
Terakota.id–Harum hio menguar ke seluruh ruangan Klenteng En Ang Kiong, Kota Lama, Kota Malang. Silih berganti, umat Konghucu mendatangi tempat ibadah. Tepat 15 hari setelah perayaan tahun baru Imlek. Menyalakan lilin, membakar hio atau dupa mereka khusuk memanjat doa dan menghormati para leluhur di depan altar.
Tak ketinggalan sebagian melangsungkan ritual Ciam Si. Meramal atau melihat nasib di tahun baru Tikus dengan mengocok bilah bambu berisi ramalan di sebuah wadah. Hio lantas ditancapkan di sebuah bokor warna emas.

Sementara di samping altar, ratusan orang memadati aula pertemuan. Berjajar ribuan piring berisi lontong Cap Go Meh, tersaji di atas meja. Kuliner khas khusus tersaji saat Imlek, berisi irisan lontong, sayur rebung, telur dan opor ayam. Masyarakat Malang dari berbagai suku bangsa dan agama berdatangan bersama-sama. Menikmati lontong Cap Go Meh.
Menyantap bersama-sama lontong yang hanya disajikan saat perayaan Cap Go Meh. Nikmat. Pemuka umat Konghucu di Klenteng Eng An Kiong, Bonsu Anton Triyono menjelaskan perayaan lontong Cap Go Meh merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah pelaksanaan Imlek hingga 15 hari berjalan baik.
Lontong Cap Go Meh, katanya, hanya ada di Indonesia. Tak ada masakan serupa di tempat asal leluhurnya di Cina. Kuliner khas lontong Cap Go Meh, katanya, merupakan bagian akulturasi budaya. Masyarakat keturunan etnis Tionghoa memanfaatkan bahan pangan lokal, beras. Disajikan dalam bentuk lontong. Sedangkan sayur rebung dipilih, selain mudah diperoleh juga memiliki makna filosofi.
“Rebung, bambu yang masih muda. Tunas, tumbuh. Tuhan menurunkan Imlek saat musim semi di bumi,” katanya.

Akulturasi budaya dan agama terjalin secara turun temurun di Kota Malang. Lontong Cap Go Meh salah satunya, menjadi perekat antar umat beragama. Meski berbeda suku bangsa dan agama tetapi, tetap menyantap lontong Cap Go Meh.
Akulturasi tak hanya ditunjukkan dalam makanan khas yang disajikan saat Imlek. Namun, juga sebutan tempat ibadah untuk umat Tri Dharma, Klenteng juga adabtasi dari bahasa Jawa. Masyarakat Jawa menyebut tempat ibadah umat Konghucu, Budha dan Tao dengan klenteng. Lantaran tempat ibadah ini memanggil umat untuk beribadah menggunakan lonceng.
“Kemudian masyarakat menyebutnya Klenteng. Jadi orang Jawa itu gampang,” katanya.
Dialog Lintas Iman
Sejak pukul 9 pagi, masyarakat meriung di aula Klenteng. Antre, bergiliran mereka mengambil seporsi lontong Cap Go Meh. Siapapun bisa hadir dan menyantap menu yang sama, bisa makan sampai puas, dan kenyang. Sekaligus menyapa umat Konghucu dan masyarakat keturunan Tionghoa di sini.
Mereka berbaur, makan bersama. Tak ada jarak. Disiapkan 3 ribu porsi, siapa saja bisa hadir dan mencicipi lontong Cap Go Meh. Sepanjang lontong masih ada dan tersedia. Salah seorang warga Sawojajar Kota Malang, Elmi Rizki Yanti datang bersama keluarga. Suami, ibu, dan adik.
Elmi telah dua tahun menikah dengan warga keturunan Tionghoa, rutin turut serta merayakan Cap Go Meh. Sekaligus mengenalkan budaya masyarakat keturunan Tionghoa kepada keluarga terdekatnya. “Mama mertua di sini. Menghormati sekaligus pengenalan budaya Tionghoa. Kita kan bhineka tunggal ika,” ujarnya.
Sejumlah tokoh agama juga turut hadir di meja makan. Mereka makan bersama dan berdialog lintas iman. Suster Marselin hadir untuk turut menghormati umat Konghucu dan warga keturunan Tionghoa merayakan Cap Go Meh. Dialog lintas iman terjalin, melalui komunikasi tokoh agama dan kegiatan budaya Tionghoa, lontong Cap Go Meh.

“Merayakan Cap Go Meh ini, merupakan suatu kebersamaan. Suatu kebahagiaan dan kegembiraan kita semua lintas agama,” katanya. Diwujudkan dengan makan bersama, dengan menu lontong Cap Go Meh. Sebagai salah seorang umat Katolik di Malang, Suster Marselin mengaku turut berbangga bisa membaur dengan masyarakat.
Tak ada sekat pembatas. Semua dilayani sama, tak ada pembeda kelas sosial atau suku bangsa. Termasuk pemuka agama, juga dilayani yang sama. Ia juga menguapkan terima kasih disambut dan dilayani dengan ikhlas. “Ini saya kira tidak diundang, tapi semua tahu hari ini adalah hari merayakan makan bersama,” ujarnya.
Menurut pemuka umat Konghucu yang juga juru bicara Klenteng En Ang Kiong, Bonsu Anton Triyono sikap toleransi dan saling menghargai diterapkan sejak lama. Tak hanya dalam beribadah, termasuk melestarikan kesenian tradisional Jawa. Klenteng menyediakan fasilitas dan pelatih belajar karawitan, aneka tari tradisional Jawa.
Seni tradisi Jawa beriringan dengan kesenian etnis Tionghoa yakni barongsai dan wayang potehi. Biasanya kesenian ini juga ditampilkan dalam perayaan Cap Go Meh. Semua harus rukun dan bersama. Sayang, tahun ini absen.
“Kita sebagai bangsa punya filosofi rukun agawe santoso. Kita sebagai manusia, Tuhan memberi contoh untuk rukun dan bersinergi,” katanya. Yakni dengan menunjukkan melalui jari jemari, yang memiliki nama dan tugas berbeda. Namun harus rukun dan bersinergi agar bisa digunakan untuk kegiatan yang bermanfaat.

Bonsu Anton juga mengajarkan toleransi dan merawat keberagaman di keluarganya. Bapak sembilan anak ini membebaskan anaknya memilih agama. Ada yang beragama Kristen, Katolik, Budha dan Islam.
Suara bedug masjid di kawasan Kota Lama bergema, disusul suara adzan. Tanda umat Islam memasuki waktu salat dzuhur. Sementara di dalam klenteng Bonsu Anton turut serta makan lontong Cap Go Meh dan memantau semua tamu terlayani dengan baik. Sementara di dapur, sejumlah relawan mencuci piring.

Jalan, baca dan makan