
Terakota.id–Air mengucur di petirtaan Jolotundo, Desa Seloliman, Kecamatan
Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Air jernih keluar dari belasan lubang
batu andesit di petirtaan itu. Seolah tak ada habisnya, air terus mengalir
sepanjang musim. Meski musim kemarau, air deras mengucur di petirtaan kuno berusia
seribu tahun lebih.
Wahyudi penduduk setempat menampung air yang keluar dari Jolotundo dalam sebuah
jeriken. Bagi warga sekitar, air dari petirtaan Jolotundo merupakan sumber
kehidupan. Air sumber Jolotundo digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. “Sejak dulu
kami mengambil air di sini,” kata Wahyudi.
Setiap hari warga menampung dalam ratusan jeriken dan galon setiap. Mereka
mengangkut dengan kendaraan bak terbuka. Tak hanya penduduk setempat, pengunjung
petirtaan juga mengambil air dari sana. Air yang keluar dari kolam suci ini juga
digunakan untuk kepentingan ritual keagamaan dan budaya.
Petirtaan Jolotundo terletak di lereng sebelah barat Gunung Penanggungan. Petirtan
memiliki dasar bangunan persegi empat berukuran sekitar 16 meter kali 12 meter.
Bangunan terbuat dari bebatuan andesit, dihias pahatan relief yang dibangun pada
abad 10 oleh Wangsa Isyana.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono menjelaskan Jalatunda atau
Jolotundo merupakan istilah kuno. Jala artinya air, sedangkan tunda berarti
bertingkat. Sebab petirtaan Jolotundo merupakan kolam air yang mengeluarkan air
dari pancuran bertingkat.
“Situs Jolotundo merupakan bukti teknologi tata kelola air saat itu sudah sangat
maju,” katanya di sela Jelajah Petirthan untuk Refleksi Hari Air yang jatuh pada
22 Maret 2017. Air di petirtaan ini berasal dari Gunung Pawitra atau dikenal
sebagai Gunung Penanggungan, yang dianggap sebagai gunung suci bagi umat Hindu
Syiwa.
Air mengalir melalui jaringan atau saluran air bawah tanah menuju Candi Jolotundo.
Air suci itu digunakan untuk mengisi kolam yang digunakan untuk ritual juga
disalurkan ke sawah dan lahan pertanian warga setempat. Air juga dialirkan ke
perkampungan penduduk untuk kebutuhan sehari-hari.
“Situs ini tak hanya bermakna religis untuk ritual, tapi juga sosial. Sebab, air
dari kolam ini juga menghidupi warga,” tegas Dwi. Petirtaan Jolotundo memiliki
fungsi ganda.
Pertautan Tradisi Bali dan Jawa Timur

Situs Jolotundo diperkirakan dibangun pada 899 Saka atau 977 Masehi. Waktu
pembangunan situs menilik pahatan bertulis angka di sisi kanan petirtaan. Situs
dibangun oleh salah seorang raja Kerajaan Medang periode Mataram Kuno dari Wangsa
Isyana di Jawa Timur. Jauh sebelum kelahiran Raja Airlangga.
Saat pertama kali dibangun struktur bangunan petirtaan terdiri dari empat tingkat.
Tapi kini hanya tersisa dua tingkat, bagian kaki petirtaan terhampar kolam luas.
Sedangkan bagian paling atas, berupa berbatuan berbentuk silinder dengan sembilan
lubang yang memancurkan air.
Dulu, relung tengah terdapat arca Raja Airlangga berwujud Wisnu mengendarai
garuda. Arca itu sekarang disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto. Sedangkan kedua
sisinya terdapat bilik. Bilik sisi kiri air memancur dari mulut arca naga
diperuntukkan bagi perempuan. Sedangkan di sisi kanan berupa arca garuda untuk
kaum lelaki.
“Secara morfologis, kedua makhluk itu menggambarkan dua sisi dunia. Garuda
mewakili dunia atas simbol maskulin. Sedangkan naga mewakili feminim untuk
perempuan,” ucap Dwi Cahyono.
Petirtaan Jolotundo merupakan salah satu situs penting. Dari situs ini bisa
diketahui pertautan antara Raja Udayana dari Bali dengan Jawa Timur. Pertautan
budaya ini tergambar pada relief di salah satu tingkat situs ini. Relief
mengisahkan Udayana yang tengah bimbang usai didongkel dari kekuasannya di Bali.
Udayana lari ke tanah Jawa, ditampung Sri Makutawangsawardhana, Raja Medang atau
Mataram periode Jawa Timur dari Wangsa Isyana. Udayana diselamatkan dan dinikahkan
dengan putrinya bernama Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni.
Garis keturunan Udayana dan Gunapriya Dharmapatmi melahirkan Airlangga, sang Raja
Kahuripan di Jawa. “Ini sebuah situs penting. Sayang, bagian situs banyak yang
rusak,” tutur Dwi.

Redaktur Pelaksana