Terakota.id—Kawasan Kayutangan Heritage dibuka mulai Senin, 21 Desember 2020. Setelah ditutup selama proyek pembangunan yang dilangsungkan di jantung Kota Malang. Proyek di dua titik yaitu zona 1 berada di pertigaan Avia dan zona 2 di perempatan Rajabaly. Lapisan aspal bersalin menjadi hamparan batu andesit. Menyusul zona 4 di monumen Chairil Anwar, yang terlebih dahulu selesai dikerjakan.
Perubahan permukaan jalan aspal menjadi tatanan batu andesit dianggap untuk mencerminkan suasana heritage di koridor Kayutangan. Padahal kalo kita lihat di foto-foto yang dapat kita jumpai di koleksi Tropen Museum, Kayutangan pada era Hindia Belanda tidak ada satupun yang berlapis batu andesit. Begitu juga dengan pedestrian yang diganti menjadi batu ampyang. Pada era Hindia Belanda pedestrian di Kayutangan menggunakan bahan traso.
Apakah kebijakan pergantian aspal menjadi tatanan batu andesit tidak akan menimbulkan masalah? Mengingat perbaikan aspal jalan masih memakai sistem pelapisan bertumpuk, tidak memakai sistem pengelupasan terlebih dahulu. Semakin lama ketinggian aspal jalan akan semakin tinggi melebihi ketinggian tatanan batu andesit. Sehingga tatanan batu andesit kembali dibongkar untuk menyesuaikan dengan ketinggian aspal jalan.
Hal serupa seperti ini sebenarnya telah terjadi pada kawasan Idjen Heritage. Perbaikan aspal jalan yang bertumpuk menyebabkan ketinggian jalan melebihi halaman rumah di kawasan Idjen. Akibatnya saat musim hujan halaman rumah di kawasan Idjen tergenang air. Alasan semacam ini yang seringkali diajukan pemilik rumah untuk membongkar dan merenovasi rumahnya. Herannya, alasan ini diamini oleh TACB Kota Malang. Bukannya mencari solusi yang lebih bijak untuk menyelamatkan rumah kolonial yang dibongkar.
Proyek prestisius senilai Rp 23 miliar bersumber dari anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) dan ditambah menggunakan dana APBD ini rasanya masih ‘jauh panggang dari api’ jika dikaitkan dengan heritage. Alih-alih membenahi dan melestarikan bangunan dan gedung yang masih asli tinggalan Hindia Belanda. Justru revitalisasi bentuk baru yang ditampakkan seolah-olah heritage.
Sedangkan dua landmark atau tetenger Kota Malang seolah dilupakan, ditengah riuh proyek Kayutangan Heritage. Pertama gedung kembar di perempatan Rajabaly. Bersamaan dengan dimulainya proyek, telah terjadi renovasi perubahan fasad gedung Rajabaly. Beberapa jendelanya telah dihilangkan dan beberapa lagi diganti bahannya. Tetapi hal ini dibiarkan saja.
Begitu juga pada gedung kembar sebelahnya yang terakhir ditempati Bank Commonwealth. Corat-coret vandal dari cat di dinding gedung juga diabaikan saja. Padahal gedung ini sudah ditetapkan statusnya sebagai Bangunan Cagar Budaya. Jika Kawasan Kayutangan Heritage dipersiapkan sebagai kawasan wisata berbasis sejarah dan budaya, tentunya para wisatawan tak hanya untuk melihat batu andesit. Melainkan juga melihat keaslian gedung tinggalan Hindia Belanda.
Tetenger kedua adalah Stadsklok yang berada di pertigaan Avia. Tepat berada di tengah pertigaan Jalan Brigjend. Slamet Riadi (dulu bernama Oro-oro Dowo), Jalan Jaksa Agung Suprapto (dulu bernama Tjelaket Straat), dan Jalan Jenderal Basuki Rahmat (dulu bernama Kajoe Tangan Straat).
