Ilustrasi: https://www.shutterstock.com
Iklan terakota

Terakota.idHari ini, saya mendapat SMS dari PMI (Palang Merah Indonesia). Ini adalah SMS yang dikirim oleh sistem otomatis untuk mengingatkan saya bahwa waktu untuk donor darah saya telah tiba. Meskipun SMS itu tidak ada kesan personalnya, saya tetap merasa senang menerimanya karena saya sudah boleh mendonorkan darah lagi.

Bagi saya, mendonorkan darah adalah sesuatu yang membahagiakan. Saya merasa bahagia karena, dengan cara itu, saya merasa telah bersikap altruistik dan berguna bagi orang lain. Jika di sebagian besar waktu yang saya miliki saya lebih banyak memikirkan kebutuhan dan kekhawatiran saya sendiri atau orang-orang yang paling dekat di hati saya, pada kesempatan berdonor darah tersebut saya merasa telah memberikan sebagian dari diri saya sendiri bagi kebaikan sesama saya secara luas. Dan, dengan itu mengalir rasa hangat di hati saya terhadap diri saya sendiri. Saya puas dan feel good about myself.

Saya hampir sepenuhnya yakin bahwa kasus seperti yang saya alami ini bukan sesuatu yang unik. Maksud saya, kasus saya tersebut dapat digeneralisasi pada sebagian besar orang dan di kebanyakan contoh lain. Kita semua ingin memiliki good feeling about ourselves.

Hari-hari ini, kita terus membaca berita tentang Walikota Bekasi yang dicokok KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena diduga menerima suap ganti rugi tanah sebesar sekitar 7 miliar rupiah. Rahmat Effendi, walikota yang ditangkap tangan tersebut, adalah seorang kepala daerah yang diakui kepemimpinannya. Buktinya adalah bahwa dia terpilih secara demokratis untuk kedua kalinya sebagai pemimpin Bekasi. Rahmat Effendi juga menerima berbagai penghargaan bergengsi tingkat nasional.

Untuk menutupi tindakan tidak terpujinya, Pepen (sebutan akrab Rahmat Effendi) mencoba menyamarkan suap yang diminta dan diterimanya itu dengan menyebutnya sebagai ‘Sumbangan untuk Masjid’ (detikcom, 6 Januari 2022). Saya percaya bahwa jauh di lubuk hati Pepen dia menyadari apa yang dilakukannya itu sangat buruk dan dapat merusak reputasinya yang dengan tekun dan susah-payah sudah dibangunnya sejak awal 2000-an. Tetapi, karena ingin tetap merasa nyaman dengan apa yang dilakukannya dan untuk sedikit menenangkan nuraninya sendiri yang boleh jadi memberontak, dia memakai istilah yang halus dan terlihat mulia. Dengan kata lain, Pepen ingin tetap memiliki good feeling about himself, terlepas dari fakta bahwa yang dilakukannya secara objektif salah dan melanggar hukum dan norma.

Kaum kolonial Eropa (mula-mula), ketika menjelajah ke berbagai belahan bumi yang lain, melakukan hal yang kurang-lebih sebanding dengan itu. Mereka sadar bahwa alasan sesungguhnya dari penjelajahan atau eksplorasi mereka ke ‘dunia baru’ adalah untuk mengeksploitasinya demi kemuliaan, kekayaan, dan kebesaran (bangsa) mereka sendiri. Alasan yang sangat egoistis sejatinya. Itulah mengapa bangsa Portugis bersaing sengit dengan Spanyol, Inggris, Belanda, Belgia, Jerman, dan Prancis, misalnya, dalam memperebutkan koloni-koloni di Afrika, Asia, Amerika dan Australia. Perang di antara bangsa-bangsa tersebut terus berkecamuk, dan koloni-koloni terus berganti tuan dari waktu ke waktu.

Namun, tidak ada satu pun dari bangsa-bangsa tersebut yang suka atau merasa nyaman dengan kenyataan ini. Mereka risih jika harus tampil telanjang. Mereka perlu suatu tampilan luar yang tampak luhur, indah, dan bermartabat—atau setidak-tidaknya sesuatu yang berterima—sebagai dalih atau pengalih dari alasan sejati proyek kolonialisme mereka. Maka, terhadap dua G pertama (glory, kemuliaan dan gold, emas atau kekayaan), ditambahkanlah G ketiga, yakni Gospel atau Injil, atau ajaran moral dan etis. Misi kolonialisme, karena itu, mendapatkan bentuk tampilan baru yang terlihat lebih luhur dan berterima, yaitu misi pemberadaban. Bangsa-bangsa kulit putih Eropa datang ke berbagai belahan dunia yang lain untuk mengajar, mencerahkan, dan akhirnya memperadabkan bangsa-bangsa kulit berwarna yang mereka pandang ‘biadab’ atau liar.

