
Terakota.id–Negeri ini memang negeri seremonial. Bagaimana tidak? Banyak kebijakan yang perlu untuk diseremonialkan. Entah memang harus begitu atau untuk sekadar pencitraan. Kita tidak tahu pasti. Yang jelas ada banyak seremonial, terutama terkait kebijakan pemeritah. Tentu saja lebih banyak berorientasi pada kepentingan pemerintah itu sendiri. Kita tahu bahwa pemerintah memang seolah “bekerja untuk dirinya sendiri”.
Maksudnya bukan semata-mata bekerja untuk diri sendiri an sich. Tetapi situasi darurat dan tidak orientasi  kebijakannya tidak ada perbedaan. Sementara itu kondisi darurat membutuhkan langkah revolusioner, berguna untuk masa kini dan masa datang. Namun karena pencitraan lebih tinggi kepentingannya, yang ada kemudian adalah seremonial. Apalagi jika seremonial itu untuk mendukung pencitraannya.  Boleh diamati beberapa pemberitaan di media cetak, elektronik dan online.
Saya tak bermaksud untuk memandang sebelah mata soal seremonial. Bukan itu. Masalahnya dalam kurun waktu lama proses kebijakan di Indonesia terkesan basa-basi. Seperti film Warkop DKI, “Maju Kena Mundur kena”. Omongan pejabat sejak pandemi ini bergulir hanya basa-basi saja.
Mengapa tak berdasar informasi dari ahlinya? Apakah semua tergantung pembisiknya? Apakah para pejabat itu takut kehilangan jabatan? Apakah mereka juga ingin menunjukkan sebuah kerja, meski hanya wacana, sementara aslinya tidak bisa berbuat lebih kongkrit? Saya tidak akan membuka lagi bukti-bukti omongan pejabat. Pembaca bisa googling sendiri. Banyak informasi yang beredar dan mencerminkan bagaimana tipe pejabat di Indonesia.
Jika dalam kurun waktu lama para pejabat itu bekerja dengan baik, tak hanya memenuhi kepentingan individu dan kelompoknya seremonial sekecil apapun tidak akan mendapat respon yang negatif. Tetapi karena dalam benak masyarakat sudah terbangun pesimisne karena omongan dan kebijakan pejabat kita basa-basi, maka persepsi negatif pun tidak bisa dihindarkan.
Apakah salah? Ya jangan buru-buru menyalahkan munculnya persepsi negatif. Mengapa para pejabat itu seolah mendorong masyarakat membangun ruangan dalam pikirannya dengan negatif? Ini yang lebih penting untuk dilihat lebih lanjut. Mulai berlatihlah untuk menyalahkan dan mencari sebab, bukan akibat saja.
Vaksin
Kita ambil contoh soal wacana vaksin. Setelah gencar diteriakkan mayarakat maka pemerintah mengimpor vaksin Sinovac dari China. Saya sendiri tidak masalah, apakah  dari China atau dari negara lain. Tak  jadi soal. Vaksin memang penting. Tetapi lebih dari itu ada peristiwa yang unik dan aneh. Sekali lagi ini menurut saya sendiri.
Saat vaksin itu akan diedarkan dilakukanlah seremonial. Tak salah memang. Tetapi karena kita sudah terbiasa dengan sesuatu yang seremonial dan cenderung membosankah maka seremonanial itu mendapat tanggapan beragam, termasuk yang sinis.
Setidaknya itu yang dilakukan oleh Biofarma terkait seremonial akan didistribusikannya vaksin Sinovac. Kenapa harus memakai seremonial segala? Ini salah satu komentar yang beredar di masyarakat. Tetapi Biofarma tentu membututuhkan publikasi, pencitraan atau semacamnya yang perlu diketahui masyarakat umum.
Sama dengan seremonial yang sering dilakukan pemerintah kita saat mengeluarkan kebijakan atau apa yang bisa memberikan citra positif. Sementara seremonial demi seremonial atau pencitraan demi pencitraan dilakukan, persoalan dasar jarang tersentuh. Kebijakan soal pandemi covid-19 satu diantaranya.
Sekali lagi ini tidak bermaksud mempermasalahkan dari mana virus itu berasal. Tetapi pertanyaan mengapa harus Sinovac? Lebih diperluas lagi mengapa harus impor vaksin? Jawaban singkatnya karena vaksinasi itu harus segera dilakukan karena angka terinfensi covid-19 terus naik. Kita juga belum bisa memproduksi vaksin sendiri. Tetapi apakah sudah dipikirkan dengan segera juga untuk antisipasi masa datang? Apakah tetap akan impor? Apakah para ahli di Indonesia tidak punya kemampuan untuk itu? Apakah pengambil kebijakan pernah membuka ruang dialog dengan para ahli soal vaksin terkait itu?
