
Terakota.id—Wayan Suage menarik napas panjang. Ia melemparkan pandang ke luar pintu. Hujan di luar bertambah lebat. Udara gelap oleh awan hitam, sehingga sore hari bagai waktu rembang petang. Tiba-tiba ia mengerutkan dahi. Ia melihat seseorang berjalan di tengah hujan. Orang itu mengenakan pakaian pendeta dan berjalan amat cepatnya.
“Tantre, lihat. Apa akan kita biarkan dia berjalan di tengah hujan?”
Made Tantre berdiri. Diletakkan anaknya di atas meja, kemudian berjalan menghampiri pintu. Dia-diam ia heran menyaksikan ketangkasan orang itu.
“Dia bukan sembarang orang. Langkahnya tegap dan kuat. Kecekatannya melebihi orang biasa. Baiklah kita panggil dia untuk singgah. Berkenalan dengan orang seperti dia, tidak ada ruginya.”
“Tuan! Hari masih panjang. Mengapa tergesa-gesa di tengah hujan badai?” seru Wayan Suage. Dialog di atas penggalan cerita dalam buku Bende Mataram karya Herman Pratikto. Cerita Bende Mataram pernah terkenal saat bisa tampil pada sandiwara radio tahun 80-an.
Singkat cerita, saat itu pendekar Hajar Karangpandan sedang lewat di dusun Karang Tinalang dengan membawa dua benda pusaka; Bende Mataram dan Keris Kyai Tunggul Manik. Dua benda pusaka itu diyakini akan bisa mengantarkan seseorang menguasai tanah Jawa. Itulah kenapa dua benda pusaka itu diperebutkan banyak orang meskipun harus menelan banyak korban.
Saat itu keluarga Wayan Suage (istrinya bernama Rukmini) dan Made Tantre (istrinya bernama Sapartinah) sedang bersuka cita ikut merayakan penobatan Sultan Yogyakarta (1792). Wayan Suage-Rukmini berputra Sangaji. Sementara Made Tantre-Sapartinah berputra Sanjaya.
Atas penobatan tersebut, dua keluarga itu menyembelih ayam. Saat berada di ruang tengah itulah ia melihat seorang pendeta yang kehujanan, yakni Hajar Karangpandan tersebut. Singkat cerita, pendeta itu lalu masuk ke ruangan untuk berteduh dan dipersilakan ikut makan bersama. Sebagai hadiah atas kebaikan dua keluarga Bali itu, ia memberikan dua benda pusaka kepada Sangaji dan Sanjaya.
Ketenangan keluarga Made Tantre dan Wayan Suage akhirnya terusik gara-gara perebutan dua benda pusaka tersebut. Apalagi kalau bukan gara-gara Hajar Karangpandan menghadiahkan bende Mataram ke Sangaji dan Kyai Tunggul Manik ke Sanjaya. Pemberian hadiah dua pusaha tersebut ternyata didengar oleh tokoh-tokoh pendekar golongan hitam. Lalu terjadilah bentrokan kekerasan.
Singkat cerita lagi, Made Tantre meninggal karena mempertahankan harga diri keluarga dan amanah dua benda pusaka itu. Sementara Wayan Suage menjadi pelarian dalam keadaan luka parah karena racun Pangeran Bumi Gede. Sapartinah (dan Sanjaya) kemudian diperistri Pangeran Bumi Gede yang bertawak jahat. Rukmini bersama Sangaji terdampar dan tinggal di tangsi Belanda, Batavia.
Kamukten
Nah, ada kalanya ketenangan di sekitar kita terusik gara-gara perebutan “pusaka”. Ada sekelompok yang menghendaki hidup tenang. Setenang keluarga Made Tantre dan Wayan Suage sebelum kedatangan dua benda pusaka. Ada orang yang tergesa-gesa untuk meraih tujuan dengan target-target tertentu yang bisa mengancam harta dan nyawa seseorang. Bahkan mengancam harkat dan martabat diri sendiri. Semua hanya gara-gara meraih ambisi.
Dua pusaka di atas hanya sekadar alat untuk mencapai tujuan. Tujuannya apa? Kamukten. Jika menjadi penguasa, maka dianggapnya akan mendapatkan kamukten. Bisa mendapat harta, tahta, bahkan wanita lebih dari cukup. Berapa banyak istri raja zaman dahulu? Tak terhitung.
Berapa jumlah hartanya? Tak terbendung. Seperti apa kekuasaannya? Tak terbatas. Itu semua kamukten yang diinginkan oleh individu yang mengejar kekuasaan. Nah, untuk mengejar kamukten itulah benda pusaka Bende Mataram dan Keris Kyai Tunggul Manik dipertaruhkan.
