Presiden Sukarno sungkem kepada ibunya Nyoman Rai Srimben alias Ida Ayu. (Foto kolase Tribunnews).
Iklan terakota

Oleh : M. Dwi Cahyono*

Jejak Purba Tradisi Sungkeman
1. Arti Istilah dan Sumber Penyebutannya

Terakota.id–Aktuiditas ‘sungkem’ didapati pada prosesi perkawinan Jawa dan ritus perkawinan pada tidak sedikit suku bangsa (ethnic) di Nusantara. Pada salah satu sesi di dalam prosesi perkawinan ini, kedua pengantin bersikap dan berlaku ke hadapan orang tua serta keluarga yang lebih tua (pinisepuh) dari kedua belah pihak dengan menunjukkan tanda bakti dan rasa terimakasih atas bimbingan dari lahir sampai ke perkawinan. Selain itu, pengantin memohon doa restu dalam membangun kehidupan rumah tangga yang baru, agar selalu memperoleh berkat dan rahmat Tuhan.

Sebenarnya, sungkeman dalam prosesi perkawinan bukanlah satu-satunya yang dilakukan oleh warga masyarakat Nusantara. Hal demikian, secara periodik (tahunan) menjadi ekspresi sikap dan tindakan khss pasca Sholat Idul Fitri dalam apa yang dinamai ‘sungkeman’. Selain pada kedua momentum itu, sungkeman hadir pada peritiwa-peristiwa khusus lainnya dimana anggota keluarga luas melakukan penghormatan, kebaktian, permitaan restu, penngungkapan rasa ‘terima kasih’, dan permohonan ‘maaf’ sebagau orang muda kepada orang lain yang lebih tua. Khususnya kepada orang tua berjenis kelamin perempuan (ibu, nenek, buyut wanita, dsb).

Sebagai istilah, kata ‘sungkem’ dan kata-kata jadiannya telah kedapatan baik dalam bahasa Jawa Kuna ataupun Jawa Tengahan, bahkan berlanjut hingga memasuki perkembangan bahasa Jawa Baru,. Sevara harafiah, kata “sungkem” berarti: membungkuk, menelungkup, berbarig denga muka berada di bawah (Zoetmulder, 15:1150). Istilah ‘sungkem” diartikan sebagai sujud (tanda bakti dan hormat) di dalam bahasa Indonesia (KBBI, 2002:1105). Istilah ini paling tidak telah digunakan pada masa pemerintahan kerajaan Kadiri, terbukti pada penyebutanya dalam kakawin Hariwangsa (12.5) dengan kalimat ‘……. sumungkem ing tilam (menelukup di tikar)’, Bharattayudha (12.2), Gatotkacasraya (11.17), Penggunaannya berlanjut hingga masa Majapahit, seperti didapati penyebutannyadalam kakawin Bhomakawya (45.10), Sumanasantaka (33.9, 126.5, 142.13), Arjunawijaya (69,9), Sutasoma (43.13, 105.6, 125.6), Lubdaka (9.6), Subhadrawiwaha (54.7).

Sikap tubuh dalam sungkem ditandai oleh membungkukkan punggug sebagai tanda meghormat. Makna posisi membungkuk atau merunduk (bahasa Jawa Kua/Tengahan ‘wungkuk’) acap diibarati dengan posisi berdirinya padi ketetika tengah berbuah, .Peribahasa bulilang ‘ilmu-ilmu padi, kian berisi kian merunduk’. Artinya: (a) semakin tinggi ilmunya semakin rendah hatinya, atau (b) kalau sudah pandai jangan sombong, selalulah rendah hati. Kepala yang pada sungkem dihadapkan ke bawah seringkali ditelungkupkan ke pangkuan (karibaan), utamaya pada pangkuan peremuan, khususnya ibu. Ternyata, hal demikian telah diperoleh bertinya di dalam kidung Malat (2.113) dengan kalimat “………… sumungkem ing pangkon ira parameswati (bersugkem di pangkuanya Parameswari)’.

