Ilustrasi : Poliklitik
Iklan terakota

Terakota.id–Sayang sekali karena satu dan lain hal saya terhalang berbicara di acara virtual yang digelar oleh Amnesty International Indonesia, Pena Talk. Sebelum acara berlangsung, saya tidak mengantisipasinya dengan meng-update aplikasi Twitter. Acara tadi malam, Rabu (25 Agustus 2021) dilangsungkan dengan menggunakan Twitter Space, ruang diskusi yang baru saya kenal ketika saya mendapatkan undangan dari Claudia Destianira, atas nama Amesty International Indonesia. Saya pun sudah tergolong cukup lama tidak aktif di Twitter.

Demi mengatasi kekecewaan saya, dan untuk melunasi hutang saya, karena saya tidak berpartisipasi dalam acara tadi malam, maka uneg-uneg yang mestinya saya ungkapkan malam itu perlu saya sampaikan di sini. Kepada sahabat-sahabat di Amnesty International Indonesia pula tulisan ini saya persembahkan. Terima kasih telah diundang untuk berbagi pengalaman demi mendorong terwujudnya kebebasan berekspresi di negeri ini. Sebagai organisasi non-profit yang konsisten memperjuangkan keadilan dan kebebasan, Amnesty International layak untuk saya dukung dengan sepenuh hati.

Sekali pun saya telah menyampaikan testimoni atas kasus saya dalam banyak kesempatan, termasuk yang pernah digelar oleh Amesty International Indonesia dalam Amnestypedia pada 21 Juli lalu, tapi saya sangat menyesal tidak turut berbicara dalam forum tadi malam. Tentunya ada beberapa hal yang mestinya saya sampaikan, dari beberapa penggal kisah yang terlupa, namun tidak terjadi malam itu. Saya memang suka berbagi cerita kepada siapa pun. Ini tak lepas dari tanggung jawab moral saya, bahwa apa yang saya alami itu jangan sampai dialami oleh orang lain. Berbagi cerita kepahitan hidup, tujuannya tidak lain adalah agar banyak orang bisa menimba pengalaman, yang nantinya tidak mengalami kepahitan yang sama, sebagaimana yang pernah saya rasakan.

Tidak semua penyintas Undang-undang ITE berani terbuka membeberkan kasusnya. Banyak di antara mereka menganggap menjadi mantan narapidana adalah aib besar. Jangankan mereka yang telah menikmati menginap di lembaga pemasyarakatan, beberapa orang yang statusnya menjadi terlapor saja, merasa bahwa dunia ini telah berhenti berputar. Rasanya seperti kiamat. Mereka merasa telah menjadi bagian dari masyarakat yang tersisih. Mereka malu karena menjadi bahan perbincangan banyak orang, lebih-lebih jika kasusnya dimuat di media.

Kepada teman-teman yang mengalami nasib yang sama selalu saya katakan bahwa kita bukanlah penjahat, kita bukanlah koruptor. Jika para koruptor saja ketika ditangkap dan dipakaikan baju tahanan KPK ternyata masih percaya diri, mengapa kita kecil hati. Banyak di antara kita menjadi korban salah alamat. Pasal-pasal yang sebenarnya tidak bisa dikenakan untuk sebuah kasus, namun dipaksakan demi memenuhi target yang sedang diincar. Akhirnya, dibuatlah rekayasa tuntutan, dengan membuat tafsir sepihak atas undang-undang yang memang sangat multitafsir itu.

Tiap kali saya disuruh menceritakan kembali tentang kasus saya, sebenarnya dada saya juga sangat sesak. Saya harus menahan tangis. Seperti manusia pada umumnya, hati saya tidak terbuat dari batu. Di depan kamera saya harus tetap kelihatan cukup tegar, namun selesai acara biasanya saya tumpahkan tangisan itu. Saya juga manusia biasa, yang bisa marah, memendam dendam, dan masih memiliki nafsu untuk membalas. Itu tak pernah saya ingkari. Di mata Tuhan dan manusia saya tidak mau dianggap munafik dan sok suci. Namun saya harus berpikir panjang, saya tak boleh kalah oleh nafsu saya.

Saya tak boleh tunduk patuh terhadap keinginan saya untuk marah, untuk membalas. Saya tak boleh menghancurkan diri sendiri karena nafsu itu. Saya juga tak boleh melakukan tindakan yang sama sebagaimana mereka melakukan terhadap saya. Jika saya melakukannya, lalu apa bedanya saya dengan mereka. Saya harus tetap mengingat dan berpegang teguh pada “Love for all, hatred for none.” Seorang utusan Tuhan pernah bersabda, “Galanglah perdamaian, hentikanlah permusuhan dan ampunilah kesalahan saudaramu. Sungguh jahatlah orang yang tak mau berdamai dengan saudaranya. Sekalipun kau berada di pihak yang benar, hendaklah bersikap rendah hati, seakan-akan engkaulah yang bersalah.”

