan menajdi hunian mewah dan hotel berbintang. Dari sini, kita bisa membayangkan dan mendaftar berapa jumlah kasus serupa yang telah terjadi dan berlangsung di kota tercinta ini. Sebut saja pembangunan mal, hotel, apartemen, hunian mewah, dan situs komersil lainnya.

Dalam skala yang lebih luas, kita merujuk data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). KPA menyebut terjadi 659 konflik agraria sepanjang 2017. Luasannya lahan konflik mencapai 520.491,87 hektare. Dan sedikitnya 652.738 kepala keluarga menjadi korban.

Kita pasti masih ingat nama Salim Kancil (Lumajang) dan Poro Dukka (Sumba. Kedunya dibunuh secara keji ketika mempertahankan hak mereka atas ruang hidup yang sehat dan adil. Salim Kancil  meninggal setelah dikeroyok dan Poro Dukka meregang nyawa setelah peluru polisi menembus dadanya. Keduanya tidak melakukan kekerasan apapun. Tidak mencorat-coret apapun. Toh, keculasan tetap merenggut paksa nyawa keduanya sebagaimana kepicikan fundamentalis yang menembak Gandhi, pejuang yang menggunakan cara-cara damai dan non-kekerasan.

Pada akhirnya setiap keculasan, kekejaman, dan kejahatan rezim akan melabeli segala perjuangan kebenaran dengan label atau cap yang negatif. Tujuannya tak lain agar pandangan umum melumrahkan atau menormalisasi semua bentuk pembungkaman atas kebenaran. Sebuah pepatah kuno kurang lebih mengatakan: Hanya ikan mati dan sampah yang terseret arus.