  1. Maksud Ekspresi Sikap dan Tindakkan Sungkem
Sungkeman (Ilustrasi : Semaraccesories).

Sungkem tidak hanya sebatan bersalaman atau berjabat tangan desertai dengan perkataan mohon maaf, namun diikuti pula dengen gerakan tubuh (gesture) membugkukkan badan, entah dalam posisi berdiri atau duduk bersimpuh/bersila. Akhir-akhir ini, sungkem acap dosertai pula dengan mecium telapak tangan atas. Posisi mengkuk atau merunduk itukah penanda yang penting dalam hubungam dengan sikap dan perilaku menghormat. Tradisi penghormatan terhadap Dewa (kami, omikami) Matahari besarta seluruh jagad raya di dalam ritual Shinto di ‘Negeri Matahari Terbit)’ Jepang (dinamai ‘Amaterasu Omikami天照大神 or 天照大御神) atau Ōhiru-menomuchi-no-kami (大日孁貴神)’ dosetai denga sikap merundukkan bada. Bahkan, warga Jepang terbiasa membungkukkan badan sebagai tanda hormat manakala berbicara deangan prag lain yang lebih senior atau orang asing. Gesture yag demikian dalam perolaku tradisional Jawa tergambarkan pada perilaku ketika megucapkan ‘nyuwun sewu (minta maaf umpang lewat)’.

Demikianlah, sungkem bukan perilaku asal-asalan, sebaliknya suatu sikap dam tindakan yang disengaja manakala seseorang beriteraksi dengan orang lain. Maksud yang terkandung padanya adalah: (1) sikap hormat, ta;zim, atau pengarhaan tinggi kepada orang lain, khususya kepada orang tua, guru, imam, pemimpin, suami, arang yang belum begitu dikeal, dan sejenisya; (b) sikap sujud bhakti ayau kepatuhan seorang mausia terjadap Illahi (misalmya dalam ritual Sholat), pemimpim, imam/guru, orang tua. (3) sikap yang menyertai pernyataan rasa terima kasih secara langsung dari seseorang kepada orang atau pihak lain; (4) sikap yang menguatkan kesungguhan di dalam penyampaian permohonan maaf atas suatu kesalahan, dan (5) sikap yang menyertai suatu permohoan kepada orang lain.

Tergambar bahwa dilam sikap dan perilaku ‘sungkem’ terandung makna gestural yang dalam dan mulia, sehingga seantiasa dilakukan dengan seksama, tulus, dan khdmat. Oleh karena itu, dapat difahami apabila sesi sungkeman diposisikan sebagai momentum dalam acara-acara khusus, seperti pembuka sesi ‘mial ‘aidin wal fa idzin’ pasca sholat Idul Fitri, prosesi perikahan, khitanan, kelulusan atau usai pembejaran, perpisahan, dsb. Bahkan, orang merasa ‘ada yang kurang’ apabila pada momentum seperti itu tidak disertai dengan sikap dan perilaku sungkem.

Begitu pentingnya sungkeman atau istilah lain peyebutannya di dalam ‘etika interaksi sosial’, sampai-sampai kedapatan dalam sepanjang waktu, semua daerah, beragam sosialita, bahlan apapun agama yang dianut oleh para pelakunya. Sungkeman bukanlah kegiatan yang sekedar basa-basi atau kepura-puraan, melaikan sebuah ungkapan tulus, sungguh sungguh, dan demi memperleh ridlo Illahi. Boleh kiranya sungkem disetarakan dengan ‘sembah’ atau ‘sembah bhakti’ yang telah pula dikeal pada masa Kawa Kuna, yang meuunjuk kepada tindakkan sikap dan tindakkan pemujaan, rasa hormat, ta’zim, salam hormat atau ta’zim (dalam sapaan maupun mempersemahkan kepada atau menerima dari atasan, khususnya dengan sembah), tanda ta’zim (hormat, kepatuhan), permohonan dengan hormat (Zoermulder, 1995:1069).

