Iklan terakota

Terakota.id-Di saat sekarang ini sebagai rakyat yang mantan kepala negaranya adalah seorang seniman berbakat; bisa nyanyi, bisa melukis tapi saat ini tidak kelaparan layaknya seniman panggung di luar sana, berdebat dengan orang dengan maksud memberi tahu itu seperti berdiri di atas ranjang paku di mana kaki sudah menacap, keluar nanahnya dan harus diamputasi jika ingin keluar.

Sebab orang lain yang ingin kita coba beri tahu itu ternyata jauh punya segudang ilmu yang sumbernya cuman mengobok-obok tempat sampah lalu memamerkannya seolah baru saja mendapat emas padahal ya tai. Kondisinya ya seperti ini. Kepala negara yang terhormat dengan tampang lempengnya yang mungkin sudah dibriefing agar suaranya terkesan natural tapi ya dibuat-buat agar terdengar berat hati, masih terkesan belum mengambil keputusan terkait kondisi pandemi sementara jauh di golongan paling bawah, orang-orang masih bergandengan tangan menyanyikan lagu sambat dengan sumbang.

Kalau penanganan pandemi ini kurang memuaskan di awal, mbok ya segera diperbaiki gitu. Masyarakat negara ini sudah mafhum jika saat ini mereka hanya bisa nrimo ing pandemi. Tak bisa berbuat banyak, tukang perintah dari atas hanya bisa merintah tapi nggak solutif, hingga akhirnya dengan kekuatan herd stupidity, terciptalah puncak grafis pandemi yang mengagumkan hingga di sorot dari belahan dunia lain yang saat ini sudah bisa nonton bola di stadion, konser musik sudah berlangsung, film-film sudah bisa produksi lagi sementara di negara ini? Jam delapan lampu jalan kok dimatiin. Ya kalau mau nge-prank rakyat mbok jangan gitu to.

Rakyat itu kudunya ya diapik-apikin. Tapi ya enggak sekarang juga harus kudu masang baliho buat tahun 2024! Kebacut itu! Rakyat itu pengennya satu. Bisa kayak dunia yang mulai pulih tanpa jargon-jargon tentang perekonomian yang dari dulu kayaknya emang gitu-gitu tok. Kalau yang tukang perintah itu mau dan peduli dengan rakyatnya, karena mereka juga pastinya ingin seperti yang diberitakan di luar negeri, mbok ya program vaksinnya itu dijalani terus. Masa masih ada kabar dari orang-orang mau vaksin kedua malah diundur katanya vaksinnya habis. Lalu ada kabar juga ada yang nyuntik pakai vaksin kosong. Memang orang yang paling kuat di dunia adalah orang yang harus jadi warga negara kita ini.

Juga saat gencar-gencarnya para influencer mengajak orang untuk vaksin, malah ada sekelompok golongan orang yang bilang dengan bangganya, “Kalau nggak vaksin ini aku nggak mau.”

Ya kan vaksin ini kan gratis! Sudah dikasih gratis kenapa harus milih-milih to?!

Jadi alkisah saya pernah berbincang dengan seorang kerabat yang kita bingung kenapa belum dapat panggilan untuk vaksin mungkin karena pihak kesehatan kurang tahu pentingnya saya dan teman saya ini di negara ini meski kami juga pembayar pajak tepat waktu dan nggak ngeluh suruh bayar parkir tiga ribu di mall.

Singkat cerita, kerabat saya ini bersikukuh hanya mau disuntik vaksin dari negara yang kalah perang dunia ke dua tapi sepak bolanya mampu menggilas Brazil. Katakanlah vaksinnya jenis P. Tentunya tingkat efektivitas vaksin ini bisa dibilang lebih tinggi dari vaksin A apalagi vaksin S namun jangan dibandingkan dengan vaksin N. Nggak usah.

Kami akhirnya berdebat. Saya punya argumen, efektivitas vaksin A masih memungkinkan yang sudah divaksin terkena virus. Saya memberi link berita dari media ternama tentang kasus pasien C19 seusai vaksin P. Lantas seperti yang saya tulis di atas, saya ternyata sudah berdiri di ranjang paku. Argumen saya dibalas dengan tulisan tanpa data yang saya sendiri ogah mencari info-info ini. Kerabat saya mengatakan kalau, vaksin S bahannya dari virus C19 yang dimatikan sehingga banyak yang lewat begitu divaksin. Ia mengecap vaksin S ini adalah vaksin di bawah standar.