Misi peradaban ini menempatkan bangsa-bangsa Eropa sebagai kaum yang lebih superior, lebih tercerahkan, dan, pendeknya, lebih beradab. Kiranya, inilah yang disuarakan oleh Rudyard Kipling dalam puisinya ‘The White Man’s Burden’ (1899), meskipun dalam konteks yang sedikit berbeda. Orang kulit putih mengapropriasi sebagai misi abadi mereka untuk mengajar orang kulit berwarna. Tentu saja, kita tahu bahwa misi ini lebih merupakan invented mission (misi temuan) yang digunakan sebagai dalih bagi misi sejati kolonialisme, seperti sudah disinggung di atas. Meskipun begitu, dalih ini memegang peran penting dalam membangun good feeling about oneself yang diinginkan oleh kaum kolonialis.

Superego yang Butuh Dipuaskan: Siapa Dia?

Dari contoh-contoh di atas, terlihat cukup jelas bahwa dunia psikis kita seringkali adalah dunia yang terbelah. Dalam istilah psikoanalisis klinis, iniah situasi yang dinamakan keadaan neurotik. Kita mengalami keterbelahan antara realitas paling dasar kita dan realitas yang ingin kita tampilkan agar orang lain lihat dan kagumi dari kita. Realitas paling dasar kita menginginkan segala yang menyenangkan, menggairahkan, dan membuat segala kebutuhan kita terpenuhi. Namun, realitas luar atau kenyataan kita tidak memungkinkan hal tersebut. Ada batasan-batasan yang tidak memungkinkan pewujudannya.

Sementara itu, kita menginginkan rasa nyaman yang timbul dari persetujuan atau approval orang lain, secara khusus dari orang lain yang ingin kita buat terkesan. Kita ingin bisa membuat mereka tersenyum dan merasa bangga dengan apa yang kita lakukan dan capai. Lebih-lebih,,kita juga ingin merasa nyaman dengan diri kita, karena jauh di pedalaman hati kita telah tertanam atau terinternalisasi suatu tatanan nilai yang diajarkan kepada kita sejak kita sangat muda. Memuaskan hati orang-orang yang ingin kita buat terkesan, dengan demikian, seringkali sama dan sebangun dengan membuat diri kita sendiri merasa nyaman, baik, dan bahagia dengan diri kita sendiri.

Tatanan nilai itu pertama kali diperkenalkan kepada kita di dalam dan oleh keluarga kita. Orang tua, kakak, kakek-nenek adalah orang-orang pertama yang menanamkan di dalam diri kita apa yang psikoanalisis Freudian istilahkan sebagai superego. Superego berikutnya dibangun dan difortifikasi oleh sekolah, teman-teman sebaya, institusi agama, dan semacamnya.

Pada perkembangan selanjutnya, karena berbagai faktor (dengan salah satunya yang paling penting adalah besarnya kuasa atau pengaruh dari mereka yang menanamkan superego kepada kita atas diri kita atau relatif lemahnya  posisi kita di hadapan mereka), nilai-nilai yang pada mulanya adalah sesuatu yang berasal dari luar diri kita atau barang eksternal mengalami proses internalisasi. Kita mengalami proses pendakuan atas nilai-nilai tersebut. Kita menggenggam dan memeluk nilai-nilai tersebut seakan mereka adalah bagian tak terpisahkan dari diri kita.

Pada mulanya, kita diberitahu oleh orang tua kita bahwa membantu sesama itu baik dan memang diharapkan dari kita. Kita tidak mengetahuinya atau mengalaminya langsung. Akan tetapi, karena nilai seperti ini diajarkan kepada kita secara terus-menerus, masif, dan terstruktur, mau tidak mau kita yang masih belum memiliki sikap keagensian kuat menerimanya dan sampai kadar tertentu mengamininya. Kita lantas menjadikannya sebagai nilai pribadi kita sendiri. Kita merasa senang dan feel good about ourselves ketika kita membantu sesama dengan cara mendonorkan darah, misalnya.

Kita pada mulanya tidak merasa atau mengetahui bahwa menyumbangkan dana kepada masjid adalah hal yang baik. Tetapi karena kita diajari oleh guru-guru, para kiai dan ustad, orang tua bahwa masjid adalah tempat atau rumah ibadat di mana Tuhan dijumpai maka kita merasa senang, bahagia, dan feel good about ourselves ketika kita dapat menyumbang untuk masjid. Tataran ekstremnya, kita bahkan tetap merasa seperti itu kala uang yang kita sumbangkan adalah hasil korupsi atau bahwa ‘Sumbangan untuk Masjid’ hanyalah dalih belaka atau akal busuk dari keburukan yang kita buat. Kita tetap merasa senang.

Kita, dengan demikian, perlu terus-menerus meneliti diri kita sendiri dan bertanya, apakah motif sesungguhnya dari sesuatu yang kita lakukan. Kita mungkin bahkan perlu bertanya, ketika kita berbicara tentang suara hati atau nurani, sebenarnya apakah itu? Jangan-jangan suara hati itu hanyalah bungkus dari kebusukan terdalam di diri kita. Atau, dia hanya dalih dari motif sejati kita?