
Terakota.id–Nur Adiwijaya, 21 tahun, asal Makassar tak bisa melupakan empat teman sesama Anak Buah Kapal (ABK) Long Xing 629 yang meninggal pada Mei 2020. Tiga orang meninggal di atas kapal, sedangkan seorang lainnya meninggal saat menjalani perawatan di Korea Selatan.
Pengalaman kelam menjadi anak ABK berawal dari iming-iming gaji Rp 6 juta per bulan. Sebelumnya ia telah bekerja di kapal niaga selama enam bulan. Bekerja sebagai teknisi atau bidang permesinan kapal. Setiap bulan, ia mendapat gaji pokok Rp 2 juta. Serta beragam tunjangan, total jenderal setiap bulan lulusan sekolah pelayaran ini mengantongi penghasilan sekitar Rp 4-5 juta.
“Tergiur gaji lebih besar,” katanya kepada Terakota.id melalui sambungan telepon.
Saat itu, November 2018 Adi bekerja di kapal niaga sebagai teknisi mesin. Saat kapal merapat di Samarinda ia bertemu seseorang yang mengabarkan lowongan kerja sebagai ABK kapal ikan di Luar Negeri. Lantas ia meminta izin kepada kapten tempat ia bekerja untuk meninggalkan kapal dan bergegas ke Makassar mengurus dokumen.
Berbekal akta kelahiran, KTP, Kartu Keluarga, Ijazah, Basic Safety Training (BST), buku pelaut, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) ia berangkat ke Cirebon mendaftar ke Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Setelah mendaftar, ia ditampung di sebuah mess perusahaan selama dua pekan.
Selama di penampungan tak ada pelatihan dan bekal khusus bekerja di kapal asing. Termasuk pelatihan bahasa yang digunakan komunikasi selama bekerja. Sebelum berangkat, mereka menandatangani kontrak perjanjian kerja. Isi kontrak antara lain gaji sebesar 300 dolar Amerika, selain itu jika mereka meninggal, maka akan dikremasi. Di luar itu, ada potongan lebih dari 1.000 dolar Amerika Serikat untuk biaya tiket dan penampungan selama di Cirebon.
“Ternyata teman lain hanya dipotong 200 dolar Amerika Serikat. Sempat bertanya ke perusahaan kok beda potongannya?,” tanya Adi. Namun, ia diancam jika menarik berkas dan dokumen harus membayar denda berupa tiket, pengurusan berkas dan biaya hidup. Akhirnya, Adi memilih menerima keputusan perusahaan.
Sesudah menandatangani kontrak, mereka ditampung di Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI). Saat di P4TKI, katanya, seorang petugas menjelaskan jika ada yang bertanya gaji harus dijawab 450 dolar Amerika Serikat.
“Jika ada yang tahu bayaran kami 300 dolar Amerika Serikat, kami tak bisa berangkat. Akhirnya menerima, mau gak mau,” katanya.
Pada 14 Februari 2019 pukul 05.00 WIB, Adi bersama delapan calon PMI berangkat ke Bandara Internasional Soekarno Hatta. Mereka menumpang pesawat tujuan Korea Selatan dan transit di Hongkong. Sesampai di Korea Selatan, ada perwakilan agensi yang menjemput. “Kami dikumpulkan di sebuah tempat di bandara,” katanya.

Kemudian mereka diangkut naik bus ke kantor imigrasi untuk pemeriksaan dokumen. Selanjutnya, bergabung bersama 40-an ABK lain asal Indonesia berangkat ke pelabuhan. Mereka dibagi bekerja di dua kapal berbeda. Bersama 21 ABK ia menaiki sampan menuju kapal Long Xing 629. “Kapten memberi arahan dalam bahasa mandarin. Saya gak mengerti,” katanya.
Bekerja Berat dan Mengalami Kekerasan Fisik
Beruntung ada dua ABK yang pernah bekerja di kapal Cina dan memahami penjelasan kapten yang menerangkan tadi, informasi tadi menyatakan, jika ada yang berkelahi maka gaji akan dipotong selama sebulan. Semalaman kapal berlabuh di dermaga untuk mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM), menyiapkan bekal makanan dan peralatan memancing.