Ia juga menambahkan kalau vaksin A ada kandungan babinya, di mana saya dan dia pernah makan sate babi jadi sebetulnya hal ini bukan jadi penguat argumennya kalau vaksin A dia tolak sih. Saya tidak menjawab lanjutan percakapan ini dan membelokkannya ke pertandingan Inggris melawan Itali waktu itu. Sampai akhirnya beberapa minggu kemudian, dia sepertinya lega namanya tertulis akan menerima vaksin dan di sini sifat iseng saya muncul.

Saya mengucapkan selamat atas terpilihnya dia untuk vaksin lalu saya bertanya, akan menerima apakah dia saat divaksin besok? Apakah sesuai dengan harapannya mendapatkan vaksin P sehingga ia bisa membanggakan diri? Tapi ternyata kita memang tidak tinggal di mana pabrik pengabul keinginan itu bisa bekerja secara 24 jam nonstop.

Teman saya menjawabnya dengan malas, terlihat dari nada ketikannya, ia katakan ia tidak tahu akan menerima apa vaksin esok harinya hingga esai ini ditulis, yang jelas ia akan menerima antara vaksin A/S. Tentu saja! Saya membalasnya dengan emot ketawa! Karena chatnya di atas masih ada, saya reply dengan argumen-argumen dia tentang vaksin A dan vaksin S. Mencoba sok tenang dan malas berargumen, jawabannya sungguh diplomatis hingga saya akhirnya kembali mengolok-olok dan akhirnya mendoakan kesehatan bagi dirinya.

Jawaban yang menurut saya menjadi kunci faktor kesuksesan program vaksin adalah tuntutan keadaan. Batasi gerak manusianya jika belum vaksin, bisa keluar rumah jika sudah vaksin adalah cara yang tepat agar orang sadar diri vaksin itu membantu sistem tubuh kita untuk bertahan dan melawan meski akhirnya juga karena keadaan.

Tapi tidak lantas itu jadi apologia juga bagi yang hanya mau divaksin oleh vaksin tertentu apalagi dengan kaum antivak. Vaksin apapun masih ada kemungkinan tertular dan itu sudah banyak terbukti, namun setidaknya mencegah lebih baik daripada mengobati kalau katanya tabib di pasar malam memang benar. Ada uji klinis yang membenarkan orang yang sudah divaksin bisa kena virus namun sistem imunnya bekerja lebih optimal sehingga proses penyembuhannya bisa dikatakan lebih cepat.

Semoga saja kaum-kaum pemilih vaksin ini tidak lantas membuat perkumpulan lalu membuat keriuhan di saat di luar sana banyak yang butuh vaksin karena kebutuhan sehingga ia mau nrimo ing pandemi vaksin apa yang disuntikkan di tubuhnya asal tidak air garam. Semoga juga vaksin tidak sesusah para jomblo di luar sana mendapatkan jodoh karena tentu saja vaksin yang mujarab hanya ada di tangan Tuhan. Juga andai kata semua aktivitas di dunia ini membutuhkan vaksin, jangan ada juga kaum-kaum yang mengaku setelah vaksin kita bisa masuk surga, soalnya masih banyak di luar sana tempat ibadah tutup dan tempat ibadah adalah tiket surga yang paling murah kata baliho di pinggir jalan.

Andai kata vaksin C19 ini seperti jersey bola, maka tentu saja kita akan memakainya dengan penuh kebanggaan karena kita adalah pendukung klub yang tercetak di dada jersey tersebut. Hanya saja vaksin di saat ini seperti sebuah kemaluan. Semua punya kemaluan tapi enggan menunjukkan di tempat umum, kecuali Anda kena prank Siskaeee.

*Satiris, tinggal di Kota Madiun

*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dan menjadi tanggungjawab penulis. Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan melalui surel : redaksi@terakota.id. Subjek : Terasiana_Nama_Judul. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.