
Oleh : Anggi Gayatri Purba*
“Kawat ukkui rop akek kap aku, ta giok pameruk[1].” Mantra pasilagek[2] mulai menggantikan suara jangkrik. Aroma menyengat dedaunan segar pun mulai terasa menusuk hidung orang-orang yang berada di dalam uma[3]. Tak terkecuali Bai Lima, gadis yang dipercaya masyarakat Desa Ugai, Pulau Siberut telah diganggu oleh Tai Kabagat Koat[4] sejak lima tahun yang lalu. Ia kehilangan separuh kewarasannya karena sering buang kotoran di Sungai Rereiket. Entah sudah berapa ratus kali diingatkan untuk tidak melanggar arat sabulungan[5], tapi Bai Lima selalu saja tertangkap basah asyik berjongkok dengan setengah badan terendam dan kedua mata terpejam di dalam air sungai.
Ia pun sering dibawa berkunjung ke desa sebelah untuk berobat pada sikerei[6], yang lagi-lagi dipercaya sebagai dewa penyembuh bagi penduduk Mentawai. Di lantai kayu yang terbuat dari batang ruyung ini akhirnya Bai Lima menggelepar, seperti ikan yang terkapar. Mata sipitnya membesar, lidahnya keluar, persis seperti ular. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Lelaki berkulit cokelat matang itu kemudian melakukan ritual pasibitbit[7] sambil bersenandung dengan nada yang membuat dada Bai Lima bergetar. Ia mulai mengibas-ngibaskan dedaunan obat dan jejeneng[8] dengan percikan air suci di atas kepala gadis bergigi runcing tersebut.
Mata Bai Lima yang sebelumnya melotot kini tampak setengah tertutup. Seakan suara lelaki ber-kabit[9] merah dengan ikat kepala manik-manik dan bulu ayam tersebut adalah senandung pengantar tidur yang melelapkan. Bahkan tengkorak kera, rusa dan babi hutan yang berbaris rapi di atas tiang juga tampak khusyuk menonton ritual, padahal sebelumnya asyik bergoyang-goyang menikmati tembang mantra dan berdansa dengan angin malam.
Setelah melakukan gerakan-gerakan seperti mendorong dan mengusir roh-roh jahat yang menempel di tubuh Bai Lima, Teu Ronganga—sikerei bertubuh kekar itu langsung melumuri ramuan pasiporot[10] ke seluruh tubuh Bai Lima, termasuk bagian dada yang ditutupi oleh daun pisang kering. Gadis tujuh belas tahun itu diam saja, kedua matanya terpejam, tubuhnya pasrah dibaluri parutan dedaunan obat. Tapi bibirnya melengkung, membentuk bulan sabit. Entah karena karena sudah terlepas dari roh jahat atau sudah terlepas dari hasratnya yang terpendam.
***
“Apa Bai Lima masih bisa sembuh?” tanya wanita setengah baya berperawakan mirip Bai Lima ragu-ragu.
“Ya, tentu.”
“Kau sudah mengatakannya selama lima tahun, tapi kewarasannya tidak pernah kembali. Aku tahu kau tidak pernah menerima sagu, ikan, atau bahkan babi sebagai biaya pengobatan adik iparmu, tapi … tolong katakan apa yang bisa kuberikan untuk membuatnya sembuh? Dia satu-satunya keturunan yang tersisa dari suamiku setelah Bai Muna tewas ….”
Teu Ronganga menelan ludah, matanya berkaca-kaca, lalu berkata,”Sepertinya Bai Lima sudah cukup umur untuk menikah. Seperti yang telah kukatakan di tahun-tahun sebelumnya, dia butuh seorang suami sebagai penangkal gangguan Dewa Sungai.”
“Tapi dimana saya bisa menemukan seorang sikerei yang bersedia menikahi gadis gila? Sejak kecil dia hanya bercita-cita menjadi istri seorang sikerei. Ingin mengikuti jejak saya dan kakaknya, Bai Muna. Dia sering memakai ngalou[11] dan inou[12] sebagai tanda pengikat hubungan, entah dari siapa. Dia belajar memasak obuk[13], merajut jaring dan pergi paliggara[14] seperti gadis mentawai dewasa yang akan menikah. Kala itu saya pikir mimpinya akan pudar digerus waktu. Tapi ketika remaja tingkahnya malah semakin menjadi-jadi, terlebih setelah kematian kakaknya. Adakah sikerei yang mau menikahinya?” Hujan tampak turun dari ekor mata wanita itu.
