Ilustrasi : freepik.com
Iklan terakota

Terakota.id–Di era media sosial, rasisme justru semakin membara. Fatalnya, pelaku rasisme di Indonesia adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Salah satunya adalah rasisme yang dilakukan oleh Ambroncius Nababan, seorang politisi Partai Hanura. Ambroncius Nababan menyerang Natalius Pigai, yang berasal dari Papua, di Facebook dengan mengunggah foto Natalius Pigai yang disandingkan dengan seekor gorilla. Perilaku rasisme yang terjadi di media sosial adalah perbuatan yang tidak beradab dan harus dilawan.

Selama beberapa tahun terakhir, pendukung pemerintah, termasuk terutama para buzzer (pendengung) menyerang kaum oposisi dengan sentimen rasis. Julukan yang disematkan oleh para pendengung kepada oposisi dengan menyebut “kadrun”, sebuah akronim dari kadal gurun bersliweran di media sosial. Serangan rasis dengan sebutan kadrun yang dilancarkan oleh para pendengung kepada oposisi yang berasal dari kelompok Islam terus bergema di media sosial.

Ambroncius Nababan bukan orang pertama yang menyerang secara rasis kepada Natalius Pigai. Sebelum ini, Pigai juga menjadi saran rasisme, Yusuf L. Henuk, seorang profesor Universitas Sumateri Utara (USU) dan Permadi Arya alias Abu Janda. Keduanya menyerang Pigai yang menjurus rasisme. Permadi Arya dalam Twitternya menyerang Natalius Pigai dengan kalimat  “Kau @NataliusPigai2 apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belom kau?”

Perilaku elit politik dan pendengung yang rasis menunjukan ketidakberadaban dalam kehidupan.  Dalam sejarah peradaban di berbagai belahan dunia, rasisme telah terbukti mendorong terjadinya kekerasan rasial, segregasi dan diskriminasi sosial, termasuk juga genosida. Kekerasan yang terjadi di Amerika Serikat di sepanjang tahun 2020 meledak sebagai akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di negara tersebut terhadap seorang penduduk keturunan Afro Amerika bernama George Floyd.

Lawan Rasisme

Kematian George Floyd telah membangkitkan sentimen global. Gerakan Black Lives Matter menjadi gerakan global yang terjadi di berbagai negara. Solidaritas terhadap George Floyd, yang berarti juga solidaritas melawan perlakuan rasis kepada kulit berwarna, bahkan dilakukan para pemain di beberapa kompetisi sepak bola. Di Liga Inggris para pemain memberikan penghormatan sebelum pertandingan dimulai. Sejurus dengan itu, otoritas sepak bola di Inggris mengkampanyekan gagasan Tiada Ruang untuk Rasisme (No Room For Racism). Di jersey para pemain dan official, bagde bertuliskan No Room For Racism dipasang.

Rasisme adalah seburuk-buruknya ideologi. Hal ini karena doktrin atau sistem kepercayaan ini menyerukan mengenai adanya perbedaan biologis pada ras manusia. Hal ini serempak akan memutuskan pencapaian budaya atau individu karena latar belakang biologis.

Perilaku Ambroncius Nababan, Yusuf L. Henuk, dan Permadi Arya menunjukan sentimen rasis bahwa  tentang sebuah ras tertentu yang lebih unggul berhak mengatur ras lainnya. Sentimen yang tentu saja sangat bertentangan dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam Pancasila.

Di masa lalu, rasisme telah menjadi api yang menyulut kehancuran peradaban. Adolf Hitler adalah contoh paling buruk tentang rasisme. Sebagai politisi, Adolf Hitler menggunakan isu rasisme untuk memeroleh dukungan publik. Dengan mudah, dukungan publik didapatkannya sampai kemudian Perang Dunia II meledak. Selama perang, genosida terjadi di Eropa.

Jerman yang kalah perang akhirnya harus terbagi dua selama beberapa dekade.  Setelah terpisah oleh Tembok Berlin, Jerman kembali bersatu di tahun 1990. Sejarah buruk rasisme yang dibangun oleh Adolf Hitler dikubur sedalam-dalamnya.

Di Afrika Selatan, catatan kelam rasisme adalah politik apartheid. Sebuah kebijakan politik yang memisahkan kaum kulit putih dengan kulit hitam. Mereka yang berkulit putih, terutama adalah keturunan Eropa, mendapatkan perlakuan lebih istimewa daripada penduduk berkulit hitam.

Secara administratif, di masa politik apartheid, Afrika Selatan dibagi menjadi dua bagian 80 persen wilayah negara itu dimiliki warga kulit putih. Sedangkan warga kulit hitam ditempatkan di wilayah termiskin yang disebut sebagai homelands atau tanah air. Warga kulit hitam diberi kewenangan terbatas untuk membentuk pemerintahan administrasi mandiri, namun secara ekonomi, sosial dan politik mereka mengalami isolasi.

Sejarah kelam Afrika Selatan berhenti di tahun 1990. Politik apartheid resmi dicabut. Negara di ujung selatan benua Afrika ini merayakan keberagamannya dengan menjadi tuan rumah ajang paling bergengsi sepak bola, dengan menghelat Piala Dunia tahun 2010. Afrika Selatan, dua puluh tahun setelah memutus rantai berkarat politik apartheid, membuktikan bahwa dengan menghilangkan ruang untuk rasisme, peradaban akan maju.

Sementara di negara-negara lain, gagasan rasisme ditolak, di Indonesia justru sebaliknya. Media sosial telah menjadi media yang digunakan oleh politisi dan pendengung untuk kepentingan politik praktis. Kepada mereka yang menyuarakan rasisme, seharusnya tidak lagi diberikan ruang. Berhenti mengikuti akun politisi dan pendengung yang rasis adalah Tindakan yang bisa dilakukan kita semua.

Mantan presiden Amerika Serikat, Barrack Obama pernah menulis di Twitternya, “Tak satu orang pun lahir dengan membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya.”