Trocoh: Catatan Ping pong Budaya Pop

Iklan terakota

Ayumu tenanan ora editan
Nggarai aku kedanan
Pancen salahku dewe
Ra ono sing ngongkon
Abot sanggane aku angel move on,”

Begitu baris-baris lagu “Angel” dari Denny Caknan dan Cak Percil. Pesannya mungkin sederhana, bahwa ketika kita bermasalah dengan sesuatu yang sangat kita sukai, kita seringkali solusinya hanya satu: move on dan mencari yang lain. Anjuran ini begitu juga, sampai-sampai ketika kita tidak ada masalah dengan sesuatu pun, kita tidak jarang dianjurkan move on. Ketika kita terus senang dengan sesuatu (dan tidak ada masalah dengan sesuatu itu) tetapi ada hal-hal lain yang lebih baru, kita juga dianggap “tidak bisa move on” kalau tidak mencoba yang baru-baru itu.

Kita dituntut untuk terus update, dan biasanya ketika terus-menerus update, akhirnya barang lama yang sebenarnya masih oke dengan kita pun mau tidak mau harus tersingkir. Tapi, apakah “move on” dan “update” ini harus terus terjadi? Apakah hanya itu pilihan bagi kita? Tidakkah ada cara lain untuk berhubungan dengan berbagai hal? Budi Warsito dan bukunya Trocoh sepertinya memegang etos yang bisa dijadikan alternatif.

Kalau sejak era 1970-an Goenawan Mohamad menerbitkan esai-esai secara berkala di majalah Tempo dengan label “Catatan Pinggir,” maka hari ini kita bisa kenalan dengan Budi Warsito yang punya “Catatan Ping pong.” Apa lagi ini? Itulah label yang bisa kita sematkan kepada tulisan-tulisan karya Budi Warsito yang belakangan sebagian dipilih untuk diterbitkan dalam buku Trocoh yang baru terbit bulan lalu. Sebenarnya “ping pong” ini lebih dari sekadar catatan, tapi sebuah etos dalam menulis.

Budi Warsito adalah seorang pustakawan partikelir, kolektor rekaman dan buku, mantan penulis skrip lawak Extravaganza, dan penggemar barang-barang lawas. Sebagai kolektor plat vinyl, Budi mungkin termasuk golongan kolektor nostalgis kalau menurut daftarnya BBC ini. Dia tinggal di Bandung, tetapi mendapat karunia bisa artefak-artefak bernilai di marketplace barang lawas luring maupun daring dari seluruh dunia. Dan, satu lagi yang memungkinkan semua label identitas ini menjadi lebih berdampak adalah label terakhirnya: dia seorang blogger yang rajin mencatat semua yang bersilangan dalam hidupnya. Dia mencatat itu dalam trocohan-trocohan pikiran, yang sebagiannya terangkum dalam Trocoh, dengan mulus, genial, dan seringkali lucu (kalau tidak jenaka, mana bisa dia menulis skrip acara lawak yang sukses seperti itu).

Tentu esai ini tidak dimaksudkan untuk membanding-bandingkan antara Goenawan Mohamad dan Budi Warsito. Tulisan mereka berdua jelas ada di dua palagan yang berbeda dan nada yang dipakai pun berbeda. Jadi saya tidak akan melakukan ikhtiar sia-sia semacam itu. Yang perlu disoroti di sini adalah dalam tulisan-tulisannya, Budi Warsito mengajak kita pembaca bermain ping pong.

Tapi, kita tidak dijadikan lawan tanding; kita malah dijadikan bola ping pongnya. Kita pembaca diping pong dari masa ke masa: dari hari ini ke masa lalu, dari masa lalu ke masa yang belum lama ini, ke masa yang lain lagi, dan seterusnya. Dari buku ini juga, kita mendapati bahwa kesenangan berbicara tentang berbagai hal dari berbagai masa ini mungkin sebuah alternatif sikap: kita tidak semestinya tenggelam di masa lalu, tapi juga tidak semestinya langsung move on dan meninggalkan masa lalu.

Tapi sebelum terlalu jauh dan membicara etos ping pong itu, mari kita kenali dulu seperti apa buku Trocoh itu. Buku ini berisi 41 satu esai tentang berbagai bentuk budaya pop yang menarik minat bagi penulisnya, Budi Warsito. Seperti tertangkap dalam esai-esai ini, yang menarik minatnya itu sebagian besar adalah musik. Tapi, selain musik dan budaya pop secara umum (seperti film, komik, serial TV, dan sejenisnya).

Setidaknya sekitar 25 dari 41 esai yang ada di sini tentang musik. Tapi selain itu juga ada tentang pernak-pernik, mulai buah-buahan di masa kecil penulisnya, piring terbang di era pasca revolusi kemerdekaan, hingga kelomang di masa pandemi dan sebagainya. Sebagian besar tulisan ini tidak bisa dilepaskan dari hobi Budi mengoleksi barang-barang lawas, terutama rekaman musik dan bahan bacaan.

