
Terakota.id–Sekitar seratusan anak muda dan pegiat lembaga seniman dan budayawan
muslim Indonesia (Lesbumi) duduk meriung di selasar kantor Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Kota Malang. Mengakhiri bulan ramadan, dengan menggelar tadarus budaya yang melibatkan sejumlah pegiat ikatan seni hadrah (Ishari) Kota Malang memegang rebana, memukul dan memainkan sembari bersalawat. Mereka bermain dan menerangkan secara filosofis tentang hubungan seni dan religi.
Guru besar etnomusikologi University of California Los Angeles (UCLA) Anne K. Rasmussen memperhatikan dan berdialog dengan mereka. Serta menggali kesenian yang digali dan berkembang dalam tradisi Islam di nusantara. Anne tengah melakukan penelitian dan bakal menyusun buku kesenian dan musik Islami di nusantara.
Katib Majelis Hadi Ishari Cabang Malang, Nur Asmari menjelaskan Ishari berdiri sejak 1924 atau dua tahun sebelum Nahdlatul Ulama berdiri. Awalnya beranama Jam’iyyah Hadrah atau kelompok kesenian rebana. Mereka memadukan bunyi rebanan, tepuk tangan dan sambil membaca Kitab Maulid Syaroful Anam dan Kitab Diwan Al Hadroh tentang sejarah lahir dan perjuangan Nabi Muhammad.
“Jam’iyyah didirikan Kiai Haji Abdurrokhim bin Abdul Hadi di Pasuruan,” katanya. Abdurrokhim belajar dari Habib Syekh Boto Putih Surabaya, seorang ulama keturunan Yaman. Ishari, katanya, dikembangkan dari musik tradisi yang dimainkan Habib Syekh. Setiap pukulan rebana, katanya, berirama lazimnya berdzikir.
Saat bermain rebana, mereka bisa berjam-jam. Bahkan sambil membaca Kitab Maulid Syaroful Anam dan Kitab Diwan Al Hadroh bisa dilakukan selama lima jam. Dalam sebuah pertunjukan, sedikitnya dilakukan sebanyak 50 orang. Sampai saat ini Pasuruan menjadi daerah yang paling banyak kelompok dan terus berkembang.
Sedang di Malang, mengalami jatuh bangun dalam mengembankan kesenian yang digali dan berkembang di nusantara ini. Pada medio 1980-an, banyak berdiri kelompok seni hadrah tersebut. Namun, saat ini hanya tersisa sekitar lima kelompok seni hadrah. Seni hadrah ini bermain berdasarkan pakem dan tak dimungkinkan ada kreasi.

Jalan, baca dan makan
[…] Penulis / Sumber : religiku […]
[…] (2018). Kalimat di atas, muncul di halaman pertama buku ini. Pesannya jelas, bahwa meratapi kondisi kaum Muslim, barangkali sekadar percuma. Tapi, ide-ide memiliki sayap, hinggap ke orang-orang yang berpikir, […]