Dalam cerita di atas juga terjadi intrik-intrik dalam usahanya saling memperebutkan dua benda pusaka itu. Saling bunuh dan saling melenyapkan. Ada pendekar golongan hitam ada juga pendekar golongan putih. Ada juga pihak ketiga yang bermain, yakni kekuasaan kompeni Belanda. Sebagaimana kita tahu, kompeni Belanda ingin menguasai Indonesia dengan memanfaatkan dan mengadu domba kekuatan pribumi.
Itu kan cerita zaman dahulu? Apa relevansinya dengan saat ini? Sangat relevan. Bangsa ini di tengah klaim sebagai bangsa yang mengutamakan keserasian, keselarasan, keseimbangan, ketenangan tumbuh menjadi bangsa yang tidak sabar. Dengan kata lain tergesa-gesa. Seolah dengan ketergesa-gesaan itu khawatir tidak mendapat apa-apa.
Tergesa-gesa tak lain adalah salah satu jalan untuk menghalalkan segala cara. Orang yang mudah tergesa-gesa punya indikasi menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Namanya orang yang berorientasi pada tujuan, apapun akan dilakukan.
Mau bukti? Belum bangsa ini selesai dengan perhelatan akbar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Juga belum reda dan selesainya semua konflik yang berkaitan dengan “kecurangan” Pilpres dan proses di Mahkamah Konstitusi (MK), sudah buru-buru dimunculkan kandidat presiden 2024. Bukankah ini sangat dini dan terburu-buru?
Coba lihat rilis yang dibuat oleh Denny JA awal Juli 2019. Dia menyebut ada 15 orang yang berpotensi menjadi Calon Presiden (Capres) tahun 2024. Bukan tidak boleh. Tetapi tentu ini bisa “melukai” dan terkesan tergesa-gesa di tengah “hujan badai”. Harusnya berikan usulan alternatif program pada kandidat terpilih. Namun, semua orang tetap berhak mengusulkan Capres mendatang. Mungkin juga punya target-target tertentu dengan merilis nama-nama tersebut.
Mengapa begitu? Karena orientasi bangsa ini sering hanya pada tujuan. Yang penting tujuan tercapai. Tak terkecuali dengan rebutan menteri oleh anggota koalisi pasangan pemenang. Semua ingin mendapat jatah banyak. Seolah jika tanpa jatah banyak nanti partainya akan bubar.
Sampai-sampai Megawati dalam Kongres ke-5 PDIP di Bali (Agustus 2019) pun merasa bahwa partainya harus mendapat menteri terbanyak. Karena partai itu menganggap diri sebagai pemenang. Sementara presiden terpilih seolah masih dianggap sebagai “petugas” partai. Sangat kasihan bukan presiden terpilih itu? Seolah partai menyandera. Jika tidak menyandera seolah-olah tidak akan mendapatkan apa-apa.
Oleh karena itu, salah satu sifat asli orang Indonesia itu tidak sabaran. Kalau perlu memakai jalan pintas. Untuk apa? Karena hanya berorientasi pada tujuan semata. Soal jalan meraih tujuan itu tidak perlu dipikir lebih jauh, yang penting tujuannya tercapai.
Rasionalitas Tujuan
Saya juga diingatkan pendapat MaxWeber tentang rasionalitas tujuan (zwekrationalitaet). Weber mengatakan dengan rasionalitas tujuan, setiap individu atau sekumpulan orang dalam suatu tindakan mengutamakan pada tujuan tindakannya. Termasuk bagaimana cara mewujudkan, serta akibat-akibatnya. Rasionalitas yang mengutamakan tujuan ini sering tidak mempedulikan pertimbangan nilai.
Artinya, yang penting tujuannya tercapai. Apakah secara nilai tindakannya itu melanggar “kesepakatan umum” atau tidak, tak pernah dipertimbangkan. Orientasi hanya ada pada tujuan saja.
Apakah yang dilakukan partai politik (parpol) atau politisi itu mempertimbangkan nilai? Dalam beberapa hal tidak. Maka bisa dikatakan rasionalitas tujuan mendasari tindakan sosial mereka. Agaknya, rasionalitas tujuan ini menghinggapi manusia-manusia politik di Indonesia.
Manusia Indonesia sibuk memperebutkan kamulyan (baca: kekuasaan) dengan salah satu caranya menguasai alatnya. Alatnya apa? Dalam kehidupan demokrasi perwakilan ini, salah satu alat yang diperebutkan adalah parpol. Makanya, banyak orang berpindah-pindah parpol hanya untuk meraih kekuasaann. Soal pertimbangan nilai kepatutan tak perlu dihiraukan. Sama dengan rasionalitas tujuan Max Weber, yang penting tujuannya tercapai.
Banyak orang tergesa-gesa untuk meraih tujuan. Kata-kata “Tuan! Hari masih panjang. Mengapa tergesa-gesa di tengah hujan badai?” semakin lama semakin tidak terdengar. Suara itu kemudian hilang ditelan hujan badai.