Di dua wilayah ini, yaitu musik dan bahan bacaan, kita diajak Budi Warsito main ping pong.

Ping pong Musik

Dalam hal rekaman musik yang dicakup, kita bisa dengan mudah menemukan keragaman yang mengejutkan. Dari musik rock n roll Little Richard sampai Sujud Kendang yang melegenda di Jogja. Dari Sheila on 7 sampai Melisa “Abang Tukang Bakso.” Kita pembaca benar-benar dipingpong dari satu wilayah audio ke wilayah yang lain. Keragaman Mari kita mulai dengan zamannya dulu. Di buku ini, penulis berbicara tentang musik dari berbagai masa dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Salah dua musisi Indonesia paling tua yang dibicarakan Budi adalah Oslan Husein dan Adikarso.

Generasi hari ini mungkin tidak lagi kenal Oslan Husein dan Adikarso yang memang besarnya di era 1950-1960-an. Meski begitu, banyak dari karya-karya mereka ini yang sebenarnya sudah masuk ke dalam budaya dan bagian dari sosialisasi kita sejak masih kanak-kanak. Lagu “Papaja Mangga Pisang Djambu,” misalnya, adalah karya Adikarso yang saat ini lebih terkenal sebagai lagu kanak-kanak.

Begitu juga dengan lagu “Andetja Andetji” yang banyak kita dengar lagu film-film Warkop DKI itu; lagu ini karya Oslan Husein. Budi membahas para penyanyi ini dengan segala hal-hal trivia tentang mereka sekaligus juga membahas secara mendetail tentang kegemaran mereka–khususnya Oslan Husein–memasukkan kata-kata tak bermakna di dalam lagu-lagunya (misalnya kata “renana” dan “andetja” itu).

Silakan dengar ini kalau ingin tahu yang saya bicarakan di atas. Pasti banyak yang belum tahu kalau pelantun pertama lagu “Lebaran” yang sekarang terdengar setiap lebaran itu Oslan Husein ini:

Oslan Husein pelantun pertama lagu “Lebaran”

Tapi, setelah mengajak kita menelusuri keunikan-keunikan penyanyi Indonesia lawas itu dalam satu artikel, Budi juga bercerita tentang penyanyi-penyanyi yang lebih baru baik dari Indonesia maupun dunia. Di sini kita bisa berbicara tentang, misalnya, Kurt Cobain dan Nirvana. Tulisan Budi tentang Kurt Cobain sangat menyentuh. Dalam tulisan itu, Budi berbicara tentang bagaimana kegemarannya menulis tentang Kurt Cobain dan Nirvana akhirnya mempertemukannya dengan seorang remaja yang mencoba mengenal ayahnya dan masa mudanya dengan mencari tahu tentang musisi yang paling digemari ayahnya, ya si Kurt Cobain ini. Anak tidak pernah kenal ayahnya yang keburu meninggal waktu dia masih terlalu kecil. Tentu Kurt Cobain ini hanya salah satu satu saja dari banyak penulis dari akhir abad ke-20 yang ditulis oleh Budi Warsito dengan agak mendalam.

Dari dari contoh di atas ini saja, kita bisa melihat adanya keragaman yang diusung Budi Warsito soal musik. Zaman yang berbeda tentu saja terlihat. Selalu ada musisi yang dibahas dari setiap dekade, mulai 50-an, 60-an, 70-an, 80-an, hingga 90-an. Bahkan, ada juga musisi dari awal 2000-an yang dibahas dalam Trocoh. Banyak dari nama-nama itu yang saat ini tidak umum karena musiknya juga relatif tidak terlalu komersial seperti Kraftwerk, band synthwave industrial asal Jerman.

Selain itu, genre-nya tentu saja sangat beragam, mulai dari proto-pop Indonesia, synthwave industrial, grunge, hingga pop 2000-an. Yang tak kalah uniknya adalah adanya keragaman format musik yang dibahas di sini, mulai dari piringan gramofon, piringan hitam shellac, plat vinyl, kaset pita, CD, dan hingga akhirnya format .mp4. Dalam bercerita, Budi Warsito bisa dengan santai dan cenderung jenaka melempar kita pembaca ke berbagai wilayah musik ini, mengajak kita mendengar bocoran-bocoran pikirannya tentang hal-hal itu.

Ping pong Bacaan

Kecenderungan ping pong Budi Warsito ini juga tampak jelas pada bagian-bagian lain dalam buku ini. Dari gambaran di atas tadi, Anda mungkin sudah bisa melihat bagaimana tema tulisan-tulisannya juga sangat beragam, mulai dari album musik, mencari musisi lawas, piring terbang, penjual kelomang, sampai perayaan tujuh belasan. Di antara itu semua, ada hal yang secara khusus sangat menarik, yaitu sumber-sumber bacaan yang bertabur di seluruh buku dan mendukung tema-tema yang dijadikan fokus tulisan-tulisan ini.

