Terakota.id–There is no free lunch (tidak ada makan siang gratis). Ungkapan ini pernah popular pada tahun 1872 di Crescent City (New Orleans), Amerika Serikat. Ceritanya, di negara itu ada kecenderungan dan gaya hidup makan siang gratis di sejumlah bar. Mengapa pemilik bar itu menggratiskan makan siang? Tentu bukan gratis sekadar gratis. Para pemilik tetap membebankan pembayaran minuman bagi pengunjung. Pemilik juga menduga bahwa pengunjung bisa minum lebih dari satu kali.
Itu semua dilakukan para pemilik bar karena pesaingan bisnis yang sangat ketat. Sehingga ada kebijakan menggratiskan maka siang, meski minumannya tetap membayar. Jadi intinya, tetap ada orang yang membayar untuk mendapatkan sesuatu. Bukan gratis tidak membayar sepeserpun. Jadi, tidak ada yang cuma-cuma alias semua serba membayar. Promosinya saja gratis tetapi tetapi mengeluarkan biaya.
Tidak PD
Beberapa waktu lalu jagat dunia maya Indonesia dihebohkan dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW). Tidak tanggung-tanggung, ICW menemukan biaya yang dihabiskan para influencer pemerintah mencapai hampir 1 triliiun. Fantastis bukan?
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi lembaga dengan anggaran terbesar untuk influencer. Anggarannya mencapai Rp 77,66 miliar. “Lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Rp 1,6 miliar, Kementrian Perhubungan dengan Rp 195,8 juta dan Kemeterian Pemuda dan Olah Raga dengan Rp. 150 juta, “kata Peneliti ICW Egi Primayoga.
Lalu, temuan itu ramai dibicarakan orang. Tentu saja tetap ada yang pro dan kontra. Namun kecenderungan menyayangkan pemborosan biaya negara hanya untuk influencer patut dicatat. Sebagian diam saja karena bagian dari pendukung pemerintah. Bisa jadi, mereka ini juga sudah jengah dengan kebijakan pemerintah tetapi memilih diam daripada nanti “dibully” kelompok penentang pemerintah garis keras.
Pertanyaannya mengapa pemerintah perlu influencer? Pertama, sosialisasi kebijakan. Era berubah. Tuntutan berubah. Zaman juga semakin maju. Maka, tuntutan media sosialisasi pun harus ikut berubah. Masyarakat sekarang melek media internet. Sementara untuk melakukan itu, birokrasi pemerintah terlalu lambat. Pilihan memakai influencer dianggap paling rasional.
Tentu saja tugasnya mendengungkan program pemerintah tersebut. Tak ada pilihan lain. Ibarat petugas mereka tak bisa melawan yang menugaskan. Mereka digaji juga untuk itu. Apalagi yang menugasi itu pemeirntah, pihak yang punya kekuasaan dan dana. Gengsi juga. Bangga pula. Kapan lagi?
Ya paling tidak bisa membantu pemerintah untuk menyosialisasikan program-programnya. Meskipun banyak yang tahu program-program itu juga ada yang cuma lips service. Tetapi itu sudah menjadi kebanggaan. Tak semua para para pesohor atau pihak-pihak tertentu dipercaya pemerintah.
Kedua, pemerintah aslinya tidak Percaya Diri (PD). Ia perlu menggunakan influencer untuk memengaruhi opini publik. Bahwa alat-alat negara selama ini dianggap tidak mumpuni lagi dalam melakukan sosialisasi kebijakan. Bahwa pemerintah juga merasa minder karena program-program kerjanya untuk mengatasi pandemi covid-19 ini terasa lamban.