Oleh karena itu, terkadang terdapat sebutan yang mengkombinasikan kata ‘sembah’ dan ‘sungkem’ menjadi “sembah-sungkem’ untuk meyatakan penegasan atau atau penyagatas atas yang dilakukannya. Sikap da perilaku yag demikian menjadi petada akan adab kesopanan. Sebagai khasaah utama peradaban pada masyarakat bersangkutan.

Perempuan, Khususnya Ibu, sebagai Prioritas Pasungkeman

Ada sebutan kemulian bagi Kusuma bangsa (pahlawan) yang gugur di medan laga, yakni pernyataan ‘berpulang keharibaan Ibu Pertiwi’. Dalam koteks kalimat tersebut, negeri (tanah tumpah-darah) diistilahi dengan ‘Ibu Pertiwi’, dengan kata ‘Ibu’ sebagai istilah pengibaratan bagi negeri. Hubungan antara ‘ibu’ dan ‘tanah’ adalah simbolitas terkaitan dengan kategori dua (binnary opposition), seperti kategori dua: pria-wanita, tanah-angkasa, atas-bawah, atau yang sejenisnya.

Sebutan ‘Pertiwi’ adalah bahasa Jawa Baru atau bahasa Indoesia atas kata nama dalam bahasa Jawa Kuna/Tengahan dan Sanskreta yakni ‘Pratiwi’ atau “Pratiwi’ sebagai nama sebutan bagi ‘Dewi Bimi’. Oleh karena posisi tanah berada ‘di bawah’ dan dan disimbolisakan dengan ‘ibu’, maka sebutan yang acap dipergunakan terkait itu adalah ‘jatuh’ ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Apa yang terpapar pada alinea diatas mengingatkan kita kepada kisah dalam kakawin Ramayaa. Bagian (kanda) terakhir dari kakawin Ramayana mengkisahkan tentang semacam ‘uji publik’ atas ‘kesucian’ Sita setelah sekian lama disekap oleh Rahwana di tamansari (keputren) kerajaan Langka. Dalam peristiwa itu dikisahka bahwa Sita terjun ke api unggung (pancaka) sebagaimana biasa dilakukan oleh para wanita untuk menyatakan kesetian kasihnya dengan masuk ke dalam api unggun (labuh geni, malbeng geni) menurut tradisi ‘sati’.

Dewata pun memperlihatkan akan ‘kebesaran-Nya’, bahwa ketika Sita terjun ke dalam api unggun, serta merta bhumi terbelah dan jasat Syta tertelan kedalamnya hingga pada akhirnya ia merasakan jatuh ke sesuatu. Ternyatalah bahwa seseuatu itu adalah pangkuan, dan lebih menghentakkan hatinya bahwa ternyata pangkuan tersebut adalah pangkuan Dewi Prarivi, yang tiada lain adalah Bundanya sendiri. Tegasnya suatu ‘aliran memudik’ kepada Sang Ibu.

Tergambar dalam kisah itu, ketika anak berada dalam puncak kesediahan atan tantangan/cobaan hidup, pangkuan Ibu ibarat ‘kasur beledu’, tempat yang nyaman, metramkan dam meleluasakan untuk meruahkan segala keluh kesah, kesedihan, kegundahan atau kepahita hidupnya. Pangkuan atau haribaan dalam fungsi demikian juga tergambar dalam kakawin Bhmakawya/Bhomantaka, dimana ketika Bhoma dalam puncak kesedihan ia mencurahkan perasaannya sembari berbaring di pangkuan seorang Rsi di suatu wanasrama (asrama di dalam hutan). Dalam kaitannya dengan pangkuan Ibu, sebanarnya yang urgen bukanlah paha, melainkan ‘pagkal paha’, yaitu kemaluan Ibu (vulva), sebagai ‘awal terbentuknya’ dan ‘tempat keluarnya’ orok (jabang bayi). Sungkem dalam konteks ini adalah gambaran simbolik mengenai ‘lembali ke vulva/vagina ibu’, berpulang kemuasal, kembali ke jati (kelahiran)nya.

