Toleransi (Bukan) Simbol

Ritus Keagamaan dalam Konteks Sosio-Budaya Lokal Jawa
Umat muslim salat Idul Fitri di Masjid Jami Kota Malang. Jamaah meluber sampai di depan gereja Immanuel dan sepanjang Jalan Basuki Rachmat Kota Malang, (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Oleh : Hasan Abadi*

Terakota.idMemaknai toleransi seringkali starting point-nya berbeda-beda. Meski kita sebagian sepakat pada hasil akhirnya (ultimate goal). Seperti kemarin ketika acara GusDurian Kanjuruhan, demikian disebut sebuah komunitas GusDurian Kabupaten Malang di Institut Agama Islam Al-Qolam, Gondanglegi, Kabupaten Malang.

Mas Pendeta, demikian biasa penulis menyebut, yang menjadi salah satu narasumber, tiba-tiba menodong seberapa jauh  keberanian kita untuk mengusung kehidupan yang saling toleran. Saat ini vihara dan gereja sudah memasang spanduk Selamat Idul Fitri, kapan ya kira masjid-masjid berani memasang spanduk Selamat Natal atau Selamat Waisak? Atau paling tidak kampus Islam apalagi NU seperti kampus Unisma atau Unira Malang memasang di depan kampusnya “Selamat Natal atau Selamat Waisak”, sambil menunjuk ke penulis. Hadirin tepuk tangan, penulis senyum-senyum saja.

Bagi penulis lontaran mas Pendeta itu sebenarnya adalah bagian dari prinsip equality and equity (persamaan dan keadilan). Kerinduan akan equality and equity inilah yang ingin dicapai mas Pendeta dan mungkin tokoh agama lain. Bagi beliau mungkin kalau kami melakukan sesuatu yang sama berilah kami juga sesuatu yang sama. Tentu ini adalah bagian dari endapan cita-cita yang selama ini terpendam.

Penulis kemudian menjawab dalam sesi terakhir, sebelum diminta untuk memimpin doa. Sebelumnya penulis berusaha mencairkan suasana, dengan mengatakan kalau doa yang saya pimpin ini dipending sama Tuhan sampean, jangan salahkan penulis. Itu murni kesalahan panitia, karena seharusnya yang memimpin doa adalah rohaniawan. Sementara penulis dari sudut pandang badan yang gembrot sudah bisa dipastikan bukan rohaniawan tapi Jasmaniawan.

Setelah itu kemudian penulis mencoba menjawab tantangan mas Pendeta tadi terkait pemasangan spanduk Selamat Natal di kampus. Dengan gaya pura-pura serius, penulis mengatakan bahwa kalau di kampus penulis di pasang Spanduk Selamat Natal atau Selamat Waisak, maka penulis akan dimarahi para kiai, para mahasiswa dan seluruh civitas akademika.

Hadirin semua diam, rata-rata mukanya serius dan sebagian agak merah, ada raut kecewa di mukanya. Penulis kemudian bertanya apa sampean semua para hadirin mengerti alasannya? hadirin semua diam. Begini, kata penulis, kenapa kalau dipasang Selamat Natal atau Selamat Waisak di kampus saya semua pada marah? Lha wong selamat idul fitri saja kampus saya tidak memasang spanduk di kampus, apalagi selamat yang lain.

Kenapa tidak masang selamat idul Fitri di kampus? Lho lha Idul Fitri itu kan kami sendiri, umpama saya pas waktu menikah, lha kemudian saya bilang pada diri saya atau buat spanduk selamat menikah ya. Masak saya buat sendiri, saya ucapkan sendiri untuk diri sendiri. Ha…ha….ha….2-1, geer… hadirin baru ngeh dan kemudian tertawa.

Pada dasarnya terkait dengan toleransi harusnya yang diutamakan adalah hal-hal yang substantif. Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita bisa bersandingan, semua pemeluk agama bisa menjalankan ritual ibadahnya tanpa merasa terancam. Bisa bekerjasama dalam bermasyarakat, semua sama di depan hukum, penegakan keadilan tanpa melihat suku dan agama, kesejahteraan bisa dinikmati bersama.

Itulah menurut penulis yang harus diarusutamakan dalam toleransi. Sehingga toleransi tidak hanya sebatas simbol atau kulit, tapi harus merasuk menjadi nafas kita, bangsa Indonesia.

*Rektor UNIRA Malang dan Ketua LP Maarif Kabupaten Malang