Kita bisa dengan mudah menemukan kutipan dari karya sastra dalam buku ini. Hal ini bisa terjadi ketika dia berbicara tentang topik-topik yang tidak sepenuhnya berbicara tentang sastra. Mari kita intip bagian ketika budi berbicara tentang Syd Barrett, vokalis pertama Pink Floyd, Budi Warsito kemiripan yang tak terelakkan antara kemurungan Berret dan Chairil Anwar. Perkenankan saya kutipan seluruh bagian itu:

Beberapa kali terlintas di benak saya, apa jadinya jika Chairil dan Syd, yang terus-terusan bergulat dengan tema kesepian (“Ini sepi terus ada/Dan menanti”) di karya-karyanya, hidup di zaman yang sama dan mereka berkolaborasi? Sebuah medley, mungkin? Seperti “cayaMu panas suci, tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/You feel me, away far too empty, oh so alone” Atau ini, “On the wall hung a tall mirror, distorted view/Sedang dengan cermin aku enggan berbagi”. Bakal seperti apa lirik-lirik Syd “When I was alone/You promised the stone from your heart” diterjemahkan Chairil (dia penerjemah ulung) yang juga pernah menulis baris “Matamu ungu membatu”? (hal. 171-172)

Di sini terlihat kenyamanan betapa nyamannya Budi bermain menyanding-nyandingkan penggalan-penggalan dari lirik ciptaan Syd dan baris-baris Chairil. Memang tidak ada yang maknanya betul-betul sama persis, tapi nada yang muncul sama karena penggunaan imaji-imaji yang sama di kedua potongan itu, antara batu dari jantungmu dan mata yang membatu, antara sunyi dan sendiri, antara cermin yang mengacaukan bayangan dan cermin yang dihindari, dan sebagainya. Sepertinya saya tidak perlu lagi repot-repot menekankan sedalam apa seseorang harus membaca kedua sumber itu untuk mencari hubungan-hubungan seperti ini. Ada juga diskusi-diskusi yang menyangkut cerpen di dalam buku ini.

Selain karya sastra, Budi juga banyak menggunakan komik untuk mendukung tulisan-tulisan khasnya. Kita bisa temukan bahasan-bahasan mulai komik Donal Bebek, cergam majalah Bobo, hingga komik tua terbitan era 1950-an. Komik-komik ini digunakan Budi untuk memberikan gambaran ketika ceritanya berbelok ke berbagai hal lain. Di satu artikel di mana budi menelusuri kemunculan kata “piring terbang” di Indonesia, Budi juga menggunakan komik sci-fi berjudul 1500 KM di atas Bumi Rahasia Piring Terbang dan sebuah cerpen yang diterbitkan di tahun yang kurang lebih sama. Sumber-sumber fiksi populer semacam ini ikut disinggung dalam tulisan-tulisan ini.

Tapi, sumber yang paling banyak ditemukan adalah bahan bacaan populer, khususnya majalah. Hal ini terutama ketika yang dibahas adalah musik-musik yang populer di zamannya. Yang paling mengasyikkan di sini adalah petualangan Budi mencoba melacak kata “punk.” Dari berbagai majalah musik, Budi mendapati bahwa kata “punk” telah muncul di berbagai majalah dan buku sejak era 1970-an.

Dari penelusuran di majalah, buku, dan sampul-sampul kaset ini Budi mendapati bahwa penafsiran atas kata ini berubah-ubah. Tentu banyak kajian di luar sana yang menggali tentang punk sebagai spirit bermusik, komunitas punk, dan punk sebagai sikap. Yang menjadikan penelusuran yang dilakukan Budi ini bernilai adalah dia melakukannya di sumber-sumber yang ada di majalah dan skena musik Indonesia. Dari situ dia dapat menyingkap berbagai respons tentang istilah punk itu di Indonesia sebelum akhirnya kita mengasosiasikan “punk” dengan anak-anak dengan aksesori tertentu yang bergerombol di perempatan jalan atau emperan toko.

Di sini kita bisa melihat bahwa meskipun tampak seperti jenis bacaan yang ringan (lebih ringan dari ibuku), majalah sebenarnya mesin kronik yang kuat. Majalah selalu mencatat hal-hal yang terkini baik dari berita sekilas, peliputan mendalam, maupun dari respons para pembaca di rubrik surat pembaca. Sumber-sumber seperti ini bisa memberikan sumbangan yang penting dalam memahami sebuah fenomena yang baru terjadi di masyarakat dan masih membuat banyak orang bertanya-tanya. Bagaimana kita tahu respons pengkritik Senam Pagi Indonesia pada masa itu kalau tidak dari membaca majalah Tempo, misalnya? Oh ya, kritik semacam ini pula yang kelak membuat pemerintah meluncurkan Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) 84 (dan kemudian disempurnakan jadi SKJ 88).