Dalam banyak kesempatan, saya tidak hanya sedang menangisi penderitaan saya sendiri. Karena tiap hari saya turut memantau kasus teman-teman yang senasib dengan saya, saya akhirnya juga terbawa arus kepedihan hidup mereka dalam menghadapi kriminalisasi itu. Saya mungkin adalah orang yang cukup beruntung. Di puncak upaya hukum yang saya lakukan, saya dinyatakan bebas dan tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Banyak teman-teman yang tidak bisa melepaskan diri dari jeratan undang-undang itu. Di antara mereka, banyak yang kehilangan pekerjaan, kehilangan keluarga, digugat cerai istrinya, kondisi ekonominya amburadul, trauma berkepanjangan, dan sederet penderitaan lainnya. Penderitaan itu tidak sebatas ia yang menanggungnya, namun orang-orang terdekat mereka turut merasakannya. Mereka juga punya keluarga. Jumlah orang-orang itu ratusan, namun yang turut menderita bisa berlipat menjadi ribuan.

Saya tidak menyangka bahwa kasus saya yang oleh banyak pihak dianggap remeh-temeh, akhirnya banyak menyita perhatian publik. Teman-teman BEM dari sejumlah perguruan tinggu, NGO, dan elemen masyarakat lain ingin tahu lebih banyak tentang apa yang telah saya alami. Makin banyak organisasi dan elemen masyarakat yang meminta saya melakukan klarifikasi, maka beban saya sesungguhnya makin ringan. Duduk persoalannya makin jelas. Tanpa saya harus menyimpulkan sendiri, ketika mereka mendengarkan paparan saya, mulai cerita saya tentang surat dakwaan sampai putusan pengadilan, mereka mengatakan bahwa saya sebenarnya adalah korban kriminalisasi.

Di luar cerita-cerita pilu, dari kasus itu pulalah, saya mendapatkan inspirasi atas banyak tulisan saya dengan kata kunci “gundul.” Otak saya jadi encer justru ketika saya habis melihat orang gundul. Tiap kali bertemu dengan orang yang berkepala plontos, saya selalu saja memeroleh ide untuk menulis. Apakah ini disebut dengan trauma? Jika trauma, pasti saya akan makin benci dengan orang gundul, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Barangkali para psikolog bisa menjelaskan gejala psikologi apa yang sedang saya alami. Gundul menjadi idola baru, salah satu kosa kata yang melekat erat dalam ingatan saya.

Gundul bagi saya justru akan tetap menjadi bahan candaan saya dalam pelbagai konteks. Saya menjadi kreatif untuk merangkai ribuan kata hanya dimulai dari inspirasi kata “gundul” itu. Begitu pula ketika saya membaca karya sastra yang di situ ada tokoh yang berkepala gundul, saya pun serasa mendapatkan teman baru, teman yang sama-sama berimajinasi tentang si gundul. Di balik pikiran “ngeres” dari mereka yang menganggap gundul sebagai penistaan, justru kata ini makin indah di telinga saya.

Tiap kali saya dimohon untuk berbicara atau menulis tentang kasus saya, selalu saja ada beberapa hal yang unik dan perlu saya bagikan. Meskipun dalam menjalani peristiwa itu saya selalu membuat catatan-catatan kecil, namun saya bukanlah orang yang piawai untuk merangkai catatan-catatan kecil itu menjadi karya komprehensif yang bisa diselesaikan dalam waktu yang pendek. Saya lebih suka bercerita atas dasar pertanyaan-pertanyaan dan pancingan-pancingan. Setelah dipancing, memori saya seketika terbuka lebar dan ada banyak hal yang bisa saya sampaikan. Dalam surat yang dikirim kepada saya, Amnesty International Indonesia meminta saya untuk menceritakan dampak kasus yang saya alami terhadap kehidupan saya hingga hari ini.

Harus saya ceritakan bahwa secara umum kehidupan saya sebenarnya tidak banyak berubah. Ini bukan berarti saya mengatakan bahwa kasus ini tidak membawa dampak apa pun dalam kehidupan saya. Saya pun juga pernah mengalami masa-masa sengsara dalam menghadapi perkara ini. Masa-masa sengsara itu sebenarnya yang paling saya rasakan adalah ketika saya ditetapkan sebagai tersangka sampai dengan menjalani persidangan, dan diteruskan dengan berjuang sendirian untuk mencari keadilan sampai tahap terakhir di Mahkamah Agung.

Sebelum lupa, meskipun saya telah ucapkan berkali-kali dalam setiap kesempatan, saya ingin sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Mahkamah Agung yang telah mengabulkan permohonan saya untuk membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 497/Pid.Sus/2019/PN Mlg dan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 315/Pid.Sus/2020/PT Sby. Putusan Mahkamah Agung Nomor 155 K/Pid.Sus/2021 tertanggal 3 Maret 2021 itu menandai kemerdekaan saya dari belenggu Undang-undang ITE.

