
Terakota.id–Tidak disangka saya bertemu teman lama di Facebook. Demi kelancaran komunikasi, kami saling tukar nomor ponsel. Cukup lama kami tidak saling bertemu, ternyata segalanya telah berubah. Ketika melihat statusnya di WhatsApp saya cukup kaget. Rasanya dia bukan sahabat yang saya kenal dulu. Yang justru saya merasa heran, teknologi ternyata tidak menambah wawasanya makin luas, tetapi malah berpikiran makin sempit. Entah berapa kali postingan yang menyudutkan kelompok lain itu telah diteruskan dari satu ponsel ke ponsel lain.
Banyak orang tidak menyadari bahwa tiap hari di ponsel kita sedang bertebaran hoax yang tak sedikit jumlahnya. Sebagian hoax itu telah menggiring publik untuk pro dan anti terhadap sesuatu. Ada opini yang menggiring untuk anti Amerika, anti Perancis, anti Israel, anti Cina, dan anti-anti lainnya. Sebagian dari mereka yang anti pada dasarnya tidak memiliki landasan yang kuat untuk menjelaskan mengapa mereka anti A dan pro B, kecuali hanya menuruti gugon-tuhon dan prasangka buruk (suudzon).
Hoax tentang Jokowi tak pernah berhenti sejak pencalonannya sebagai presiden dan masih berlangsung hingga saat ini. Orang yang anti Jokowi akan menilai apa pun yang dilakukan Jokowi tidak pernah benar. Semua kebaikannya akan ditutup rapat-rapat. Begitu pula sebaliknya, mereka yang pro Jokowi akan selalu menganggap segala apa yang dilakukan Jokowi tidak pernah salah, serba sempurna. Segala kekurangannya akan ditutup rapat-rapat juga, dan kritik menjadi barang yang haram.
Tidak hanya media sosial yang memiliki andil besar dalam membangun opini yang menyesatkan, namun media masa mainstream juga tidak kalah peran pentingnya dalam menyumbang penggiringan pandangan publik. Beberapa media masa tanah air, sebagaimana kita ketahui ada yang memiliki kecenderungan terhadap kepentingan partai politik dan golongan tertentu, karena memang pengelolanya adalah tokoh atau partisan partai politik tersebut.
Di era digital, media online tumbuh sangat subur. Pelbagai kelompok dari aneka latar belakang ideologi dan golongan menyebarkan pengaruhnya melalui media online. Di antara sekian banyak media online tersebut, tak sedikit yang memuat tulisan berkonten menebar kebencian terhadap kelompok lain, membangun opini untuk menjadi anti terhadap kelompok yang tidak sepaham dengan kelompoknya.
Berbicara tentang anti, seminggu yang lalu adalah hari bersejarah bagi mereka yang anti Salman Rushdie. 32 tahun yang lalu, tepatnya 14 Januari 1989 di Bradford, Inggris sekitar 1000-an umat Islam membakar novel The Satanic Verses karya penulis kelahiran India yang bermukim di Inggris itu. Gelombang demonstrasi menentang penerbitan novel tersebut berlangsung di mana-mana.
Imajinasi Salman Rushdie yang dititipkan pada mimpi-mimpi tokoh utama Gibreel Farishta harus berhadapan dengan penguasa dan masyarakat di banyak negara. Persis sebulan pasca pembakaran novel tersebut, pemimpin Iran mengeluarkan fatwa yang menyerukan untuk kematian Salman Rushdie. Novel yang sampai saat ini masih menuai kontroversi hingga kini itu diterbitkan pertama kali oleh Viking Penguin pada September 1988.
Ketika kali pertama novel itu terbit, usia saya baru genap 20 tahun. Saya adalah orang yang cukup beruntung karena dapat mengikuti perkembangan kasus Salman Rushdie melalui BBC London. Eka Budianta, yang kita kenal sebagai sastrawan dan budayawan, sejak 1988 hingga 1991 adalah penyiar BBC siaran Indonesia. Rubrik Seni Budaya yang diasuhnya mengulas secara berkala perkembangan kontroversi Salman Rushdie di pelbagai negara.
Sebuah majalah mingguan tanah air juga memuat ringkasan dan ulasan novel tersebut. Beberapa tahun kemudian saya baru dapat menikmati naskah lengkapnya. Andaikan novel tersebut terbit pada saat perkembangan teknologi semaju sekarang, niscaya akan menjadi perbincangan hangat di banyak kedai kopi. Hoax tentang novel tersebut juga akan bertebaran di mana-mana.
India adalah negara pertama yang melarang The Satanic Verses masuk negaranya. Pelopor pelarangan itu adalah Syed Shahabuddin, seorang diplomat India yang pernah menjadi anggota parlemen pada 1979-1996. Setelah India, berturut-turut Banglades, Sudan, Afrika Selatan, dan Srilanka menyusul pelarangan impor novel ini.
Kasus Salman Rushdie menyisakan trauma berkepanjangan bagi kebebasan berekspresi, tidak hanya di dunia Timur, tetapi juga di Barat. Tidak ingin peristiwa Salman Rushdie terulang kembali, pada tahun 2008 di Amerika Serikat, sebuah penerbit menarik novel yang berjudul The Jewel of the Medina, karya Sherry Jones. Novel ini bercerita tentang harem dan kehidupan keluarga nabi Muhammad.
Penarikan novel ini menuai perdebatan sengit di antara feminis, umat Islam, dan akademisi. Sebagaimana The Satanic Verses, novel ini juga dinilai mendeskreditkan para istri nabi Muhammad. Umat Islam sangat menghormati istri nabi Muhammad. Mereka mendapat gelar sebagai ummul mukminin (ibu dari semua orang beriman).