Satu hal kecil yang penting disinggung adalah kenyamanan Budi Warsito dengan berbagai ejaan bahasa Indonesia. Budi Warsito tampak santai berpindah-pindah bacaan yang dituliskan dalam berbagai bahasa dan konvensi penulisan. Pada saat melakukan penelusuran atas hal-hal tertentu, Budi tampaknya tidak bisa menghindari mengutip sumber-sumber yang ditulis dalam bahasa Indonesia dengan ejaan Suwandi.

Hal itu juga berlaku pada lagu-lagu yang dipilihnya, Lagu-lagu dari generasi Oslan Husein yang menggunakan ejaan Suwandi misalnya, dikutip tetap dalam ejaan tersebut, melebur bersama kata-kata Budi Warsito sendiri yang tentu saja menggunakan EYD. Kemulusan Budi berpindah-pindah antara ejaan yang berbeda-beda tanpa usaha untuk menyesuaikan ejaannya dengan EYD ini mengindikasikan keakraban Budi dengan bacaan yang berasal dari beragam ejaan. Tentu ini sesuatu yang tidak lazim untuk generasi hari ini, atau setidaknya generasi yang lahir dan dibesarkan setelah tahun 1980-an yang sama sekali tidak pernah mengalami ejaan Suwandi dalam aplikasi keseharian.

Generasi ini biasanya tidak nyaman dengan bacaan yang menggunakan ejaan sebelumnya. Benedict Anderson mengkritik kondisi ini sebagai buah dari usaha “penghapusan sejarah” yang dilakukan oleh Orde Baru, yang menginisiasi Ejaan Yang Disempurnakan. Ejaan yang agak berbeda ini menyebabkan segala hal yang ditulis pada era sebelumnya tidak lagi mudah diakses oleh generasi pasca Orde Baru, sebagaimana diulas oleh Achmad Santoso di sini.

Budi tampaknya termasuk anggota generasi ini yang tidak terkungkung oleh ejaan-ejaan ini. Memang yang dia lakukan bukan sesuatu yang secara langsung bersifat politis atau membebaskan, tapi menunjukkan etos pribadi yang siap melakukan penelusuran ke berbagai periode sejarah Indonesia tanpa terbatasi oleh ejaan. Tidakkah dengan etos seperti itu kita bisa lebih jauh mengenal sejarah bangsa kita sendiri di berbagai aspeknya. Sepertinya saya tidak perlu repot-repot melanjutkan dengan klise semacam “bagaimana kita bisa benar-benar menyayangi bangsa kita tanpa benar-benar mengenalnya secara utuh?”

Ping pong dari berbagai jenis bacaan seperti ini terasa rekreatif, baik disadari maupun tidak. Bacaan-bacaan yang dirujuk oleh Budi di dalam cerita ini uniknya tidak tampak seperti memiliki hirarki kepentingan. Semua naskah tertulis memiliki derajat yang sama di hadapan Budi Warsito yang memiliki sepertinya murni digerakkan oleh minat dan kesenangan pribadi dan keinginan untuk bercerita. Kiranya seperti inilah etos yang diperlukan ketika kita benar-benar menaruh minat pada sesuatu dan ingin mengenal hal-hal tersebut sepenuhnya.

Haruskah Kita Move On?

Dari gambaran tentang Budi ini, tidakkah tampak betapa asyiknya kita kalau bisa dengan luwes ping pong dari yang sekarang ke yang lampau? Tidakkah asyik kalau kita bisa menoleh kepada yang lampau bila sedang butuh? Ada saat-saat tertentu mungkin ketika move on adalah satu-satunya pilihan. Tapi, saat kita harus begitu, tidakkah tetap bagus kalau kita tidak benar-benar menghapus yang lalu-lalu itu begitu saja. Kita bisa membiarkannya di sana, berdamai dengannya, agar nanti pada saat-saat tertentu, ketika hanya masa lalu yang bisa menjawabnya, kita bisa dengan mudah mengaksesnya dan bertanya.

Mungkin kita semua perlu belajar dari Budi Warsito. Denny Caknan mungkin hanya perlu berdamai dengan dia dan menyelesaikan hubungan yang “angel” itu. Tapi dia tidak harus sepenuhnya move on. Saya yang cenderung mudah move on dan selalu ingin update ini mungkin perlu belajar dari Budi Warsito lebih jauh. Kita mungkin perlu menumbuhkan sikap yang tidak sungkan-sungkan menoleh ke belakang pada saat yang diperlukan.