Selama menjadi tersangka, saya dikenai wajib lapor ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Seminggu dua kali selama setahun saya harus mondar-mandir Malang-Surabaya hanya untuk sekadar tandatangan di atas buku folio. Banyak waktu tersita, banyak tenaga terkuras. Saya mengalami tekanan psikologis. Di samping saya harus menghibur diri saya sendiri, saya harus menguatkan hati istri dan anak-anak. Tidak jelas apa alasannya, kasus saya digantung begitu lama. Saya dilaporkan pada Februari 2018, dan baru dinyatakan tersangka 6 bulan berikutnya, yakni Oktober 2018. Setahun kemudian baru disidangkan.

Ketika Mahkamah Agung  menyatakan bahwa saya tidak bersalah dan bebas dari segala dakwaan dan tuntutan, banyak orang yang mengapresiasi kemenangan saya. Pelbagai pernyataan dan pertanyaan muncul dari teman-teman dekat. Pertanyaan yang paling menggelilik saya sampai sekarang adalah: “Habis berapa kamu ngurusi kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan?” Mereka yang mengajukan pertanyaan itu adalah mereka yang tidak hadir sewaktu saya menyampaikan pledoi di Pengadilan Negeri Malang pada 30 Desember 2019.

Dalam pledoi itu saya singgung sindiran Menkopolhukam, Mahfud MD. Saya katakan bahwa saya sangat mendukung upaya Pak Menteri untuk memberantas industri hukum di negeri ini. Mahfud MD, sebagaimana dikutip Kompas.com (2 September 2020) menyatakan, “Hukum dibuat sedemikian rupa agar orang yang benar menjadi salah dan yang salah jadi benar. Yang punya kesalahan disembunyikan pakai pasal ini, yang sudah punya kesalahan ada bukti ini dibuang buktinya, dimunculkan ini.”

Berangkat dari pernyataan Menkopolhukam, saya mendapatkan energi baru dan memiliki keyakinan, bahwa di negeri ini masih ada harapan bagi tegaknya keadilan. Jika pada pengadilan tingkat pertama dan kedua saya dinyatakan kalah, itu semata-mata sindiran Pak Mahfud itu belum mampu menembus hati penegak hukum pada tingkatan itu. Tapi saya optimis, bahwa di depan saya terpampang harapan bahwa kelak saya akan bebas.

Optimisme saya memang sempat diragukan oleh banyak pihak, terutama teman dekat dan keluarga. Ketika saya divonis tiga bulan penjara dan denda sepuluh juta rupiah oleh pengadilan tingkat pertama, banyak orang yang memberi saran agar saya menjalaninya. Mereka mengatakan bahwa upaya hukum lanjutan akan memakan waktu yang cukup lama dan juga menguras tenaga. Saya nyatakan TIDAK. Perjuangan belum berakhir. Haram bagi saya yang tidak pernah melakukan tindak kriminal ini untuk menghuni Lapas sekalipun hanya satu hari.

Begitu pula ketika pengadilan tingkat kedua menaikkan pidana yang dijatuhkan kepada saya menjadi lima bulan, banyak orang yang menyesalkan mengapa saya harus banding. Saya sampaikan kepada mereka bahwa ketika saya menyerah kalah, itu sama dengan membiarkan harga diri kita diinjak-injak. Ketika saya harus menyerah kalah, itu adalah preseden buruk bagi penegakan keadilan di masa depan. Rasanya sangat ironi bila selama ini saya menggembar-gemborkan tentang kebebasan berekpresi, namun kebebasan saya sendiri harus saya relakan untuk diberangus demi memuaskan nafsu murahan itu.

Saat ini masyarakat, terutama korban UU ITE sedang menunggu keseriusan pemerintah untuk segera mengambil langkah dengan merevisi Undang-undang ITE, terutama terhadap pasal-pasal karet. Undang-undang ITE memiliki potensi yang besar menjadi senjata makan tuan. Jika hari ini mereka yang sedang berkuasa dan memiliki modal bisa seenaknya sendiri menjebloskan orang ke penjara dengan Undang-undang ITE, maka tinggal menunggu saatnya yang akan terjadi justru sebaliknya. Kekuasaan tidak abadi. Yang saat ini rakyat jelata dan menjadi korban kriminalisasi, suatu saat bisa saja menjadi penguasa, dan melakukan balas dendam dengan Undang-undang yang sama. Jangan biarkan Undang-undang ITE menjadi Keris Mpu Gandring.

*Konten artikel ini sedianya akan disampaikan dalam acara Pena Talk yang diselenggarakan oleh Amnesty International Indonesia, 25 Agustus 2021.