Mengapa begitu? Lihat saja simpang siur penanganannya. Bagaimana antar pejabat pemerintah berbeda pendapat. Ada pula jawaban seenaknya terkait pandemi covid-19 ini. Hampir semua pejabat punya pendapat dan ada beberapa pendapat yang tidak rasional. Itu membuktikan bahwa pemerintah memang kedodoran dalam menangani pandemi ini. Memang, tak ada pilihan paling jitu dalam usaha menekan laju virus covid-19. Tapi setidaknya kebijakan cepat, konkrit, tak hanya membuat tenang sementara perlu dihindari terlebih dahulu.
Itu harus diakui. Pernyataan ini juga bukan sikap tidak suka pada kebijakan pemerintah. Sekuat apapun kritik dan pendapat yang berbeda dari masyarakat tetap akan kalah dengan alat-alat negara, apalagi juga didukung oleh influencer dan apalagi buzzer. Tugas influencer harsnya mengatasi silang pendapat yang muncul di masyarakat tersebut – untuk tak mengatakan hanya membabi buta mendukung penyokong dana.
Mundurnya Demokrasi
Tugas influencer memang begitu. Ia bertugas sesuai “pesanan”. Tentu ada juga influencer yang tidak dibayar. Mereka dengan suka rela membantu program-program pemerintah. Bisa karena memang bagus programnya, atau barisan pembela. Para pembela yang membabi buta ini sering disebut dengan buzzer. Gerakannya reaktif. Mereaksi dan menolak isu yang kontra pemerintah. Apakah yang kontra kebijakan pemerintah tak ada buzzer? Tetap ada.
Influencer dan buzzer memang beda. Tetapi punya kesamaan. Sama-sama punya tugas memengauhi opini pubik, dengan caranya masing-masing.  Mereka menjadi masalah saat sudah terlibat “perang” di medsos (twitwar). Misalnya ada perbedaan pendapat dengan program pemerintah. Ada yang mengkritisi dan menyoroti. Lalu para influencer dan (terutama buzzer) menyerbu mereka yang berbeda pendapat tersebut. Bahkan sampai menjatuhkan martabatnya.
Lihat bagaimana rapinya mereka bekerja. Amati hastag tertentu. Ia akan muncul hampir bersamaan. Hastag yang tentu saja menolak berbeda pendapat yang muncul di masyarakat. Ada komando untuk memviralkan hastag. Akunnya kebanyakan anonim. Mereka memang bekerja untuk itu. Karena memang pesanan “komandonya” juga seperti itu. Hal inilah yang membuat buzzer mempunyai konotasi negatif. Bahkah influencer yang punya konotasi positif punbisa ikut menjadi negatif. Hanya karena mereka bekerja sesuai dengan petunjuk dan bayarannya.
Mau bukti? Lihat apa yang menimpa Tirto.id dan Tempo.co. Dua media ini pernah kena retas. Tirto kena retas karena memberitakan soal kebijakan vaksin. Sementara Tempo kena retas setelah sebelumnya memberitakan soal covid-19 juga influencer. Apakah ini kejahatan? Menimpa lembaga apapun atau siapapun, namanya peretasan itu jelas perilaku buruk.
Sementara itu, para pejabat pemerintah tak banyak yang berbicara tegas terkait praktik tersebut. Kecuali ada laporan atau melaporkan. Apa mereka memang menikmati serangan pada perbedaan pendapat dari masyarakat yang muncul? Entahlah.
Tak heran jika catatan Freedom House dan The Economist menempatkan demokrasi Indonesia sebagai demokrasi yang cacat (frawed democracy) bahkan demokrasi yang abai pada demokrasi sipil (illiberal democracy). Ini tantangan demokrasi kita di masa datang.
Demokrasi kita masih tergadaikan dengan “uang dan kekuasaan”. Siapa punya uang atau kuasa bisa merebut praktik demokrasi. Tentu saja disesuaikan dengan kepentingan uang dan kekuasaan tersebut.
Nah, apakah influencer itu ikut mendukung tegaknya demokrasi di Indonesia atau tidak? Kalau buzzer sudah jelas, hanya bikin ruwet. Yang pasti, there is no free lunch.