
Oleh: Nurudin*
Terakota.id— Sharon Stone dengan siasat cerdik, culas dan kecantikannya pernah “membunuh” Michael Douglas dalam film Basic Instinct. Keseksian tubuhnya pun menjadi senjata utama. Karenanya, ia bisa disebut dengan sexy killers. Sharon Stone yang lain, kini ada di serkitar kita sebagai the real sexy killers. Mengapa itu bisa terjadi?
Catherine Tramell seorang wanita pembunuh berdarah dingin. Ia juga punya otak cerdas dan banyak siasat. Yang paling utama bagi pembunuh seperti Tramell adalah kecantikannya. Itulah senjata utamanya. Tramell semakin terkenal saat membunuh kekasihnya (pengusaha dan mantan rocker). Dengan kecantikan dan keseksiaannya, ia sering terhindar dari interogasi aparat hukum.
Tramell bukan nama sebenarnya. Ia salah satu tokoh yang pernah terkenal dalam film Basic Instinct (1992). Trammel diperankan oleh Sharon Stone. Bintang lainnya Michael Douglas (Nick Curran). Film garapan sutradara Paul Verhoeven ini pernah menjadi kontroversial.
Kontroversinya film itu bukan lagi soal pembunuhan, ada hal lain yang lebih menarik saat Tramell mengandalkan keseksian dan kecantikan tubuhnya. Dari seluruh adegan, yang menarik saat Sharon Stone itu diinterogasi detektif Curran (Michael Douglas). Jika Anda menanyakan pada orang yang pernah menonton film ini, maka adegan Stone saat diinterogasi Douglas akan selalu diingat.
Tramell pernah diinterogasi berhadap-hadapan dengan Curran. Saat diinterogasi, ia sengaja membuka kedua tungkai kaki untuk menggoda dan mengalihkan perhatian Curran. Tentu saja Curran sempat menelan ludah saat melihat “wilayah privat” Tramell.
Dalam adegan tersebut, mini dress putih yang dikenakan Tramell dengan tubuh seksi sempat menggoda Curran. Sehingga perhatiannya jadi kabur. Tentu saja, detektif itu sempat tergoda sensualitas Tramell dengan kepribadiannya yang sangat misterius. Dalam diri Curran ada pertarungan antara tugas, nafsu laki-laki dan kewajibannya sebagai detektif karena korban terus berjatuhan.
Tentu saja, Catherine Tramell bisa dikatakan seorang pembunuh seksi berdarah dingin karena kecerdasan dan kelicikan untuk berkelit. Sebut saja ia sexy killers (pembunuh seksi).
Berkeliaran
Dewasa ini pun kita sedang diramaikan dengan beredarnya film dokumenter garapan Tim Ekspedisi Indonesia Biru dan WatchDoc. Film itu bercerita tentang tambang batu bara di Kalimantan Timur yang telah menelan banyak korban nyawa. Berdasarkan data tahun 2011–2018, di Provinsi Kaltim sebanyak 32 jiwa melayang akibat galian tambang. Galian lubang tambang itu tidak direklamasi (ditutupi). Padahal sesuai perjanjian awal, saat proses penambangan selesai, tidak serta merta tugas perusahaan tambang berhenti. Film ini menjadi menarik karena ada tali temali dengan kekuasaan yang berada di belakangnya.
Saya tidak akan banyak cerita tentang film para pembunuh seksi seperti Sharon Stone atau juga Angelina Jolie (lihat film Tom Raiders atau Mr Smith). Tapi mengapa pembunuhan yang seksi ini layak diperbincangkan?
Film di atas, bisa dikontekskan pada kejadian saat ini. Betapa banyak para pembunuh seksi berada di sekitar kita. Atau justru kita sendiri si pembunuh seksi itu? Atau jangan-jangan lagi, dalam pikiran dan perasaan kita telah menumbuhkan untuk menjadi jagal tersebut?
Para pembunuh seksi itu memang tidak berada di sekitar kita secara fisik. Tetapi ada dalam tubuh kita bahkan aliran darah kita sendiri. Para pembunuh seksi tersebut tidak membunuh secara fisik langsung. Mereka membunuh justru di dasar relung jiwa yang paling dalam. Korbannya bisa berlipat-lipat di masa datang. Inilah pembunuh seksi sesungguhnya.