Setelah di laut lepas, Adi bekerja menabur aneka ikan kecil sebagai umpan. Bangun pukul 04.00 diawali dengan sarapan dan langsung bekerja menabur umpan. Usai sarapan langsung bekerja, tak ada waktu beristirahat. Sampai pukul 12.00 istirahat sebentar untuk makan dan kembali langsung menarik umpan. Selama bekerja harus berdiri dan tak ada waktu beristirahat. “Di kapal kerja, makan dan tidur,” katanya.
Mereka mendapat makan tiga kali sehari. Menu makanan tak layak, bahkan mereka meminum sulingan air laur. Sementara pekerja asal Cina minum air kemasan. Ada diskriminasi yang terjadi selama bekerja di kapal ikan.
Soal jam kerja, katanya, selalu tak tentu waktunya, intinya harus sampai semua pekerjaan selesai. Adi mengeluh bekerja di kapal ikan ini yang sangat berat, dibandingkan bekerja di kapal niaga. Bekerja di kapal niaga kerja sehari delapan jam, sedangkan di kapal ikan bisa sampai 12 jam sampai 18 jam.
“Di laut panas. Berdiri terus, jika santai dimarahi. Apalagi kelihatan duduk, langsung dipukul,” katanya.

Ia mengaku pernah dipukul mandor asal Cina di punggung belakang saat awal bekerja. Lantaran kendala bahasa, ia tak paham apa yang disampaikan sang mandor. “Saya bilang iya, iya saya. Dia emosi. Saya dipukul,” katanya.
Pada September 2019 kapal berhenti di tengah laut. Tak beroperasi. Ada yang menyebut perusahaan bangkrut, katanya, namun ada pula kabar yang menyebut ada virus di Cina. “Kami belum tahu ada virus Corona. Tak bisa berkomunikasi, telepon tak ada sinyal,” katanya.
Saat itu, seorang teman sakit. Awalnya bengkak kaki, jika dipencet tak kembali. Lama-lama menjalar seluruh tubuh bengkak. Teman yang sakit mampu melawan penyakit dan sembuh. Namun, ternyata menular ke teman yang lain. Sekujur badan bengkak dan mengalami sesak nafas.
Kapal tak memiliki tenaga medis, namun ABK berkebangsaan Cina memberi infus. Namun, nyawanya tak tertolong. Subuh, teman tersebut meninggal. Lantas jenazah dimandikan, dan disalati. Jenazah dimasukkan peti kedalam freezer. Kemudian dilarung ke laut. Seorang teman berhasil merekam usaha melarung jenazah ke tengah laut. “Merekam dengan bersembunyi. Kalau orang Cina tahu bisa dimarahi,” katanya.
Video tersebut yang kemudian tersebar di media sosial. Dua orang lainnya kemudian juga meninggal di atas kapal. Kapal kemudian merepat ke pelabuhan di Korea Selatan untuk merawat ABK yang sakit. Seorang ABK meninggal saat perawatan di Korea Selatan. Sesampai di Korea Selatan, mereka meminta bantuan ke Kedutaan Besar Indonesia, dan kemudian dibantu oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Sebanyak empat ABK meninggal karena sakit. Dua meninggal di atas kapal dan dua ABK lain meninggal saat menjalani perawatan di Korea Selatan.
Tak Menerima Upah
“Dikarantina selama 14 hari di Korea,” katanya. Selama di Korea Selatan, ia juga memanfatkan berkomunikasi dengan keluarga. Selama bekerja 14 bulan di kapal Long Xing 629, Adi belum menerima upah. Jika dikalkulasikan ia seharusnya mendapat hak upah sebesar Rp 42 juta.
“Teman yang lain sudah dapat gaji, kecuali saya sendiri,” katanya.

Adi mengaku trauma bekerja menjadi ABK kapal asing. Ia bingung, mengapa gajinya tak kunjung dibayarkan. Padahal ia sangat berharap upah segera dibayarkan untuk membantu keuangan orang tua dan bekalnya membina keluarga.
Koordinator Departemen Advokasi SBMI Salsa Nofelia Franisa menjelaskan, Adi dan ABK Long Xing 629 terhubung dengan SBMI lantaran ada korban TPPO yang sebelumnya didampingi SBMI. Lantas saat kapal bersandar, mereka menghubungi SBMI Tegal dan menghubungkan dengan SBMI perwakilan Taiwan.