Teu Ronganga menatapnya lekat-lekat, lalu menghela napas. Ia teringat saat pertama kali wanita itu membawa Bai Lima datang untuk berobat. Wajahnya pucat dan tubuhnya berkeringat. Bagaimana tidak, umur dua belas tahun ia sudah berani mengikir gigi sendiri. Gigi-gigi itu dipahatnya sampai runcing menyerupai taring untuk mempercantik diri, sesuai standar kecantikan para wanita mentawai. Tak terbayang betapa kuatnya daya tahan tubuh anak itu sampai bisa menyimpan ngilu selama berhari-hari. Untungnya tubuhnya tak mau bekerja sama. Ia ketahuan menggigil, panas tubuhnya terasa seperti air yang baru masak. Saat itulah ia dibawa ke Desa Butui untuk diobati. Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal yang belum waktunya, katanya demi calon suaminya nanti. Anak bau kencur yang berbicara tentang calon suami itu akhirnya dianggap gila sampai sekarang.
Kegilaan Bai Lima semakin menjadi-jadi saat ia ditemukan sedang mengaduk-aduk campuran jelaga dan air tebu untuk membuat tinta. Ia ketahuan mencoba mentato bagian dadanya yang telah dilukis terlebih dahulu dengan jelaga berbentuk motif tangguk sebelum dibawa ke Desa Butui, untuk diobati olehnya, lagi dan lagi.
“Di Desa Muntei ada seorang sikerei tua yang sangat handal. Bahkan orang lumpuh pun bisa berjalan lagi setelah berobat dengannya. Jika kau mau aku bisa bicara padanya tentang ….”
“Apa kau ingin saya menikahkannya dengan seorang kakek-kakek?”
“Bukan inginku, tapi kehendaknya, dia sangat ingin menikah dengan seorang sikerei kan?”
“Bagaimana jika kaulah kehendaknya?” Maukah kau menjadi menantuku sekali lagi?” tanya wanita itu penuh harap.
Teu Ronganga mengunci mulut, namun matanya berbicara. Embun yang menggumpal di pelupuknya mengatakan bahwa ia tak bisa bersama Bai Lima, ia tak akan pernah sanggup untuk menjadi menantunya lagi. Ibu Bai Lima tidak bertanya lagi, mata Teu Ronganga yang berembun sudah menjawab pertanyaannya.
“Sudah waktunya memulai pasimate gougou[15], aku harus kembali ke uma dan menyembelih hati ayam.
***
Bai Lima menutup hidung saat disajikan sepotong hati ayam mentah yang masih berdarah di atas daun pisang. Bau amis yang begitu menyengat membuatnya mual dan berkeringat.
“Makanlah hati ayam ini Bai Lima, agar simagere[16] berjalan lancar dan kau bisa kesadaranmu bisa pulih,” perintah Teu Ronganga.
Ia langsung menggeleng dan buang muka.
“Ayolah Bai Lima, anakku, apa kau ingin disuapi?” tanya wanita berwajah sama serupa dirinya, juga kakaknya.
Tiba-tiba Bai Lima kembali menggelepar. Ia semakin menggila ketika disodorkan potongan hati ayam tepat di depan mulutnya.
“Cuih!” Tak disangka Bai Lima meludahi ibunya sendiri.
“Cukup Bai Lima! Jika kau terus membangkang, maka sebaiknya jangan pernah menginjakkan kaki di sini lagi! Aku sudah tak sanggup mengobatimu lagi!” bentak Teu Ronganga kecewa. Ia masih tak terima jika Bai Lima bersikap sangat kasar pada ibunya sendiri.
Bai Lima sangat terkejut. Ketakutan terpancar jelas dari keningnya yang berkerut. Tanpa basa-basi lekas-lekas dilahapnya seonggok hati ayam segar tersebut. Ia mengunyah hati mentah itu sepotong demi sepotong, seperti orang yang berhari-hari tidak makan. Setiap kali ia menggigit, setiap itu pula ia merasa seperti ingin memuntahkan seluruh isi perutnya. Namun entah karena lapar atau apa, ia akhirnya menghabiskan makan malamnya. Butir-butir air hangat pun turut keluar dari ekor matanya sebelum pandangannya gelap dan terasa pengap.
***
Langit hitam telah berganti baju berwarna biru tua. Ayam hutan pun telah bernyanyi dengan nada yang itu-itu saja. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Teu Ronganga selalu terbangun dan pergi ke belakang uma. Ia akan menebang batang pisang dan memetik cabai rawit untuk membuat cairan racun. Setelah itu racun tersebut diolesi pada ujung panah untuk berburu babi. Namun alangkah terkejutnya ia saat melihat di sana sudah berdiri seorang gadis tanpa setangkai daun pun yang menutupi tubuhnya.
“Bai Lima, a-apa yang kau lakukan di sini? Ayo tutupi tubuhmu itu, kau sedang tidak sehat,” pinta Teu Roronga.
“Mengapa harus ditutupi? Bukankan ini yang kau mau? Aku sudah menanti selama lima tahun untuk tumbuh menjadi seperti ini.”
“Apa yang kau bicarakan Bai Lima?”
