
Terakota.id–Perupa Gorontalo yang tergabung dalam kelompok TUPALO menggelar pameran bertajuk pameran seni rupa Pajar Timur di Studio Jaring Kota Batu, 14-27 Agustus 2019. Studio beralamat Jalan Arjuno Nomor 8, Kelurahan Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu ini merupakan studio milik Iwan Yusuf salah satu anggota TUPALO.
Kelompok perupa Gorontalo ini terbentuk setelah pameran TUPALO di Galeri Nasional Jakarta 2018. Istilah Tupalo mengikat kebersamaan daerah asal, selain tinggal di Gorontalo mereka kini menetap dan tersebar di Yogyakarta, Batu, Bali dan Palu. Mereka diikat memori kultural kolektif yang kuat berasal dari kebudayaan Ibu Hulontalo.
Pameran ini menandai eksistensi para perupa asal Gorontalo. Kurator Wayan Seriyoga Parta menulis pameran merupakan ruang apresiasi bagi perupa untuk senantiasa mengasah kreativitas, gagasan dan meningkatkan penguasaan teknis berkarya. “Program ini menjadi penanda bahwa perupa yang tergabung dalam Tupalo, memegang konsistensi perjuangan bagi kehidupan kreativitas yang telah dideklarasikan,” tulis Wayan.
Tidak cukup hanya menyatakan diri lahir dan ada semata. Sebagai entitas hidup fase selanjutnya adalah perjuangan untuk tumbuh dan berkembang. Sehingga dari ada menjadi meng-ada (being). Meng-ada bukan hanya sekadar menjalani hidup secara alamiah. Tetapi berjuang untuk dapat hidup.
Perjuangan yang panjang, dan sangat tidak mudah untuk dijalani. Perlu strategi dan perencanaan baik yang bersifat taktis jangka pendek maupun jangka panjang. Karena seni itu abadi walaupun hidup manusia adalah pendek, artinya keabadian seniman ada pada karya-karya masterpiece-nya. Lahirnya karya-karya tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan etos dan personalitas yang teruji.
Sehingga dibutuhkan sebuah spirit, yaitu energi yang menjadi daya kehidupan. Spirit bisa datang dari luar diri sebagaimana matahari, cahayanya menjadi penopang sumber energi kehidupan di Bumi. Tetapi spirit sejatinya merupakan daya hidup internal sebagaimana ruh yang menghidupkan mesin organik tubuh kita sebagai makhluk hidup.
Bagaimana memaknai spirit kehidupan ini? Mungkin kita dapat berkaca dari sejarah semacam Renaisans di Eropa tepatnya di Itali, 800 tahun lalu. Sebuah gerakan peradaban yang mengangkat kembali nilai kebudayaan lampau mereka. Kemudian ditegaskan dengan era pencerahan ‘aufklarung.’ Bahwa kekuatan nalar akal budi adalah satu pijakan sentral yang kemudian dibarengi dengan penemuan sains dan teknologi.
Membawa lahirnya era revolusi sosial dan revolusi teknologi yang membawa dunia ke peradaban baru. Walaupun kemudian ketika manusia mendewakan akalnya tersebut membawa imbas pada kerusakan massal, seperti perang dunia dan perusakan alam akibat keserakahan manusia atas nama kemajuan dan peradaban.
Kembali ke Tupalo, tentu tidak harus meniru atau mengikuti pola Barat tersebut. Tetapi kita dapat berkaca dari spirit dari gerak laju revolusi yang telah mengubah wajah peradaban global. Serta menentukan mana yang baik untuk dikembangkan sesuai konteks kehidupan kreativitas di sini.
Kemajuan teknologi dan informasi telah berimbas besar pada pola dan pandangan hidup masyarakat. Berkaca pada spirit luar secara kritis, kita dapat memilih jalan sendiri dalam mengarahan perkembangan kreativitas yang akan dijalani. Perlu dipertimbangkan adalah soal spirit, energi dan daya hidup ada menjadi meng-ada. Hidup juga merupakan perkara bertahan hidup (survival), sebagaimana menuju eksistensi. Menjadi eksis adalah lapisan persoalan selanjutnya, yang tentu tidaklah mudah untuk dijalani.
Perupa Gorontalo yang terlibat di dalam pameran ini, mencoba mengelaborasi pemaknaan mengenai spirit dan cahaya pencerahan melalui karyanya. Sebagian besar memakai media dua dimensi meliputi, seni lukis, fotografi, teknik digital. Juga ada satu karya tiga dimensi dari bahan kayu. Karya tiga dimensi dibuat Riyo Koni dari balok-balok kayu yang diwarnai disusun membentuk komposisi piramid.
Karya perupa Gorontalo ini merupakan refleksi dari interpretasi dalam wujud rupa. Pemaknaan mereka mengenai persoalan spirit, berkejaran dengan berbagai persoalan yang menyelimuti diri. “Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas karya-karya tersebut secara khusus,” katanya dalam siaran pers yang diterima Terakota.id.
“Kita biarkan karya-karya itu juga berproses dengan diri mereka kepada publik Batu, di dalam selimut udara dingin pegunungan Malang. Berbeda dengan iklim yang kering dan terik di Gorontalo, pertemuan dua iklim yang berbeda tentu membawa diskursus tersendiri dalam semesta karya.”
Tupalo diikuti perupa undangan dari Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Melalui undangan itu perupa Gorontalo memberanikan diri menyandingkan karyanya, dengan perupa yang telah menjalani kehidupan kreativitas di wilayah medan seni rupa yang telah mensejarah.
Sikap terbuka yang inklusif ini patut diapresiasi dan menjadi bagian dari konsep yang juga mereka usung yaitu “walama”. Duduk bersama beralaskan tikar, teranyam di dalam eratnya nilai kebersamaan dan kreativitas. Sekaligus juga siap sedia dengan berbagai hal termasuk kritik dan cemoohan. Sembari menikmati lezatnya sajian rasa khas Gorontalo yang identik dengan ikan dan kehangatan sambal dabu-dabu dengan sensasi pedasnya rica (cabai) dan segarnya lemon.

Jalan, baca dan makan