Stadsklok merupakan bahasa Belanda, dalam bahasa Inggris disebut City Clock, dalam bahasa Indonesia disebut Jam Kota. Bentuknya terdiri dari tiga buah jam bulat yang menghadap ke masing-masing jalan tersebut. Disangga tiang besi bercat metalik dan di tiang terdapat penunjuk arah ke beberapa lokasi seperti Jember, Blitar, Kepanjen, Bululawang, Pasuruan, Lawang, Tumpang, dan lainnya disertai dengan jarak kilometer.
Stadsklok ini berusia sangat tua dan telah berdiri bersamaan dengan dibangunnya Winkel Complex Lux, sekarang lebih dikenal dengan nama komplek pertokoan Avia. Sudah sekian lama Jam Kota ini mati tidak berfungsi. Di masa lalu Jam Kota ini berfungsi sesuai namanya. Jam Kota diperuntukkan bagi warga Kota Malang yang saat itu masih jarang memiliki jam. Akan tetapi bukan berarti setelah sekarang semua orang memiliki jam lantas Jam Kota ini diabaikan begitu saja.
Nilai sejarah dan nilai sebagai benda cagar budaya yang patut menjadi acuan bagi kita untuk melestarikan Jam Kota ini. Apalagi Jam Kota ini dapat dikembalikan fungsinya seperti dahulu, tentu menjadi daya tarik tersendiri baik bagi wisatawan maupun bagi warga Kota Malang.
Seperti dilansir berbagai media, Pemerintah Kota Malang ingin menjadikan Kawasan Kayutangan seperti Kawasan Malioboro Yogyakarta sebagai destinasi wisata heritage. Di Yogyakarta pun terdapat Stadsklok yang berada di Jalan Marga Mulya, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan. Letaknya antara Loji Kebun (Gedung Agung/Wisma Residen Belanda) dengan Gereja Belanda yang kini biasa disebut Gereja Loji Kecil atau Gereja Ngejaman atau Gereja Margomulyo.
Stadsklok ini oleh masyarakat Yogyakarta dengan lidah Jawa-nya disebut “Nge-Jam-an”. Bedanya adalah Stadsklok NgeJaman ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya melalui Keputusan Wali Kota dan mengacu pada Perda Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Stadsklok Kayutangan belum ditetapkan.
Sebenarnya kondisi Kawasan Malioboro sangatlah berbeda dengan Kawasan Kayutangan jika ditilik dari sisi destinasi wisata. Malioboro merupakan satu ruang geografis dengan Keraton Ngayogyakarta. Malioboro merupakan zona penyangga atau zona pengembangan atau zona penunjang dari Keraton Ngayogyakarta sebagai zona inti-nya. Daya tarik utama ada pada nilai-nilai budaya Keraton Ngayogyakarta.
Sedangkan pada Kawasan Kayutangan dimanakah zona inti-nya? Apakah pada Kawasan Kayutangan itu sendiri? Jika jawabannya adalah ‘iya’, maka diperlukan keseriusan dalam mengelola Kawasan Kayutangan. Perlu adanya upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Keberadaan bangunan cagar budaya perlu dipertahankan dan dilindungi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. Zonasi batas-batas Kawasan Cagar Budaya perlu ditentukan.
Apakah Kawasan Idjen Heritage dan Kawasan Kayutangan Heritage saling menyangga atau tidak? Jika saling menyangga untuk kepentingan destinasi wisata maka perlakuan pelestarian ke dua kawasan harus sama.
Lindungi dan selamatkan bangunan cagar budaya-nya dari kehancuran dan kemusnahan. Jika bangunan dan gedung heritage di dalam Kawasan Idjen dan Kawasan Kayutangan telah musnah semua, lantas apa yang hendak ‘dijual’ sebagai destinasi wisata?
**Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan melalui surel : redaksi@terakota.id. Subjek : Terasiana_Nama_Judul. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.
*Presidium Sejarah Jatim