“Ada ABK pada 2014-2015 didampingi SBMI, turut kembali menjadi korban,” katanya. Lantas SBMI mendesak pemerintah memulangkan mereka ke tanah air. Sedangkan mengenai upah yang harus diterima Adi, dilakukan pendekatan perundingan bipartiet. Serta melayangkan surat, namun dua kali P3MI menolak membayar upah Adi. “Alasannya Adi memutus kontrak sepihak,” katanya.
Sedangkan perundingan tripartit dengan Pemerintahan juga mandek. Untuk itu, kini Adi didampingi SBMI tengah mengajukan laporan pidana TPPO ke Kepolisian. Sampai saat ini masih ditangani Polda Metro Jaya.
Pengadilan Negeri Brebes kemudian memutus bersalah William Ghozali sebagai pihak yang merekrut para ABK. Majelis Hakim menjatuhkan vonis 3 tahun 4 bulan penjara. Sementara dalam kasus yang sama, terpidana Kiagus Muhammad Firdaus diputuskan bersalah di Pengadilan Negeri Tegal 21 Desember 2020. Ketua Majelis Hakim Toetik Ernawati dalam amar putusannya menjatuhkan vonis penjara satu tahun dan dua bulan serta denda Rp 800 juta.
“Menyatakan terdakwa Kiagus Muhammad Firduas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Turut serta melakukan perbuatan menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia,“ yang tertuang dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Salsa menemukan praktik rekrutmen ABK dengan iming-iming gaji besar. Modusnya P3MI mengerahkan sponsor atau pegawai yang merekrut para calon PMI. “P3MI memberi iming-iming gaji gede bekerja di kapal berbendera asing. Kapal mewah, dan enak,” katanya.
Bahkan janji memberikan uang fee bagi keluarga yang ditinggalkan selama bekerja. Padahal uang fee tersebut dihitung utang. Uang diberikan ke keluarga saat keberangkatan. Sedangkan para calon ABK juga jarang mendapat pelatihan. Bahkan banyak yang memalsukan dokumen seperti BSP, dan buku pelaut. Jika dicek nomor registrasi, beda antara identitas yang bersangkutan dengan data di nomor registrasi.
“Daftar ke P3MI, tiga hari kemudian diberangkatkan,” katanya. Jika rekruitmen sudah gak benar, katanya, maka berpotensi terjadi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Untuk mencegah terjadi TPPO, SBMI mendorong pemerintah meng optimalkan perlindungan dan pengawasan penempatan awak kapal. SBMI menuntut Kementerian Tenaga Kerja segera menuntaskan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan.
Apalagi, RPP tersebut sudah menjadi mandat Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia untuk menetapkan pelaksana perlindungan. Pelindungan, katanya, harus terkoordinir dan menhilangkan ego sektoral antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja. “Perizinan jangan tumpang tindih, agar pengawasannya efektif,” katanya.
Pemerintah juga harus masif menegakkan aturan perkapalan terkait migrasi yang aman dan adil terkait buruh migran. Sedangkan bagi calon PMI diminta untuk waspada dan meneliti P3MI yang merekrut. “Jangan terlalu percaya iming-iming sponsor,” katanya.
Para calon PMI antara lain bisa melihat pekerjaan di luar negeri melalui Dinas Tenaga Kerja dan instansi terkait di daerah. Calon PMI harus wasada, katanya, banyak penipuan dan berpotensi terjadi TPPO.
Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mencatat sudah 31 ABK yang menjadi korban kekerasan selama November 2019 sampai Juni 2020. Sebanyak 18 kasus yang diproses oleh Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Polri. Beragam persoalan, yang menjadi penyebab ABK menjadi korban perbudakan di kapal ikan.
Badan Nasional Penempatan dan Perlidungan Pekerja Migran Indonesia BNP2PMI jumlah PMI bekerja di luar negeri terus melonjak. Pada 2017 sebanyak 262.899 PMI, 2018 bertambah menjadi 283.640 PMI sedangkan 2019 sempat turun menjadi 276.553 PMI.

Jalan, baca dan makan