“Kau ingat ini?” Bai Lima menunjukkan gelang dan kalung manik-manik yang telah pudar di lengan dan lehernya. “Dulu kau memberikannya padaku sebagai tanda pengikat hubungan kan? Kau juga bilang jika kau berharap aku akan tumbuh dewasa seperti Bai Muna. Artinya kau akan mencintaiku jika aku sudah tumbuh seperti kakakku kan?”
“K-kau sudah salah paham. Gelang dan kalung milik Bai Muna kuserahkan padamu sebagai kenangan yang akan bisa membuatmu tumbuh menjadi gadis santun seperti kakakmu. Bukan untuk membuatmu termotivasi menjadi istriku!”
Bali Lima seperti ditampar oleh kenyataan yang begitu pedas. Namun ia tak mau menyerah.
“Ta-tapi kau bisa belajar mencintaiku kan? Rambutku sudah bertambah panjang, tubuhku pun telah bertambah tinggi, bahkan aku juga sudah punya payudara, persis seperti Bai Muna! Katakan, kurang mirip apalagi aku dengannya agar kau bisa mencintaiku?” Hujan mulai menetes dari pelupuk matanya.
“Kau tidak kurang satu apapun Bai Lima, hanya saja bagaimana bisa aku memberimu hati yang sudah kuserahkan pada wanita lain.”
“Si-siapa? Setahuku kau tidak pernah menikah lagi karena sangat mencintai kakakku, Bai Muna. Dan hanya akulah satu-satunya gadis yang paling mirip dengan kakakku.”
“Aku telah terpukau pada seseorang yang wajah, sifat dan tingkah lakunya lebih menyerupai Bai Muna. Dia adalah satu-satunya alasan bagiku untuk tetap mengobatimu yang selama ini pura-pura gila!”
Bai Lima terdiam. Jantungnya seperti dihujam ribuan paku. Hatinya seperti dicabik-cabik taring macan. Matanya tak sanggup menahan hujan yang menumpuk di pelupuknya. Selain dia, hanya ada satu wanita di dunia ini yang paling mirip dengan Bai Muna. Seseorang yang sangat tak asing lagi baginya.
“Bagaimana mungkin ….! Apa yang wanita tua itu lakukan untuk mendapatkan hatimu! Katakan! Katakan apa kau mau aku tumbuh lebih tua lagi agar kau bisa jatuh cinta padaku!”
“Sadarlah Bai Lima, aku tak akan pernah bisa mencintaimu bahkan saat kau tumbuh seribu tahun lagi pun tak akan mengubah keputusanku.” Teu Ronganga mendengus kesal, lalu meninggalkannya begitu saja.
Sementara itu, Bai Lima yang sudah terkelupas dinding hatinya berlari ke arah sungai. Kali ini ia tak ingin buang kotoran lagi, namun ingin membuang segunung kekecewaan yang ditabungnya selama lima tahun. Ia berjalan sampai ke tengah sungai. Di tubuhnya sekarang bertumpuk rasa malu. Tubuh yang dirawat dan dipupuknya hingga tumbuh seperti kakaknya itu kini tak berarti lagi, ia membiarkannya ditelan Sungai Rereikert.
[1] Mari leluhur bantu saya memarut dedaunan ini.
[2] Ritual pengobatan
[3] Rumah adat suku Mentawai
[4] Roh Dewa Air
[5] Kepercayaan orang Mentawai terhadap roh-roh alam
[6] Dukun/tabib Mentawai
[7] Ritual pengusiran roh jahat
[8] Genta kecil
[9] Kain yang dililit sebagai pengganti celana
[10] Ramuan obat yang telah diberi mantra
[11] Kalung
[12] Gelang
[13] Makanan olahan sagu yang dipanggang dalam ruas-ruas bambu
[14] Menangkap ikan di sungai
[15] Menyembelih ayam
[16] Prosesi pemanggilan jiwa, suku Mentawai percaya jika jiwa orang sakit tidak berada dalam raganya
* Anggi Gayatri Purba, gadis kelahiran 12 November 1993 ini sangat gemar menulis cerpen bertema kebudayaan/ lokalitas. Beberapa cerpennya pernah menang lomba, diantaranya Juara 1 Lomba Cerpen Nasional tema “Lokalitas”, Juara 1 Lomba Cerpen Mini dan Juara 2 Lomba Cerpen Remaja yang ketiganya dari Writerpreneur Academy, Juara 1 Lomba Cerpen dari Keppo!, Juara 3 Lomba Cerpen ” Bucket List” dari Gerai Cerita, Juara 3 Lomba Cerpen Perdana dari Kawah Kata dan terbaru Juara 1 Lomba Cerpen “Kepercayaan Lokal” dari terakota.id. Cerpennya yang berjudul “Tragedi Daging Pa’piong” juga dimuat di Medan Pos edisi 01 November 2020.
***Penulis juara 1 Lomba Cerpen yang diselenggarakan Terakota.id

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi