Tiba-Tiba Saya Kangen Keberanian Gus Dur

Iklan terakota

“Jadi, kalau kita kompak, kita bisa menguasai paling tidak setengah pasar dunia atas produk IT. Jadi, jika RRC yang kuat di sektor hardware dan India yang canggih di bidang software serta Indonesia bisa membantu di kedua sektor itu bersatu, kita bisa melahirkan produk IT yang berkualitas dan mampu menguasai pasar dunia”.

Terakota.id–Di atas pernyataan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat berlangsung Indonesian International Telecommunication and Information Technology (IITELMIT). Acara ini diselenggarakan di sela-sela KTT G-15 yang ke-6 di Jakarta Convention Center, Mei 2001.  Saat itu, presiden Abdurrahman Wahid ingin membentuk poros Jakarta-Beijing-New Delhi sebagai tiga negara yang berpenduduk besar. Cita-citanya, jika poros itu jika terbentuk akan bisa mengalahkan Eropa dan Amerika Serikat.

Memang, ketergantungan pada asing membuat Indonesia menumpuk utang. Itu semua harus dipotong. Agar Indonesia mempunyai kedaulatan diplomasi yang tak semakin terpuruk. Tentu saja ide itu mendapat tentangan negara-negara maju yang selama ini melihat Indonesia sebagai pasar utama.

Gus Dur yang tegas menolak untuk menjual aset-aset potensial Indonesia, meskipun memiliki utang segunung seperti Texmaco. Gus Dur ingin agar Indonesia mengibarkan bendera Indonesia dengan ekonomi dan sumber daya. Ini ide yang pernah dilakukan zaman Bung Karno. Waktu itu Indonesia menjadi negara yang sangat dihormati.

Apakah ide ini mudah diwujudkan? Tidak. International Monetary Fund (IMF) tentu menentang kebijakan ini. Karena jika Indonesia kuat, IMF tidak bisa memberikan utang.  Jangan dikira utang itu tidak punya konsekuensi. Karenanya, IMF tidak mengucurkan  dana utang ke kabinet Gus Dur. Baru kemudian saat zaman Megawati (2001), IMF bisa memberikan utang karena kebijakan pemerintahannya  cenderung “mengikuti” keinginan asing dan kepatuan menjalankan program. Jadilah, satu per satu aset negara “dijual” ke asing.

Sejak diantik pada tanggal 21 Oktober 1999, pemerintahan Gus Dur menghadapi problem akut yakni; (1) KKN kian menggurita, (2) pemulihan ekonomi, (3) masalah BPPN, (4) pengendalian inflasi, (5) mempertahankan kurs rupiah, (6) ancaman disintegrasi dan konflik antarumat beragama, dan (7) penegakan hukum dan HAM.

Tugas yang berat, bukan? Mewarisi kekuasaan negara yang kuat dan melemahnya masyarakat sipil. Juga, di tengah tekanan internasional dan kepentingan kelompok politik yang semakin kuat. Jangan heran jika Gus Dur jadi presiden karena “konsolidasi” parlemen. Lewat itu pula Gus Dur “dilengserkan” pada tanggal 23 Juli 2001 saat Sidang Istimewa (SI) MPR RI.

Yang akan saya ceritakan soal keberanian Gus Dur. Gus Dur itu berpijak pada undang-undang, meski secara realitas politik tidak mudah dilakukan. Realitas politik selamanya terjadi persekongkolan. Kita mewarisi pengelolaan negara dimana  setiap keputusan dipertimbangkan secara politis.

gus-dur-dan-warisan-toleransi

Coba simak kegigihan Gus Dur. Ia pernah membubarkan Departemen Penerangan karena lembaga ini hanya menjadi “corong” pemerintah semata. Bahkan manipulasi-manipulasi informasi. Skripsi saya tentang “SIUPP dan Kebebasan Pers 1986-1994” pada 1996 bisa dijadikan rujukan. Ia membubarkan Departemen Sosial pula karena lembaga ini justru punya tingkat penyelewengan tinggi. Sampai sekarang apakah ada sejarah bahwa dana yang dikucurkan lewat departemen ini aman dari penyelewengan?

Lalu Gus Dur juga mengatakan bahwa DPR itu seperti taman kanak-kanak. Kalau tidak Gus Dur tak ada presiden yang berani mengatakan itu. Padahal kekuasan DPR waktu itu sangat kuat. Lalu ada lagi usul penghapusan TAP MPR tentang PKI (TAP MPRS no. XXV/1966). Tentu ini banyak protes. Kemudian ia berani memecat menteri karena dugaan korupsi (April 2000).

Lalu, ia juga membuka hubungan dengan Israel. Puncaknya mau membubarkan parlemen dengan dekrit. Alasan-alasan mengapa sikap kontroversial itu muncul tentu tak cukup diceritakan dalam tulisan ini. Tidak cukup.  Intinya satu; keberanian seorang presiden dalam memutuskan kebijakan berdasar undang-undang.   Meskipun secara politis dia sangat lemah. Negara ini kan negara politis?

Mengaca

Sejak Gus Dur tidak jadi presiden, maka presiden di Indonesia nyaris tak punya keberanian tangguh. Mungkin bisa karena alasan berhitung secara politis. Tentu saja itu sebuah pilihan. Biarlah sejarah yang akan membuktikan. Sejarah ini akan bisa dilihat untung ruginya setelah seorang pemimpin tidak menjabat.

Terus, bagaimana dengan saat ini? Indonesia tetap tergantung pada internasioal, bukan? Cita-cita bung Karno untuk mewujudkan negara mandiri “jauh panggang dari api”. Kita justru semakin terjerembab masuk ke dalam kubangan kepentingan internasional. Utang juga tidak semakin menurun sementara kekuasaan oligarki semakin mencengkeram.

Pendapat saya ini tentu bukan soal suka dan tidak suka pada pemerintah saat ini.  Bukan itu. Tentu saja pendapat saya ini tetap ada yang mencibirnya. Tidak masalah. Kita hanya bicara fakta saja.  Tapi intinya, kemandirian negara ini semakin jauh dari harapan. Sementara kita itu punya modal kuat (penduduk banyak, sumber daya alam melimpah, dan rakyat yang patuh). Rakyat patuh membayar pajak meskipun pendapatan negara banyak dikorupsi. Namun, bayang-bayang oligarki semakin kuat. Negara ini akhirnya akan dikuasai oleh segelintir orang.

Sebuah kemandirian bangsa akan menciptakan keberanian dan kemapanan dalam setiap keputusan kenegaraan. Orang yang punya utang banyak dan terantung pada sekelompok orang tentu tidak bisa membuat keputusan cepat dan independen. Sekali lagi, ini bukan soal suka dan tidak suka.

Pandemi

Nah, bagaimana dengan realitas penanganan virus Covid-19 di Indonesia? Kita jangan terjebak pada bagaimana keputusan pemerintah. Lihat dahulu, apakah pemerintah kita itu bisa independen tanpa campur tangan asing atau sekelompok oligark? Kita bisa membuka-buka sejarah dan peran kaum oligark itu  dalam politik. Apa hasilnya? Hasilnya jelas, pemerintah kita tergantung mereka.

Hal itu bisa disimpulkan bahwa setiap keputusan politik pun akan disesuaikan dengan kepentingan kaum diluar pengambil kebijakan dalam pemerintahan tersebut. Ini bisa dilihat dari keputusan yang berbeda dari sejumlah pejabat soal penanganan Covid-19. Juga bagaimana lambannya pemerintah mengantisipasi. Bagaimana pemerintah, melalui Menteri Kesehatan (Menkes) merasa perlu menutupi penyebaran virus itu. Padahal virus tersebut menyebar dengan cepat menerobos batas ruang dan waktu.

pagebluk-isu-global-pandemi-yang-melokal-bagian-1
Petugas medis berpakaian pelindung menangani pasien virus corona Covid 19 baru di unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit yang ditunjuk di Wuhan, provinsi Hubei, Cina, 6 Februari 2020. (Foto : China Daily).

Ini bukan soal membuat cemas atau tidak.  Setiap pemberitaan di media itu bisa punya dampak berbeda. Tergantung bagaimana memaknainya. Apakah berita meninggalnya pasien positif Covid-19 itu selamanya negatif? Apakah berita soal sembuhnya yang kena virus itu melulu informasi positif? Tergantung kita memaknainya. Berita pasien positif virus meninggal membuat kita waspada. Berita sembuhnya pasien positif virus itu kalau membuat kita kurang waspada juga tidak baik, bukan?

Bagaimana soal karantina wilayah, social distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) itu kan hampir sama? Intinya satu; menekan agar individu tak berkumpul berdekatan.

Istilah di atas menjadi masalah karena dikaitkan dengan kepentingan politik. Jangan-jangan juga ada menteri  atau pejabat lain yang bekepentingan? Misalnya jika dilakukan karantina wilayah bisnisnya akan rugi. Sementara mereka ini punya pengaruh dalam kekuasaan. Coba kita teliti sejumlah dokumen. Nyata bahwa pemerintah di bawah cengkeraman kepentingan kelompok tertentu. Sementara jika pemerintah hanya maunya menjaga citra maka apapun yang terjadi di masyarakat nyaris tidak mendapat menanganan cepat.

Kita paham bahwa pemerintah membutuhkan kemapanan. Apalagi pemerintah yang tidak punya ketegasan yang hanya berada dalam bayang-bayang kaum oligark. Ini bukan soal tidak suka dan tidak suka pada pemerintah. Sementara itu masyarakat umum tidak banyak yang mengetahui pernik-pernik gurita kepentingan kekuasaan. Mereka tahunya hanya kebutuhan sandang, pangan dan papan cukup. Kebutuan-kebutuhan itu bisa dipenuhi dengan baik dalam jangka panjang kalau bangsa ini menjadi negara yang mandiri.

Bisa saja dalam mengatasi pandemi ini pemerintah menggelontorkan dana. Bisa saja pemerintah membangun fasilitas fisik di setiap wilayah. Itu mudah. Tapi kalau dana berasal dari utang atau investor yang membuat bangsa ini tidak mandiri apa yang dibanggakan? Saya tidak bermaksud menghujat. Tidak. Masalahnya setiap keputusan kebijakan cenderung bermuara politis. Untung dan tidak untung. Setiap pemerintahan memang selalu dihadapkan pada problem ini. Hanya masing-masing berbeda keberaniannya untuk lepas dari kepentingan keputusan politis.

Hanya pemerintah yang punya keberanianlah yang bisa memutus mata rantai yang kian kuat memengaruhi setiap kebijakan. Itu semua berguna untuk mewujudkan kemandirian bangsa ini di masa datang sebagaimana dicita-citakan para pendiri republik ini. Dalam hal ini saya jadi rindu eranya Gus Dur.