Dalam sejumlah konsepsi sosio-kultura, bahkan ajaran agama, Ibu, Nendek, dan seterusnya ke atas adalah prioritas dalam penghormatan (baca ‘kebhatian’). Islam dengan tegas menyatakan demikian, sebagaimaa tergambar dalam hadis riwayat Imam Buchori sebagai berikut. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut kembali bertanya, ‘kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘siapa lagi?’ Beliau pun menjawab, ‘Ibumu.’ Orang itu sekali lagi bertanya,‘ kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)

Dalam budaya India yang konon kuat pegaruhnya di Nusantara, Ibu ‘diposisikan superlatif’ dalam penghormatan. Itulah sebabnya mengapa maharaja Hayam Wuruk – sebagaimana tergambar dalam kakawin Nagarakretagama – dicitrakan sebagai amat hormat kepada Neneknda Rajatni (Gayatri), sehingga upacara sradha (ritus kematian 12 tahun pasca meninggalnya seseorang) diselenggarakan dengan sangat istimewa.

Dalam sumber tekstual yang lebih tua, yakni prasasti Tugu pada era Tarumanegara, terdapat info bahwa salah satu diantara dua sungai yang digali atas peritah raja Purawarman, yakni Kali Candrabhaga, melintasi areal kediaman dari Nenekda raja, dengan maksid untuk menanggulangi banjir tahunan setiap musim penghujan. Informasi serupa diperoleh pada data arkeologis di situs Baten Lama, dimama Sutan Banten membagun tempat khusus untuk menghormati Bundanya, yakni membangunkan istana bagi Sang Ibu, yang diamai ‘Istana Kaibon’.

Sikap dan Perilaku Pangapuran dalam Tradisi Lebaran

Sungkam saat lebaran atau hari raya Idulfitri. (Ilustrasi :Moeslema).

Sebagiamana telah disebut di awal tulisan ini (alinea ke-1 burit A), salah satu sesi peting dalam prosesi pernakahan Jawa adalah sesi sungkema. Pada sisi ini, mempelai berdua melaksanakan sungkem kepada Bapak-Ibu atau yang mewakili dari masing-masing. Tradisi demikian terjadi pada Hari Raya Idul Fitri. Demikian selesai menjalakan ibadah Sholat Idul Fitri, di lingkungan keluarga diselenggarakan “acara sungkeman’. Anak, cucu, cicit dan para menantu melakukan sungkem kepada orang tua, utamanya kepada Ibu, Nenek ataupun Nenek Buyut, dan ditambah lagi dengan Ayah, Kakek, Kakek Buyut da kerabat tua lainnya yang tinggal di suatu keluarga sebagai fokus berikutnya.

Acara ini didahulukan, dan ada baikknya jangan kedahuluan tibanya tamu yang bersilaturlhmi ke keluarganya. Apabila orang-orag tua itu telah tiada (meninggal), maka ziarah kubur acap didahukan pasca Sholat Idul Fitri. Hal ini dapat diidentikkan dengan ‘sungkeman terhadap orang yang telah meninggal’. Oleh kareaa itu, dapat difahami bila ketika itu pemakaman dalam suasana ramai, tidak seperrti hari-hari biasa.

Sungkeman bukan hanya merupakan sikap dan perilaku hormat kepada orang tuanya, namun juga untuk menyampaikan ‘permohonan maaf ‘ dari pihak muda kepada pihak yang lebih tua. Dalam bahasa Jawa Baru, permintaan maaf diistilahi dengan ‘njaluk pangapuro’ atau bentuk kraminya adalah ‘nyuwun pangapunten’. Perkataan yang lebih superlatif daripadanya adalah ‘nyuwun gunging pangapunten’ – badingkan dengan perkataan yang lebih tua dalam kidung Sirandaka, yaitu ‘nedo gung sinampura’ — atau ‘mugi paring sih samodro pangaksamai’.