Para pembunuh seksi masih berkeliaran pasca Pemilu 2019. Mereka masih menebar teror dan kebencian di dalam ucapan. Paling tidak, lihat dan buktikan di media sosial (Medsos). Penyebaran teror sendiri sebenarnya akan mudah diatasi dengan memberantas para pelaku. Namun teror berupa kebencian akan memakan korban banyak dan dalam jangka panjang susah untuk dihapuskan. Ia bisa mendarah daging.
Sekarang coba lihat, masih ada banyak pengguna medsos yang mancing-mancing status atau menyebar tautan dengan tujuan apalagi kalau tidak memupuk kebencian. Bisa jadi, seseorang tidak bermaksud menyebar kebencian, tetapi mengungkap sesuatu yang dianggap benar sementara belum tentu kenyataannya begitu bisa dikategorikan pembunuh seksi juga. Apalagi yang terang-terangan.
Seorang pendukung Capres yang merasa menang atau kalah lalu menyebar klaim kemenangan sepihak juga sudah menjadi pembunuh seksi itu. Misanya, seseorang bernadzar gundul hanya berdasar perhitungan Quick Count (QC) atau berdasar klaim Real Count kelompoknya. Perilaku orang ini tentu mengundang sentimen pihak lain. Sentimen pihak lain ini kemudian membuat orang lain merasa tidak nyaman. Meskipun ia hanya menyebar kesenangan karena kubunya menang.
Tetapi, apakah ia pernah berpikir bahwa perilakunya itu menyinggung dan membuat tidak enak kelompok lain? Apakah dia pernah berpikir untuk ini? Mereka sering hanya menuruti kesenangan semata. Atau dengan alasan menunjukkan kebenaran yang semestinya. Padahal itu kebenaran menurut tafsirnya sendiri dan kelompoknya.
Pembunuh Seksi
Anda masih tidak percaya? Lihat sekali lagi di medsos. Amati dan cermati komentar-komentar netizen. Betapa sentimen diri dan kebencian pada pihak lain masih tumbuh subur. Seolah ia hanya mau hidup dengan kubunya sendiri.
Tentu saja jika mereka dituduh sebagai pihak yang menyebarkan kebencian akan menolak. Tetapi perilakunya itu nyata menyebarkan kebencian. Mereka yang menyebar kebencian dengan kata-kata itu juga bisa dikategorikan melakukan tindakan kekerasan.
Tentu bukan kekerasan fisik tetapi kekerasan non fisik (baca: non verbal). Namun demikian, kekerasan non verbal ini bisa berkembang dan menyulut kekerasan verbal itu sendiri. Bukanlah mereka itu juga bisa digolongkan sebagai pelaku kekerasan? Sebut saja para pembunuh yang seksi.
Apa yang dilakukan orang-orang itu justru memunculkan spiral of violence atau spiral kekerasan (meminjam istilah dari Dom Helder Camara). Kekerasan akan diproduksi, melingkar-melingkar dengan terus meminta korban. Kekerasan yang dilakukan seseorang dengan wacana kebencian akan menciptakan kebencian di pihak lain. Kebencian itu akan menciptakan kekerasan pada pihak lain juga. Jadi itu seperti spiral.
Elite politik yang mementingkan pada kekuasaan, ulama yang hanya mendukung salah satu pihak juga dianggap terlibat dalam perilaku kekerasan ini. Biar tidak terkesan kasar, sebut saja bukan pembunuh, meskipun perilakunya bisa memancing pembunuhan fisik dan psikis warga negara.
Perilaku mereka bisa masuk dalam barisan para pembunuh seksi. Pembunuh seksi yang harus diwaspadai dalam jangka panjang adalah mereka yang ada dalam media sosial. Tak sadar jangan-jangan naluri membunuh sudah mengalir bersama aliran darah kita dalam tubuh. Maka, inilah “the real sexy killer”, lebih sadis dari Sharon Stone atau Angelina Jolie.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/IG: nurudinwriter.