Memang pernah ada informasi akan diproduksi Vaksin Merah Putih. Berdasarkan berita yang pernah saya baca, ada 7 lembaga yang akan mengembangkan vaksin itu. Lima di antaranya berada di bawah perguruan tinggi yakni Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair). Sementara itu dua diantara yang lain  di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) yaitu Lembaga Biologi Molekuler Eijman dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Pertanyaananya apakah pemerintah Indonesia serius untuk itu? Apakah tidak ada kepentingan lain yang dirugikan terkait impor vaksin dan mereka punya kekuatan untuk menekan pemerintah bahwa impir vaksin suatu keharusan?
Kepentingan di Balik Vaksin
Saya pribadi mendukung Vaksin Merah Putih karena ini produk dalam negeri. Kalau perlu segera dilakukan. Mengapa? Pertama, impor vaksin, termasuk vaksin Sinovac, membuat kita terus tegantung pada kekuatan negara lain. Tidak ada vaksin gratis. Bahwa pembelian tak sekedar membayar sebagaimana transaksi pembelian barang. Di sana akan berbicara kepentingan negara dan desakan kekuatan dibalik keharusan impor vaksin. Bagi yang mempelajari politik Internasional hal demikian tidak akan membuat heran.
Impor atau selamanya mendatangkan barang dari luar negeri selalu berkaitan dengan tawar menawar kekuatan. Impor membutuhkan bahwa daya  tawar pemerintah Indonesia kita sangat lemah. Bukan berarti kita tak punya kekuatan. Tetapi, ketergantungan pada impor membuat kita tak bisa berani mengambil keputusan dengan tegas dan cepat.
Sudah bukan menjadi rahasia umum kalau obat-obatan saja ada “bisnis” yang memengaruhi pejabat dan para pengambil kebijakan. Mengapa Indonesia yang kaya dengan rempah-rempah dan sumber bahan obat tradisional tidak pernah mendapat perhatian pemerintah? Karena obat-obatan kimia itu juga sudah menjadi barang dagangan dan kebijakannya melibatkan pejabat pemerintah.
Kalau nanti ada obat tradisional yang dianjurkan bagaimana dengan nasib obat kimia? Tentu tidak akan laku. Â Jika tidak laku maka mereka yang berkepentingan pada bisnis obat-obatan tidak bisa untung. Bukan curiga, tetapi indikasi ini sangat mungkin terjadi.
Mengapa tidak secara gencar pula pemerintah menganjurkan terapi pengobatan dengan cara tradisional hasil bumi Indonesia saat pandemi covid-19? Jangan-jangan itu menyangkut bisnis obat-obatan juga? Sementara obat-obatan kimia ini berdampak tidak sehat bagi tubuh manusia di masa datang. Ini tentu menyangkut kebijakan pemerintah.
Kedua, Vaksin Merah Putih juga bukan sekadar memproduksi vaksin dalam negeri. Ia tentu tetap punya tali temali dengan kepentingan politik dan bisnis. Sebaiknya pemerintah menginvestasikan dananya (mesti dari utang) untuk fokus pada produksi vaksin dalam negeri. Tetapi sekali lagi tak mudah karena produksi vaksin dan kebijakannya tetap menyangkut kepentingan politik, bisnis, dan kekuatan internasional. Masalahnya pemerintah mau atau tidak.
Negeri ini kaya dengan para ahli terkait vaksin. Menjadi masalah dan bisa lama karena kepentingan di balik kebijakan publik selalu menyertai. Ini yang menjadi sulit dan tidak segera dilakukan. Masyarakat tentu tak pernah berpikir bahwa kebijakan soal vaksin itu juga ada kepentingan lain yang terlibat. Ini juga soal untung rugi baik bagi pejabat atau kalangan tertentu yang mempunyai kekuatan pengaruh di pemerintahan.
Jadi, sekarang tergantung pada political will (kemauan politik ) pemerintah. Masyarakat sudah begitu muak dengan omongan para pejabat yang tidak nyambung satu sama lain. Pencitraan saatnya dikurangi. Seremonial juga sudah membosankan. Menjadi semakin membosankan ketika masyarakat dan tenaga medis sibuk bahu-membahu mengurusi pandemi covid-19 tetapi para elite politik  justru sudah sibuk mengurusi Pilpres 2024.