Unsur kalimat ‘gung (agung)’ dan ‘sih samodro’ menggambarkan permohonan akan kebesaran atau keluasan maaf dari para orang tuanya (pinisapuh). Pada kalimat itu, permohonan maaf diistilahi dengan ‘pangapuro’, yang adalah istilah Jawa Baru atas istilah Jawa Kuna atau Hawa Tengahan, yakni ‘sinampura/i (kemurahan hati, ampun, ampunan) – kara dasar (lingga)nya ‘sampura/i, dengan varian sebutannya anatara lain ’ampura, apura, sapura’, yang berarti: kemurahan hati, ampun, ampunan’. Istilah itu terdaat dalam kidung Ranggalawe (1.132, 2.3. 7.109, 9.88, 11,75), kidung Sunda (3.18), kidung Sorandaka (5.82).

Beberapa kalimat yang dibicarankan pada alinea diatas adalah permohonan maaf dalam bentuk kata-kata (kalimat). Selain itu, terdapat permohonan maaf dalam bentuk tindakan, baik berupa sungkeman atau paling tidak dengan berhabat tangan, yang dalan istilah Jawa Kuna/Tengahan dinamai ‘atemu tangan (berhubungan tangan)’. Sebutan lain tentangnya adalah ‘salaman’ atau bentuk kraminya adalah ‘saliman’, sebagai istilah yang besar kemungkinan dari bahasa Arab, yaitu ‘salam’.

Perilaku demikian dilaksanakan apabila proses permaafa tersebut berlagsung singkat, sepeti ketika menerima rombongan tamu atau sebaliknya ketika seseorang ataui sekelompok orang datang bertamu (dalam bahasa Jawa Kuna/Tengahan diistiahi dengan ‘sambang”) atau datang menghadap kepada orang yang lebih tiggi derajatnya (dalam bahasa Jawa Kuna/Tengahan disebut “sowan, asowan’). Demikianlah, salah satu sesi yang marak, menggairahkan, beruansa keakraban, dan memperkuat rasa kekeluargaan atau pertemanan Lewat permaafan ini, maka rasa hati menjadi lebar (lapang), sebagaimana sebutan terhadap momentumnya, yakni Lebaran.

Sungkeman dan Pangapuran dalam Khasanah Etika Jawa

Apabila mencermati paparan di atas, diperoleh gambaran bahwa sesungguhnya manusia Jawa memiliki tata kesopaan yang berupa penghormatan dan permaafa. Tata sikap dan tata laku yang demikian telah tumbah, berkembang dan mengakar dalam kehidupan sosial-budaya Jawa sejak amat lama, paling tidak memenjak Masa Hindu-Buddha. Dengan demkian, kebiasaa bermaafan, yang dalam peristiwa Lebaran Idul Fitri bissa disertai dengan kalimat ‘minal ‘aidin wal fa idzin’.dan “halal bil halal” bukanlah baru dikenal ketika pengaruh agama dan budaya Islam memasuki Nusantara.

Ada beberapa pembukti untuk itu, antara lain adanya tradisi: (a) sungkeman, (b) pangapuran, (c) temu tangan, maupun (d) kunjungan keluarga (sambang, sowan). Pendek kata, sesungguhnya sosio-budaya Jawa memiliki khasanah etika yang kaya dan berakar dalam sejarah. Sayangnya, di masa sekarang ‘kekayaan zamrut-manikam etika Nusantara” itu satu per satu lepas pengetahuan da lepas pemahaman pada diri warga masyarakay Jawa itu sediri.

Salah sabuah akhtiar untuk mengenalkan. Memahamkan dan merevitalisasikann melalui tilisan (literasi_, sebagaimana pada tulisan ini. Dalam kaitan itu, diarapkan tulisan ini memberi guna-faedah bagi khalayak mengenai ‘etika Jawa lintas masa’, meski hanya menelaah mengenai: (a) tradisi sungkeman, dan (b) tradisi pagapuran. Muwun.

Sangkaliang, 3 Juni 2018, Griya Ajar CITRALEKHA

Arkeolog, M. Dwi Cahyono menunjukkan pecahan batu padas bermotif di situs Kelandungan, Malang. (Foto : Viva.co.id)

*Arkeolog dan dosen Universitas Negeri Malang

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.