Karya sastra yang bersinggungan dengan teks-teks keagamaan tidak sedikit yang mendapatkan reaksi keras dari kelompok tertentu. Beberapa negara bahkan memberlakukan undang-undang penistaan agama bagi pelanggarnya. Agama mayoritas biasanya memiliki sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan minoritas. Tidak hanya karena lebih percaya diri karena bisa menggerakkan masa dalam jumlah yang besar, namun di negara-negara yang menerapkan demokrasi setengah hati, agama mayoritas selalu menjadi “tunggangan” penguasa untuk meraup suara dalam pemilihan umum dan mengamankan kebijakan pemerintah.
Pada umumnya negara-negara Barat telah menghapus sejumlah aturan yang berkaitan dengan penistaan agama, meskipun pada mulanya hanya agama Kristen yang dilindungi dari penistaan. Amerika Serikat misalnya, menurut data yang dirilis oleh Constitutional Rights Foundation (CRF) dalam laman resminya crf-usa.org, secara bertahap pengadilan negara menganggap bahwa penuntutan penistaan agama tidak konstitusional atau tidak dapat dilaksanakan. Tidak ada penuntutan atas penistaan agama yang terjadi di Amerika Serikat sejak 1971. Sebelumnya, pada tahun 1952 badan sensor film di negara bagian New York melarang film The Miracle , yang menceritakan tentang seorang gadis yang percaya bahwa ia adalah Perawan Maria yang akan melahirkan Yesus.

Imajinasi liar seorang sastrawan tentang tokoh dalam kitab suci belum tentu dialamatkan sebagai sebuah penistaan terhadap agama tertentu. Ketika Rendra menerbitkan puisinya yang berjudul “Nyanyian Angsa” dalam kumpulan puisi Blues untuk Bonnie (1971) memang sempat menjadi sorotan publik. Mula-mula sajak tersebut ada yang menyejajarkan dengan novel The Last Temptation of Christ karya Nicos Kazantzakis. Novel ini setelah penerbitan pertamanya pada tahun 1955 dianggap sebagai karya yang sesat oleh gereja Katolik.
Adegan seksual antara Mempelai dan Maria Zaitun dalam “Nyanyian Angsa” bisa jadi adalah adegan simbolis, sebagai perwujudan penyatuan umat dan Tuhannya. Mempelai dalam sajak ini dicitrakan sebagai sosok yang menyerupai Yesus, sementara Maria Zaitun adalah perwujudan dari Maria Magdalena, perempuan pertama yang menyaksikan kubur Yesus yang kosong sebagaimana dikisahkan dalam Perjanjian Baru.
Persetubuhan simbolis itu sangat boleh jadi adalah pandangan Rendra yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Belanda, Baruch Spinoza. Dalam pandangan Spinoza, Tuhan memiliki dimensi yang jauh melampaui dunia yang terlihat. Tuhan adalah satu-satunya substansi di alam semesta, dan segala sesuatu adalah bagian dari Tuhan. Apapun yang ada, ada di dalam Tuhan, dan tidak ada yang bisa atau dipahami tanpa Tuhan. Dalam pandangan filsafat Jawa, konsep semacam ini disebut sebagai manunggaling kawula-gusti.
Bisa juga Rendra terpengaruh oleh teks-teks Alkitab non-kanonik, yang disebut juga sebagai teks apokrif (dhoif). Kayakinan umum umat Kristiani memang menyatakan bahwa Yesus tidak pernah menikah. Keyakinan ini didasarkan pada teks Injil kanonik, yakni Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.
Hal serupa juga dilakukan oleh Sigmund Freud. Freud yang dikenal sebagai pelopor psikoanalisis itu dalam bukunya Moses and Monoteism (1972) menyangkal keyahudian Musa. Menurut Freud, Musa adalah orang Mesir dan bukan orang Ibrani. Agama Musa adalah agama Mesir. Landasan keesaan Tuhan yang dibawa Musa adalah agama lokal Mesir yang telah mengakar, dengan penyembahan terhadap Aton sebagai satu-satunya Tuhan. Freud mendasarkan tulisannya pada teks-teks di luar kanon Tanakh Yahudi. Freud dianggap telah mengubah pandangan terhadap sejarah resmi agama Yahudi.
Orang boleh berdebat tentang sebuah karya itu dianggap penistaan atau tidak, tetapi yang jelas sesuatu yang dianggap penistaan ukurannya memang sangat subjektif. Bila yang dijadikan ukuran untuk penistaan adalah adalah perasaan ketersinggungan, maka ukuran itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap sebuah teks atau ujaran, mungkin si A bisa tersinggung, tetapi tidak serta merta dapat dipastikan bahwa si B, C, atau D juga tersinggung. Jangan-jangan yang merasa tersinggung adalah mereka yang gagal paham dan berwawasan sempit.
Akhirnya, terlepas dari itu semua, menarik apa yang disampaikan oleh Salman Rushdie dalam pidatonya di University of Vermont di Burlington, sebagaimana dikutip The Guardian 15 Januari 2015. Ia menyatakan bahwa peran seni adalah pergi ke tepi, membuka alam semesta, dan memperluas pikiran. Tetapi melakukan itu tidak mudah dan seniman tidak dapat menempati jalan tengah. Seniman yang pergi ke tepi dan mendorong keluar sering berhadapan dengan kekuatan sangat hebat yang mendorongnya ke belakang. Mereka menemukan kekuatan diam melawan kekuatan bicara. Kekuatan sensor melawan kekuatan ujaran. Di batas itu adalah tarik ulur antara yang besar dan yang kecil. Dorongan dan tarikan itu bisa sangat berbahaya bagi seniman. Banyak seniman yang sangat menderita karenanya.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)